Ironi PETI di Lahan Konsesi; Tegas Tanpa Harus Keras

Global FM
23 Dec 2019 11:04
6 minutes reading
KH Zulkifli Muhadli – Syamsul Ismain (Global FM Lombok/bug)

Mataram (Global FM Lombok) – Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI), telah menimbulkan kerusakan lingkungan. Dampak itu sudah nampak dan nyata. Menghentikannya dengan langkah tegas, sepertinya kurang tepat. Diperlukan seni pendekatan yang tegas, tapi tidak harus keras.

Para ulama dan tokoh masyarakat di Kabupaten Sumbawa Barat bertahun-tahun merasakan kerisauan melihat begitu terbukanya pola sebaran PETI di tujuh titik di kabupaten muda di NTB itu. Penambang dari berbagai penjuru daerah berkolaborasi dengan warga lokal, mereka tinggal di bukit-bukit yang diyakini punya kandungan emas. Tak terkendali.

Mereka berebut melakukan penggalian di urat urat material yang mengandung emas, tersebar di tujuh titik Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Seperti, Blok 1 Kecamatan Jereweh di Desa Belo, Blok 2 di Desa Moteng Kecamatan Brang Rea, Blok 3 Lang Sabunga Kecamatan Brang Rea,  Blok 4 di Seloto Kecamatan Taliwang, blok 5 Lang Iler Kelurahan Sampir Kecamatan taliwang, dan blok 6 Desa Tebo Kecamatan Poto Tano. Termasuk blok ke 7 Desa Tongo Kecamatan Sekongkang yang kini jadi pusat perhatian.

Blok 7 Desa Tongo Kecamatan Sekongkang ini, cukup intens disambangi aparat kepolisian bersama TNI dan Pemda, baik dalam rangka penertiban dan upaya persuasif. Tapi toh, aktivitas masih berlangsung.

Tokoh masyarakat yang juga mantan Bupati KSB, KH Zulkifli Muhadli menilai, harus ada seni dalam upaya pendekatan kepada penambang. Karena mereka adalah masyarakat yang jadi bagian dari tanggungjawab pemerintah tapi tidak harus mengabaikan penegakan aturan.

Kepada Global FM Lombok, mantan Bupati KSB ini mengurai PETI di sana menjadi empat bagian. Pertama, dari sudut pandang kebutuhan pelaku.  Menambang sudah jadi kebutuhan karena berkaitan langsung dengan urusan perut atau biaya hidup sehari hari.

Poin kedua berkaitan dengan poin pertama, bahwa di balik aktivitas itu, harus ada sikap arif yang harus dipahami semua pihak, khususnya penambang. Bahwa semua orang di KSB punya hak yang untuk hidup nyaman, tidak terganggu oleh aktivitas orang lain, apalagi sampai merusak lingkungan dan kesehatan.

Ke tiga, berkaitan dengan poin satu dan dua, bahwa pemerintah daerah punya  kewajiban memberi solusi kepada masyarakat agar bisa menjalankan kehidupan baik dan maju.  Solusi ini menurutnya, bisa berupa pelayanan, pemenuhan kebutuhan, membuka jalan untuk pemenuhan kebutuhan sehari hari.

Solusi dimaksud, kewajiban pemerintah memberi keterampilan hidup atau life skill.

Keempat, bagaimana pun juga, negara dengan perangkatnya melalui aparat kemanan harus menegakkan aturan. Setiap warga negara harus taat pada aturan dan ditindak bagi yang melanggar.

Baca Juga : Ambang Batas Aman Merkuri di Lokasi Tambang Ilegal di NTB 50 Kali Lipat

Penambangan Ilegal di NTB Terkesan Sulit Ditutup, Butuh Pengalihan Aktifitas Ekonomi Masyarakat

“Nah, bagaimana meramu empat hal ini. Seperti masakan, jangan terlalu asam supaya tidak mencret, jangan terlalu pedas supaya tidak sakit perut, jangan terlalu asin supaya tidak darah tinggi, jangan juga terlalu manis supaya tidak diabetes,’’ ujar Kiyai Zul.

Dalam konteks penanganan masalah PETI tersebut, dibutuhkan semua pihak agar lampang dada. Masalah sudah seperti benang kusut.  Kebijakan sudah tidak bisa lagi  top down, karena penegakan aturan akan memicu reaksi. Tapi di sisi lain tidak juga diharapkan pola buttom up, karena sudah sulit memberi kesadaran masyarakat.

“Ini sudah bukan kasus biasa, sangat kompleks. Sebab itu dibutuhkan, kerelaan semua pihak untuk duduk sama-sama, solusi terbaik. Dari empat hal itu, harus ada upaya menemukan titik temu,” sarannya.

Bagi Rektor Universitas Cordova Indonesia ini, tidak ada benang kusut yang tidak bisa diurai jika punya  pertimbangan  jitu dari empat faktor tadi.

Perlu terus menerus disampaikan bahwa penambang tidak boleh egois, karena ada hak orang lain untuk hidup sehat di lingkungannya. Sementara aturan yang sudah ada, semua orang harus taat, tak terkecuali para penambang. Salah satu cara mengurai banang kusut itu adalah dengan tindakan tegas.

‘’Harus tegas, tapi tidak boleh keras. Kenapa? sebab ada sisi lain yang harus dipertimbangkan. Sisi ketidak tersediaannya lapangan pekerjaan, tidak ada keterampilan hidup. Dua sisi yang harus dipertimbangkan dan diramu dengan baik,’’ sarannya.

Ada anekdot bahwa kelompok penambang bagian dari objek politik. Langkah tegas atau persuasif, akan mempengaruhi elektabilitas figur. Pendapat Kiyai Zul?

Soal politik menurutnya, aktivitas PETI sangat mungkin untuk dipolitisir, karena semua lini kehidupan tidak bisa lepas dari proses politik. Tapi  politik tidak bisa berdiri sendiri, karena akan berkaitan dengan hati. ‘’Kalau pendekatan dengan hati, dengan pendekatan yang menyentuh, Insya Allah efektif,’’ sarannya.

Tapi tidak akan efektif jika kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, tidak terpenuhi. Di sinilah yang menurutnya pemerintah dan aparat harus realistis dalam bertindak. Selama kebutuhan dasar belum terpenuhi, maka langkah apapun untuk menutup PETI di KSB, diragukan efektivitasnya.

Sudah Nampak Kerusakan

PETI di KSB ibarat bisul yang hanya tinggal menunggu waktu pecah dan memicu “sakit massal” kesehatan manusia dan kerusakan lingkungan. Sekitar 6000 orang yang menggantungkan hidup dari aktivitas PETI tak lagi peduli dampak destruktif pada diri dan lingkungan sekitarnya.  Naluri manusia yang merusak  itu 14 abad silam sudah diingatkan Allah SWT melalui Firman-Nya pada dalam Ar – Ruum ayat 41.

Baca Juga : Penggunaan Merkuri di PETI, FK Unram Temukan Sejumlah Kasus Kelainan Bawaan Pada Bayi

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KSB, KH. Syamsul Ismain, LC menukil ayat tersebut kemudian menafsirkannya pada dampak pencemaran air dan kerusakan tanah di KSB akibat PETI.

“Sudah jelas, nampak kerusakan di laut dan darat, termasuk akibat illegal mining ini,” kata pengasuh Ponpes Himmatul Uummah Brang Rea ini.

Fenomena tambang ilegal sudah jadi materi ceramah ceramah majelis, baik di masjid maupun forum sampai kegiatan adat mayarakat. Bahwa kerusakan dan dampak negatif aktivitas PETI yang menggunakan zat kimia berbahaya bisa memicu kerusakan. ‘’Ibaratnya, sudah berbusa busa kita sampaikan soal ini. Tapi memang kembali ke kesadaran masyarakat. Tak pernah  putus untuk kami ingatkan, melalui para da’i,’’ ungkapnya.

Bagi dia, sebelum mendudukkan solusi masalah ini, berusaha memposisikan diri tak berpihak, tapi di antara pemerintah dan masyarakat penambang. Tugasnya sebagai ulama adalah mengingatkan dan  menyampaikan pendekatan rohani kepada masyarakat, tapi harus ada solusi.

Upaya memberi kesadaran adalah agenda wajib baginya, sekaligus edukasi tentang bahaya kerusakan alam dan lingkungan sebagaimana termaktub dalam Al – Qur’an. Namun tentu saja, harus ada solusi.

“Islam kan begitu. Ada larangan, ada solusi. Dilarang minum khamar (minuman beralkohol, red), ada solusi minum susu, dilarang zina ada solusi dengan kawin. Nah, sekarang bagaimana dengan tambang ini ketika dilarang, maka harus memberikan solusi,” urainya.

Ia mendengar sudah ada solusi berupa pemberian izin berupa Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).  Dalam konteks ini ia sepakat, harus ada lokalisasi pertambangan rakyat, agar lebih mudah dikontrol.

Tapi kalau pun ditutup total,  harus dilakukan merata agar tidak memicu kecemburuan sosial dari kelompok lain. Setelah itu, dipertimbangkan alternatif pekerjaan selain sektor pertambangan.

“Merkuri sudah mencapai ambang batas. Sekarang tiba-tiba dilakukan penertiban, ini kan nanti bisa jadi gejolak. Harapan kami dari tokoh agama, pemerintah cari solisi lapangan pekerjaan,” sebutnya.

Dia yakin masyarakat KSB khususnya akan melunak jika pendekatan atau penindakan sekalipun, disertai dengan solusi ruang hidup baru bagi pelaku PETI.

Bersamaan dengan itu, tugasnya sebagai Ketua MUI  bersama ulama lainnya, terus memberi penyadaran, bahwa menjaga lingkungan itu bagian dari unsur iman. Keimanan tidak saja soal menjaga kebersihan dengan tidak Buang Air Besar (BAB) sembarangan, tidak membuang sampah sembarangan, tapi juga tidak  menambang dan membuang merkuri sembarangan. (ars)

No Comments

Leave a Reply