Mataram (Global FM Lombok)- Presiden Jokowi telah menyampaikan pidato kenegaraan serta RUU APBN dan Nota Keuangan 2022. Dalam pidatonya disebutkan bahwa penanganan pandemi dan perbaikan ekonomi tetap menjadi prioritas ke depannya. Namun demikian pemilihan tema kebijakan fiskal tahun 2022 tampaknya lebih ditekankan pada pemulihan ekonomi, yaitu “Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural”.
Secara khusus Presiden juga menyebutkan bahwa penyelesaian pembangunan infrastruktur untuk memperlancar arus logistik, membangun dari pinggiran dan mempersatukan Indonesia, akan terus diupayakan.
Kendati pemulihan ekonomi merupakan tema khusus pada kebijakan fiskal tahun 2022, namun disebutkan pula bahwa kebijakan pengetatan dan pelonggaran mobilitas masyarakat dilakukan setiap minggu, dengan tetap merujuk kepada data terkini.
“Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi masyarakat ke depannya masih akan diliputi dengan ketidakpastian karena hingga saat ini tidak ada strategi khusus yang diterapkan oleh Pemerintah. Hal ini tentunya berpotensi untuk menghambat pemulihan ekonomi itu sendiri,” kata anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama (SJP) kepada media ini, Selasa (17/08)
Ia mengatakan, tema reformasi struktural di tahun 2022 dalam pernyataan Presiden juga menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja belum berhasil memenuhi target penciptaan lapangan kerja yang justru sangat dibutuhkan disaat pandemi ini.
Hal ini terlihat dari data BPS pada bulan Mei 2021 yang menunjukkan bahwa masih terdapat 19,10 juta orang (9,30 persen penduduk usia kerja) yang terdampak Covid-19. Selain itu masih dibutuhkannya reformasi regulasi dan birokrasi serta dukungan sektoral yang mendorong pertumbuhan, mempertegas bahwa UU Cipta Kerja belum menyelesaikan permasalahan birokrasi yang ada selama ini.
Hal lain yang menarik untuk diperhatikan lanjut SJP adalah besarnya belanja negara dalam RAPBN 2022 yang direncanakan sebesar Rp2.708,7 triliun meliputi, belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp1.938,3 triliun serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp770,4 triliun. Dimana besarnya anggaran ini lebih kecil daripada RAPBN 2021 sebesar Rp 2.747,5 triliun dengan besaran TKDD yang juga turun dibandingkan dengan 2021 sebesar Rp 796,3 triliun.
Beberapa masalah diatas kata SJP akan berpotensi mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi tahun 2022 yang diperkirakan sekitar 5,0% sampai 5,5%, yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2021 yang mencapai 4,5 persen sampai dengan 5,5 persen.
“Sehingga FPKS memandang bahwa di tahun 2022 Pemerintah belum ada terobosan baru dan terlalu optimis dengan menaikkan target pertumbuhan ekonomi tersebut,” terangnya.
Selain itu tidak adanya strategi khusus Pemerintah dalam penanganan pandemi juga turut memberikan ketidakpastian sendiri terhadap pertumbuhan ekonomi yang dicita-citakan. “Sebab kebijakan pengetatan mobilitas yang berubah-ubah berpotensi mempersulit masyarakat umum dalam merealisasikan program-program usaha yang telah direncanakan,” tambahnya anggota DPR RI Dapil Pulau Lombok ini.
FPKS berpendapat bahwa masyarakat sangat membutuhkan adanya kepastian dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. Dimana sebetulnya dari pengalaman pandemi yang telah berlangsung selama 1,5 tahun ini ada satu hal yang pasti, yaitu adanya suatu keharusan untuk disiplin dalam melaksanakan protokol kesehatan 3M (Memakai masker, Mencuci tangan dan Menjaga jarak). “Sehingga yang saaat ini dibutuhkan adalah suatu kebijakan yang konsisten tetapi dapat mengakomodasi berjalannya kegiatan ekonomi masyarakat dengan tetap menegakkan protokol kesehatan,” tutupnya.(ris/r)
No Comments