Hutan adalah paru-paru bumi. Mahluk hidup sangat menggantungkan harapan pada kondisi hutan yang sehat. Namun deforestasi dan degradasi hutan makin tidak terkendali di beberapa wilayah di NTB. Hutan Lindung di desa Mekar Sari Lombok Timur misalnya, dari luas hutan 500 hektar di wilayah itu, telah dijarah oleh oknum masyarakat seluas 350 hektar. WWF Indonesia bersama pemerintah berupaya memperbaiki hutan yang gundul di Kaki Rinjani tersebut.
Jalan setapak menuju hutan lindung di desa Mekar Sari, Kecamatan Suela Lombok Timur Nampak becek saat musim hujan tiba. Kendaraan roda empat sangat sulit menjangkau pos pegamanan hutan tersebut. Alternatif transportasi yang bisa digunakan untuk melihat kondisi hutan disana yaitu sepeda motor. Bila ingin melihat potret hutan lebih dalam, berjalan kaki adalah satu-satunya cara.
Arya Ahsani Takwim, Official NEWtrees Rinjani WWF CT Programme bercerita kondisi hutan Mekar Sari dalam kondisi nyaris kritis. 350 hektar kawasan hutan lindung itu dimasuki oleh warga menjadi tempat mencari makan, namun sayangnya hutan bahkan dibabat menjadi sawah ladang.
“Kita ketahui bahwa masyarakat disini hidup dibawah kemiskinan. Saat ini berdasarkan data, ada sekitar 600 KK yang sudah masuk kawasan hutan dan mengolah kawasan. Yang kami sayangkan, kawasan hutan ini semakin hari semakin menunjukkan kerusakan. Faktanya di beberapa titik itu sudah berubah dari yang awalnya hutan menjadi sawah.” ujar Arya.
Tidak sampai disitu, sejumlah warga juga sudah membangun rumah semi permanen di kawasan hutan lindung Mekar Sari. Terdapat 9 kepala keluarga yang sudah membangun rumah di kawasan terlarang itu. WWF Indonesia khawatir jika pemerintah tidak segera turun tangan, akan memicu warga lainnya untuk membangun pemukiman disana.
“ Langkah kongkrit dari pemerintah kalau kita lihat sampai hari ini memang belum ada. Ini yang perlu kita suarakan bagaimana kemudian pemerintah dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang bisa memberikan efek jera bagi mereka yang melakukan perusakan hutan, salah satunya yang membangun pemukiman di kawasan hutan” tambahnya lagi.
WWF Indonesia melalui program NEWtress Rinjani sejak tahun 2010 lalu sudah mulai memperbaiki hutan yang gundul itu seluas 200 hektar dengan menanam 192 ribu bibit pohon. Sayangnya, pohon yang sudah mulai tumbuh subur justru menjadi sasaran illegal loging oknum warga. Memasuki musim hujan ini, pegiat lingkungan mulai menambal sulam hutan yang dibabat agar bibit pohon kembali tumbuh.
Sementara itu Rusmin, penyuluh pertanian kecamatan Suela mengatakan, di sekitar hutan Mekar Sari telah terbangun gabungan kelompok tani (gapoktan) yang berasal dari tujuh kelompok tani di kawasan itu. Jumlah petani yang masuk dalam Gapoktan ini lebih dari 500 petani. Kehadiran Gapoktan diharapkan bisa mengurangi penebangan hutan di Mekar Sari.
“ Kelompok itu diupayakan sebagai tempat pembelajaran masyarakat yang ada di sekitar hutan kemudian tempat kerjasama dan tempat meningkatkan kapasitas kelompok masyarakat. Ini perlahan kita lakukan, terasa sekali manfaatnya, apalagi dibantu WWF dan Gema Alam. Diharapkan melalui pembinaan melalui kegiatan rehabilitasi, masyarakat yang hanya mengharapkan tanaman semusim diharapkan akan lebih kepada tanaman-tanaman yang menghasilkan buah maupun kayu, dalam hal ini kayu manis” kata Rusmin.
Dia mengatakan, pengamanan kawasan hutan menjadi sangat penting di masa reboisasi agar upaya yang sudah dilakukan tidak sia-sia. Polisi hutan saja tidak cukup untuk mengawasi hutan yang luas. Karena itu telah dibentuk masyarakat mitra polisi kehutanan atau MMP. Selama tahun ini, mereka sudah tiga kali melakukan kegiatan patroli hutan untuk mencegah pelanggaran.
“ Sekarang ini dari kelompok masyarakat ini berinisiatif yang didampingi oleh WWF atau dari penyuluh membentuk kelompok-kelomok swadaya sepeti Pamhut. Pamhut ini diharapkan membantu pemerintah seperti Polhut ini untuk melakukan pengamanan-pengamanan yang sifatnya preventif atau pengolahan lahan dengan cara membakar. Minimal itu yang nanti Pamhut bisa membantu pemerintah” ujarnya.
Amaq Zikrillah, adalah salah seorang warga dusun Tumpang Sari, desa Mekar Sari yang membangun rumah di kawasan hutan lindung. Dia mengklaim, lahan tempat berdirinya rumahnya telah ditempati oleh orang tuanya dari dulu. Begitu pula lahan perkebunan yang di kelola seluas 70 are di Mekar Sari telah digarap sejak awal sebagai tempat menggantungkan hidup.
Namun sampai sekarang dia mengaku tidak bisa menunjukkan batas-batas lahan antara lahan hutan lindung dengan lahan miliknya. Saat ditemui pertengahan Desember ini, Amaq Zikrillah yang berbicara dalam bahasa Sasak, ingin mengetahui batas kawasan yang sebenarnya.
“ Sebenarnya dari dulu belum pernah dengan jelas penentuan batas-batasnya, ini tidak pernah ada, mana kawasan hutan lindung, maka lahan milik saya. Itulah yang sebenarnya yang ingin saya perjelas agar disaksikan oleh pihak desa atau pihak kehutanan,” harap Zikrillah.
Di lahan seluas 70 are ini, Amaq Zikrillah menanam pohon buah-buahan beternak sapi dan ayam di dekat rumah.
Menurut Arya Ahsani Takwim, Official NEWtrees Rinjani WWF CT Programme, pemerintah harus segera mengeluarkan warga yang tinggal di kawasan hutan. Namun idealnya, rumah di luar kawasan hutan lindung harus disediakan agar tidak menimbulkan persoalan sosial yang baru.
“Pihak-pihak yang memiliki kewenangan, utamanya Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten harus mengambil tindakan tegas yaitu mengeluarkan mereka. Tentu mengeluarkan mereka harus ada solusinya, bagaimana kemudian mereka mendapatkan perumahan diluar kawasan hutan.” kata Arya.
Pada konteks yang lain , desa Mekar Sari menyimpan banyak potensi untuk dikembangkan sebagai lokasi wisata, seperti air terjun, mata air tempat ritual para leluhur, hasil hutan bukan kayu dam Cagar Budaya dalam bentuk makam bangsawan yang cukup unik. Bila semua potensi ini dikembangkan dengan memastikan keberlanjutan hutan, maka hal ini akan menjadi sumber bagi kesejehteraan masyarakat.(ris)-
No Comments