Mataram ( Global FM Lombok)- Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) pada tanggal 4 Agustus 2020 lalu, menerbitkan surat tentang Gerakan Setengah Miliar Masker untuk Desa Aman Covid-19. Surat bernomor S.2294/HM.01.03/VIII/2020 ini mewajibkan Kepala Desa melakukan pengadaan masker kain yang bisa dicuci sebanyak 4 buah untuk setiap warganya, yaitu 2 masker diadakan dengan dana desa melalui BUMDes, sedangkan 2 masker lainnya melalui swadaya warga yang mampu dengan sistem gotong royong. Masker tersebut juga harus berlogo ulang tahun ke-75 RI.
Dalam penjelasan Kemendes PDTT di luar surat tersebut, mekanisme pengadaan masker harus oleh BUMDes dengan menggunakan dana desa, baik berupa penyertaan modal maupun program Desa Tanggap Covid-19 yang membeli dari BUMDes.
Menurut Anggota Komisi V DPR-RI dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama, kebijakan ini sebenarnya sudah sesuai dengan Permendes PDTT No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Permendes PDTT No. 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2020, yaitu bahwa dana desa dapat digunakan untuk penyertaan modal BUMDes dan juga penyediaan alat kesehatan untuk deteksi dini, perlindungan, serta pencegahan penyebaran wabah dan penularan Covid-19 yang merupakan program dari Desa Tanggap Covid-19.
“Program tersebut diatur dalam Surat Edaran (SE) Mendes PDTT No. 8 Tahun 2020 tentang Desa Tanggap Covid-19 dan Penegasan Padat Karya Tunai Desa. Akan tetapi, Fraksi PKS melihat ada beberapa potensi masalah di balik Gerakan Setengah Miliar Masker tersebut, kata SJP, sapaan akrab Suryadi Jaya Purnama kepada media ini, Kamis (13/08).
Beberapa potensi masalah tersebut diantaranya kesulitan dalam mengubah APBDes. Mengingat pengadaan masker berlogo tersebut membutuhkan perubahan APBDes, Kemendes PDTT kata SJP seolah menggampangkannya dengan menginstruksikan kepala desa untuk memperbaiki Siskeudes (Sistem Keuangan Desa), unposting kegiatan lain menjadi pengadaan masker atau pemberian modal kepada BUMDes untuk membuat masker. Padahal perubahan APBDes ini menjadi masalah-masalah sebagai berikut.
“Pertama, masalah kewajiban untuk seluruh desa di Indonesia. Menurut SE No. 8 Tahun 2020 di atas, APBDes untuk kebutuhan tanggap Covid-19 tersebut diubah untuk desa-desa yang masuk dalam wilayah Keadaan Luar Biasa (KLB) Covid-19. Kriteria KLB ini menurut SE ini, diatur dalam Peraturan Bupati dan Walikota mengenai pengelolaan keuangan desa. Dengan diwajibkannya pengadaan masker berlogo tersebut kepada seluruh desa di Indonesia, tentu saja menyalahi SE yang dibuat Mendes PDTT sendiri,” katanya.
Kedua, masalah alokasi APBDes. Kemenkeu telah mengeluarkan Permenkeu No. 101/PMK.07/2020 yang intinya mewajibkan pemerintah desa agar menganggarkan BLT dana desa tahap II, jika terdapat Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Pada Pasal 14 disebutkan apabila terdapat KPM, namun desa tidak menganggarkan BLT dana desa tahap II bakal dipotong 50 % dana desanya di tahun 2021.
“Ini menyebabkan APBDes bakal terkontraksi minus jika dipaksa untuk memasukkan pos-pos belanja masker di atas ke dalam APBDes perubahan. Mengapa? Karena dana desa sebagian besar telah digunakan untuk BLT dana desa selama 6 bulan dan program Padat Karya Tunai Desa (PKDT) serta program lain yang telah disepakati sebelumnya dalam musyawarah desa dan telah diatur ke dalam Perbub/Perda di masing-masing Kabupaten/Kota,” ujarnya.
Selain itu kata SJP kebijakan ini kontradiktif dengan penguatan BUMDes. Pada tanggal 27 Juli 2020, Mendes PDTT mengeluarkan Surat Edaran No. 15 Tahun 2020 tentang Padat Karya Tunai Desa (PKTD) dan Pemberdayaan Ekonomi Melalui BUMDes. Surat itu menyebutkan bahwa dana desa yang digunakan untuk BLT Dana Desa dan program Desa Tanggap Covid-10 sebesar 48%.
Artinya masih terdapat sekitar 52% dana desa yang bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang membangkitkan ekonomi produktif di perdesaan melalui pola PKTD dan penguatan BUMDes. Bidang-bidang yang disebutkan dalam surat tersebut sama sekali tidak menyebutkan tentang produksi masker oleh BUMDes, melainkan pemberdayaan ekonomi desa yang sesuai dengan kearifan lokal seperti bidang pertanian dan perkebunan untuk ketahanan pangan; restoran dan wisata desa; perdagangan logistik pangan; perikanan; peternakan; dan industri pengolahan dan pergudangan untuk pangan.
Potensi masalah yang ketiga yaitu kesulitan mengumpulkan donasi dari warga yang mapan. Gerakan Setengah Miliar Masker mewajibkan para kepala desa untuk mengumpulkan donasi dari warga yang mapan. Padahal menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di desa meningkat jadi 12,82 persen dari 12,6 persen pada September 2019.
“Dalam situasi ini dinilai sangat sulit menentukan masyarakat mana yang mapan dan mana yang tidak karena bisa jadi ada warga desa yang menjadi orang miskin baru karena penghasilannya terdampak Covid-19,” ujarnya.
Mencermati berbagai permasalahan di atas, Fraksi PKS lanjut SJP meminta agar Gerakan Setengah Miliar Masker ini tidak perlu diwajibkan bagi seluruh desa di Indonesia sehingga setiap warga desa harus memiliki masker berlogo sebanyak 4 buah, melainkan disesuaikan dengan alokasi Desa Tanggap Covid-19 yang sudah ditentukan dalam APBDes. (ris/r)
No Comments