Jangan Panggil Saya Janda Malaysia (Bagian ke II)

Global FM
5 May 2021 09:45
4 minutes reading
Ilustrasi ( Foto : Republika.co.id)

Penulis                 : Buniamin Azmah

Menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke negara Malaysia menjadi pilihan banyak angkatan kerja di Lombok, NTB. Sebagian PMI yang sudah menjadi kepala rumah tangga ini meninggalkan keluarga di kampung halaman, meninggalkan anak dan istri rata-rata sekitar tiga hingga lima tahun, atau tergantung masa kontrak kerja. Selama itu pula, komunikasi keluarga hanya melalui sambungan telepon.

Jangan Panggil Saya Janda Malaysia (Bagian ke II)

Berikut bagian kedua dari seri Potret Istri PMI dan Upaya Melawan Stigma “Janda Malaysia”.

Meydi, usia 27 tahun asal Kabupaten Lombok Barat yang juga ditinggal oleh suami menjadi PMI ke luar negeri. Panggilan “Jamal” atau Janda Malaysia sempat menjadi sebutan bagi dirinya di kampung setelah ditinggal oleh sang suami. Namun, ia sangat marah ketika tetangga memanggilnya dengan sebutan tersebut.

Menurutnya, sebutan “Jamal” tidak pantas dan tidak baik jika dilabelkan kepada istri yang ditinggal oleh sang suami untuk merantau.

“Saya marah dipanggil seperti itu. Dulu sempat ada yang memanggil “Jamal”, saya marah dan hampir saya mau tampar,”ujarnya

Karena sikap kerasnya menolak sebutan tersebut, akhirnya masyarakat mulai mengurangi dan bahkan saat ini sudah tidak ada yang memanggil dirinya dengan istilah “Jamal”. 

“Ini istilah yang tidak bagus aja bagi perempuan yang ditinggal oleh suaminya ke luar negeri,”katanya.

Meydi menuturkan, setelah beberapa tahun menjalani rumah tangga, sang suami memilih untuk bekerja di pabrik kayu di Malaysia. Dengan impian ekonomi keluarga bisa lebih baik. Akan tetapi, takdir berkata lain. Setelah merantau empat tahun, sang suami justru hilang kabar sejak akhir 2019 lalu. Selain menjadi seorang ibu, dia juga berusaha mengganti peran seorang ayah bagi anak – anaknya.

 “Untuk bisa bertahan hidup saya berjualan. Baik secara online dan offline. Barang yang saya jual itu ya makanan dan kadang – kadang pakaian,”katanya.

Jangan Pernah Ada Lagi Stigma Negatif

Rektor Universitas NU NTB Dr Baiq Mulianah

Aktivis perempuan sekaligus Rektor Universitas NU NTB Dr Baiq Mulianah mengaku prihatin dengan kondisi yang dialami oleh perempuan yang ditinggal ke luar negeri oleh sang suami. Sebagai seorang perempuan yang saat ini bergerak di bidang pendidikan, dirinya sudah berupaya untuk membantu perempuan agar tidak ada stigma negatif yang diterima. Terlebih lagi dengan adanya sebutan “Janda Malaysia”

 “Janda Malaysia ini, bagi saya bukan sesuatu yang baru. Sudah lama sekali saya bicarakan ikhtiarkan sampai hari ini. Efek dari panggilan janda Malaysia ini dan juga pernikahan dini harus dihentikan secara bersama-sama,”katanya

Karena menurutnya, status janda Malaysia banyak disandang oleh perempuan yang menjadi korban pernikahan usia anak. Sehingga, program yang direalisasikan untuk bisa menekan angka pernikahan usia anak dan meningkatkan keterampilan yaitu dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa di Universitas Nahdatul Ulama (UNU) NTB.

“Saya mengikhtiarkan, mahasiswa UNU yang memperoleh beasiswa apapun namanya ada persyaratan khusus yaitu dia tidak boleh menikah selama menempuh studi. Kebijakan ini saya ambil dengan secara sadar dan penuh tangung jawab,”katanya

Tidak saja organisasi perempuan dan akademisi, pemerintah desa juga memberikan perhatian kepada perempuan yang memiliki persoalan sosial. Perhatian yang diberikan seperti memberikan bantuan sosial berupa PKH, BLT hingga paket sembako.

Plt Kepala Desa Sembung Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat, H. Ali Abdul Sahid mengatakan, selama pandemi Covid-19, pemberian bantuan kepada masyarakat dilakukan secara merata terutama bagi istri yang ditinggal keluar negeri oleh suaminya.

“Selama ini masyarakat kita yang merantau ke luar negeri yaitu sekitar 70 – 80 orang ini laki – laki dan perempuan. Untuk yang ditinggal oleh suaminya, pada saat pandemi Covid-19. Alhamdulillah sudah masuk ke dalam program PKH dan masuk ke dalam bantuan – bantuan lain,”katanya

Selain bantuan, pemerintah desa memberikan pelatihan keterampilan kepada ibu rumah tangga. Hal ini agar bisa membantu menopang perekonomian keluarga.

 “Upaya kami dari pemerintah desa sering memberikan pelatihan kepada ibu – ibu yang ada embrio usahanya. Itu sudah kita latih melalui program dana desa. Dalam sekali pelatihan itu sekitar 5- 10 orang yang punya niat dan kemauan pada bidang yang kita latih. Misalnya pembuatan bakso dan yang sudah punya tapi kurang menguasai ilmunya,”ujar Plt Kepala Desa Sembung.

Selain pelatihan dan pemberian bantuan secara langsung, Pemerintah Desa Sembung juga akan mengembangkan Badan Usaha Miliki Desa (BUMDes). Keberadaan BUMDes ini untuk membantu masyarakat dalam hal pinjaman.

Diakuinya, saat ini sebagian ibu rumah tangga yang ada beberapa dusun di Desa Sembung terjerat hutang di rentenir. Kondisi saat ini dinilai sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, petugas rentenir menagih hingga malam hari.

 “berupaya untuk lewat forum kecamatan untuk bisa membatasi memberikan pinjaman kepada jangan terlalu sampai siang malam dan bahkan sampai malah hari masih ditunggu. Bukan di Karang Anyar saja, termasuk di Sembung Daya, Sembung Lauk, Dasan Kebon diwilayah Sembung insya allah. Kita akan berupaya semaksimal mungkin untuk mengurangi,”katanya. (Selesai)

Catatan :
Tulisan ini adalah bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.

No Comments

Leave a Reply