Mataram (globalfmlombok.com) – NTB menjadi salah satu daerah dengan tambak terbanyak di Indonesia. Sedikitnya, tercatat ada 779 tambak yang kini beroperasi di 10 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, hanya 82 unit yang memiliki izin berupa Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, Muslim mengatakan dokumen KKPRL menjadi dasar legalitas utama bagi setiap kegiatan usaha di wilayah pesisir dan laut.“Izin tambak udang sekarang semuanya lewat OSS (Online Single Submission). Izin dasarnya diajukan langsung oleh pelaku usaha kepada pemerintah pusat,” ujarnya, akhir pekan kemarin.
Dari 779 tambak yang ada di NTB, tercatat 11 tambak tengah mengajukan izin KKPRL. Sebanyak 47 tambak telah memperoleh rekomendasi lingkungan, sedangkan sisanya masih menunggu proses verifikasi dan pengesahan dari pemerintah pusat.
Ada juga tiga tambak yang baru mengajukan rekomendasi lingkungan. 10 tambak telah mengajukan Sertifikat Laik Operasi (SLO) Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk memastikan limbah budidaya tidak mencemari laut.
Dari total 779 tambak tersebut, 193 di antaranya merupakan tambak komersil, sementara 586 lainnya tambak tradisional. Kabupaten Lombok Timur tercatat sebagai daerah dengan jumlah tambak komersil terbanyak, mencapai 53 unit. Disusul Sumbawa dengan 50 tambak komersil dan 140 tambak tradisional.
Sementara, Lombok Tengah tidak memiliki tambak komersil sama sekali, namun terdapat sejumlah 290 tambak tradisional di daerah tersebut. Di Kabupaten Bima terdapat 34 tambak komersil dan 52 tambak tradisional. Ada pula Lombok Utara yang memiliki 31 tambak komersil, Sumbawa Barat 18 unit, Dompu 6 tambak komersil dan 104 tradisional, serta Kota Mataram hanya 1 tambak komersil.
Dalam hal kepatuhan administratif, Kabupaten Bima tercatat paling aktif dengan 9 tambak yang sudah mengantongi Rekomendasi Analisis Lokasi dan Sumberdaya Ekosistem (ALSE), disusul Lombok Utara dengan 7 tambak dalam tahap pengajuan serupa.
Pemprov Tak Memiliki Kewenangan Terbitkan Izin Tambak
Muslim menjelaskan, seluruh sistem perizinan kini tersentralisasi di pemerintah pusat. Prosesnya dimulai dari pendaftaran Nomor Induk Berusaha (NIB) melalui OSS. Dilanjutkan dengan izin KPPR darat, izin lingkungan, dan persetujuan bangunan gedung jika ada konstruksi di kawasan tambak.
“Setelah izin-izin dasar itu keluar, baru pelaku usaha mengajukan izin tata ruang atau PKKPR ke pemerintah kabupaten/kota. Setelah itu baru bisa ajukan izin ruang lautnya ke pusat,” katanya.
Kondisi ini, kata Muslim, membuat peran pemerintah provinsi nyaris tidak ada dalam pengawasan dan evaluasi perizinan tambak udang.
Sebelumnya, berdasarkan PP Nomor 5 Tahun 2021, pengambilan air laut untuk kegiatan usaha masih menjadi kewenangan provinsi. Namun setelah PP Nomor 28 Tahun 2025 diberlakukan, pemanfaatan air laut lebih dari 30 meter kubik per bulan kini menjadi kewenangan pusat.
“Rata-rata kebutuhan air laut untuk budidaya tambak udang pasti di atas 30 meter kubik. Artinya, hampir semua izin tambak sekarang ditarik ke pusat,” jelasnya.
Menurutnya, klasifikasi risiko besar yang dijadikan dasar pengalihan kewenangan cukup membingungkan. Pemerintah pusat, dinilai mengambil kebijakan secara subjektif. Namun, sebagai perpanjangan tangan pusat ke daerah, pihaknya tetap menuruti aturan tersebut.
Adapun ia mengingatkan agar pemerintah pusat tetap mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan kearifan lokal dalam proses verifikasi izin.
“Izin usahanya ada di kabupaten, cuma izin dasarnya di pusat semua. Jangan sampai izin dasar ini tanpa mempertimbangkan pandangan atau usulan dari kabupaten/kota yang justru dikhawatirkan akan menimbulkan potensi sosial di masyarakat,” tutupnya. (era)


