Khawatir Minim Partisipasi Pemilih

Global FM
25 Jun 2018 11:08
4 minutes reading

ketua bawaslu NTB Khuwailid

KOMISI II DPR RI telah menetapkan tingkat partisipasi pemilih di Pilkada serentak 2018, minimal sebesar 77,5 persen. Tercapainya target tersebut sangat ditentukan oleh kinerja penyelenggara pemilu dalam mendorong partisipasi masyarakat untuk menyalurkan hak politiknya tanggal 27 Juni 2018 mendatang.

Namun demikian di Pilkada serentak NTB, banyak pihak yang meragukan bahwa tingkat partisipasi masyarakat bisa mencapai target tersebut. Hal tersebut bahkan disampaikan langsung oleh Ketua Bawaslu Provinsi NTB, M. Khuwailid. “Berat, ndak mungkin tercapai,” ujarnya pesimis, Rabu (20/6).

Menurut Khuwailid, faktor yang akan menyebabkan salah satunya  akurasi Daftar Pemilih Tetap (DPT).

‘’DPT kita sendiri masih bermasalah, itukan masih ada, terutama dari pemilih yang meninggal dunia. Sementara rumus penjumlahan partisipasi itu berasal dari DPT,’’ jelasnya.

Selain itu, sejauh pengawasannya, Bawaslu juga tidak melihat upaya yang cukup serius dari pihak KPU dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat agar menyalurkan hak pilihnya.

‘’Bawalsu melihat belum maksimal. Kalaupun ada sosialisasi hanya sosialisasi internal saja, kepada anggota KPPS, PPS, tetapi yang menyentuh masyarakat langsung belum, masih kurang,’’ katanya.

Berbeda dengan anggota KPU NTB bidang SDM, Sosialisasi dan Partisipasi, Yan Marli. Ia mengatakan bahwa pihaknya justru sangat optimis bisa mencapai target partisipasi 77,5 persen pada Pilkada NTB 2018 ini.

 

‘’Sangat optimis untuk mencapai target itu. Karena kita melakukan sosialisasi cukup masif, semua saluran kita gunakan,’’ kata Yan Marli.

Yan Marli

Dikatakan, pihaknya sudah melakukan berbagai macam upaya secara masif untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, baik yang aktif dilakukan oleh KPU sendiri maupun oleh masyarakat sendiri.

Pihaknya juga telah melakukan pemetaan karekteristik pemilih. Terutama yang berpotensi menjadi golput. Hasil pemetaan tersebut kemudian menjadi acuan KPU dalam memberikan sosialisasi.

Yan Marli juga mengakui bahwa anggaran untuk melakukan sosialisasi sangat terbatas, tetapi hal tersebut tidak lantas membuat pihaknya tidak maksimal dalam memberikan sosialisasi kepada pemilih.

Diketahui pada Pilkada serentak 2015 lalu, yang digelar di tujuh kabupaten/kota, rata-rata tingkatipasi mencapai 75 persen. Dari tujuh daerah tersebut, tingkat partisipasi paling rendah yakni Kota Mataram.

Terobosan Antisipasi Golput

Pemerhati politik yang juga Wakil Dekan Fisipol Universitas Muhammadiyah Mataram, Dr. H. Muhammad Ali, M.Si., dihubungi Selasa (19/6) mengatakan, jika berkaca pada pemilihan sebelumnya, tingkat partisipasi antara 70 sampai 80 persen. Menurutnya, hal penting yang perlu dilakukan oleh penyelenggara Pilkada adalah langkah kebaruan untuk menggaet pemilih. Terutama pemilih yang berada di daerah pekerja, seperti daerah wisata atau daerah pertambangan.

“Yang perlu diantsipasi oleh penyelenggara Pilkada ini adalah  daerah-daerah lokasi industri, seperti pertambangan di Sumbawa, atau wisata seperti di Gili Trawangan, karena mereka kerja tidak mengenal libur. Harus ada inovasi dari KPU,’’ sarannya.

Menurutnya, memang harus ada kebaruan dalam konteks lokal di NTB. Agar pemilih pemula atau pemilih yang cukup tua, dan dunia kerja bisa didorong untuk memilih. Karena bagaimanapuan konsep negara demokrasi, di mana hak dan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat.

‘’Maka rakyat harus memilih, walaupun memilih atau tidak memilih adalah keputusan warga negara. Semua punya konsekuensi,’’ ujarnya.

Dari pandangannya sebagai akademisi, perlu langkah yang lebih optimalkan lagi. Persiapan Pilkada harus lebih giat dipublikasikan

Berbagai faktor bisa menyebabkan seorang enggan untuk menggunakan hak pilihnya. Antara lain, sebagian masyarakat tidak merasakan dampak signifikan bagi dirinya setelah memilih. Selain itu, masalah administratif saat memilih langsung di TPS, seperti tidak ada nama tercantum di Daftar Pemilih Tetap (DPT) ikut memberikan andil tingginya angka golput.

Oleh karena itu, perlu partisipasi partai politik untuk mencerahkan konstituennya berkaitan dengan menggunakan hak pilih. Terutama harus menjadi perhatian pemerintah di KPU dan Bangkespoldagri.

Jangan Lalaikan Kewajiban

prof H Syaiful Muslim

KETUA Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTB, Prof. H. Syaiful Muslim mengatakan, ikut memilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan sebuah kewajiban, khususnya yang beragama Islam.

“Kalau di agama Islam sudah jelas antara hak dan kewajiban  sebenarnya hak dan kewajiban itu tidak bisa dipisahkan dalam pemilihan umum ini,” ujar Prof. Syaiful, dihubungi Selasa (19/6).

Menurutnya, hak datang dan tidak datang merupakan hak masing-masing orang.

“Syukur pilihan kita menang, maka sudah menjalankan kewajiban. Kalau hak memilih siapa itu tergantung masing-masing, tetapi jangan menghilangkan kehadiran,” katanya.

Ia menekankan, perlu mempertimbangkan antara hak dan kewajiban, jangan sampai merugikan lebih banyak orang. “Ketika calon yang diharapkan terpilih tetapi tidak jadi terpilih karena kita tidak hadir , maka risiko itu akan menjadi kerugian kita,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia mengimbau kepada seluruh pemilih untuk mematuhi ketentuan undang-undang untuk memilih dalam Pilkada. Demikian juga diatur melalui petunjuk dan saran atau fatwa dari MUI agar datang ke TPS-TPS untuk menggunakan hak pilih sesuai dengan hati dan nurani.

“Perkara menang atau tidak itu Tuhan yang tahu. Jadi jangan belum memilih sudah antipati dengan orang. Hak kita harus digunakan. Kalau diberikan hak kok tidak dimanfaatkan, yang rugi masyarakat sendiri,’’ katanya mengingatkan.(ndi/ron)

No Comments

Leave a Reply