Mataram (globalfmlombok.com) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram mulai menelaah dokumen hasil penggeledahan di Kantor Pertanahan Lombok Barat. Penggeledahan tersebut berkaitan dengan penyidikan dugaan penjualan aset milik Pemerintah Daerah Lombok Barat berupa tanah kas desa (pecatu).
Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari Mataram Muhammad Harun Al-Rasyid, Rabu (24/9/2025) mengatakan, dokumen yang disita berkaitan dengan penerbitan sertifikat tanah milik Pemkab Lobar yang kini atas nama Kepala Desa Bagik Polak.
Harun mengaku tidak dapat merinci dokumen sitaan tersebut terkait apa saja. Yang jelas kata dia, seluruh dokumen yang disita berkaitan dengan penerbitan sertifikat tanah oleh Kades Bagik Polak.
“Kami harus meneliti apa yang kami dapatkan kemarin. Nanti kami akan melakukan pendalaman ke semua sektor,” jelasnya.
Penyidik akan meneliti hasil geledah tersebut untuk melengkapi bukti-bukti yang telah jaksa pegang di tahap penyidikan.
Tim Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram melakukan penggeledahan terhadap Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Barat (Lobar), pada Selasa (23/9/2025).
Penggeledahan dilakukan di beberapa ruangan yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Barat. Yakni di Ruang Bidang Pendaftaran dan Penetapan Hak, Bidang Pengukuran, Bidang Sengketa dan di ruangan Arsip milik Kantor Pertanahan/BPN Lombok Barat.
Dari penggeledahan tersebut, Tim Jaksa Penyidik berhasil menyita 36 item dokumen yang berhubungan dengan perkara dugaan penjualan aset daerah tersebut.
Audit Kerugian Negara
Dia membeberkan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTB saat ini tengah melakukan audit perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN) terhadap kasus ini. “Perhitungan kerugian negara kini masih proses,” tandasnya.
Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Mataram, Mardiyono sebelumnya menjelaskan, tanah yang menjadi objek perkara seluas 36 are dan semula berstatus sebagai tanah pecatu milik Dusun Karang Sembung. Namun, lahan tersebut berubah status menjadi milik pribadi dan dijual pada 2020 seharga Rp180 juta.
“Penyimpangannya jelas, tanah milik negara hilang. Modusnya klasik, ada gugatan, lalu berdamai, muncul putusan. Berdasarkan putusan itu, tanah dijual oleh pihak yang menang, padahal belum tentu dia pemilik sah,” terang Mardiyono.
Dari total nilai transaksi Rp360 juta, pembeli baru membayar setengahnya. Sisanya dijanjikan setelah tidak ada persoalan hukum. Namun karena kasus mencuat, pembayaran tidak dilanjutkan. Saat ini, tanah tersebut telah disita sebagai barang bukti.
Menurutnya, tanah pecatu tersebut berada di wilayah administratif Desa Bagik Polak, tetapi tercatat sebagai aset Dusun Karang Sembung.
“Lucunya, tanah itu bukan milik Desa Bagik Polak, tapi dijual oleh aparatnya,” ujarnya.
Persoalan muncul sejak program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) tahun 2018, ketika tiba-tiba terbit sertifikat atas nama pribadi Kepala Desa Bagik Polak. Padahal, berdasarkan arsip warkah dan SK Bupati, lahan tersebut adalah milik Pemda Lombok Barat dan digunakan sebagai tanah pecatu oleh Dusun Karang Sembung.
“Sertifikat itu sekarang atas nama pembeli terakhir. Sebelum dijual, itu tanah pecatu Karang Sembung. Tapi kemudian dialihkan oleh Kades Bagik Polak,” kata Mardiyono.
Dia menambahkan, SK sertifikat sempat dibatalkan setelah diprotes warga, namun lahan tetap berpindah tangan.
Dalam kasus ini, penyidik telah membidik satu orang sebagai calon tersangka. “Untuk sementara, calon tersangkanya satu orang, tapi tidak menutup kemungkinan bertambah. Indikasi kuatnya mengarah ke aparat desa,” pungkasnya. (mit)