Mataram (Global FM Lombok)– Program Prona atau Program Nasional Agraria yang dilakukan oleh pemerintah untuk melegalisasi aset, khususnya tanah milik masyarakat, pada tahun 2016 di NTB sangat sarat dengan praktek pungutan liar. Hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan Ombudsman RI Perwakilan NTB sejak Januari hingga Maret tahun 2017 berdasarkan laporan masyarakat menunjukan indikasi merajalelanya pungutan liar yang sangat merugikan masyarakat. Bahkan praktek pungli tersebut sampai menjadikan sertifikat tanah milik warga dari program prona disandera sejumlah oknum kepala desa karena alasan warga belum melunasi sejumlah biaya. Akibatnya, sejumlah warga selain belum berhasil mendapatkan sertifikat tanah mereka, juga diharuskan membayar sejumlah dana.
Kepala Ombudsman Perwakilan NTB Adhar Hakim dalam lirisnya Kamis (30/03) mengatakan, laporan terkait pungli program Prona masuk ke Ombudsman RI Perwakilan NTB datang dari beberada desa di NTB, antara lain dari Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Timur, hingga Kabupaten Sumbawa.
Hasil pemeriksaan lapangan di sebuah desa di Kecamatan Bayan yang baru pertama kali memperoleh program Prona dan mendapat jatah 500 bidang tanah. Ratusan warga peserta Prona mengaku dimintai uang oleh kepala desa mereka hingga Rp 600 ribu. Sementara di sebuah desa di Kecamatan Sakra, Lombok Timur, warga dimintai uang antara Rp 600 ribu hingga Rp 700 ribu. Padahal biaya terkait Prona yang harus dikeluarkan masyarakat tidak sebesar itu.
“Kami telah melakukan pemeriksaan kepada oknum kepala desa dan sejumlah sertifikat yang ditahan kepala desa telah diserahkan kepada warga. Uang kelebihan berupa pungli akan segera dikembalikan kepada warga,” kata Arya Wiguna, Asisten Ombudsman RI Perwakilan NTB. Di desa di Kecamatan Bayan tersebut 500 bidang, terdapat sekitar 300 warga yang belum melunasi pembayaran. Sekitar 60 warga yang sebelumnya sertifikatnya sempat ditahan kepala desa telah diserahkan kembali kepada warga.
Sementara itu hasil pemeriksaan lapangan di sebuah desa di Kecamatan Sakra pungutan pembayaran antara Rp 600 ribu hingga Rp 700 ribu berdasarkan kesepakatan antara warga dengan BPD. “Kesepakatan seperti ini jelas menyalahi aturan. Tidak boleh melanggar aturan yang lebih tinggi,” kata Arya. Telah ada kesiapan kepala desa untuk mengembalikan kelebihan pembayaran.
Laporan pungli juga diterima Ombudsman RI Perwakilan NTB dari sejumlah desa di Lombok Tengah, hingga Kabupaten Sumbawa.Pungutan liar dilakukan sejumlah oknum di kantor desa, termasuk kepala desa dengan berbagai modus dan alasan. Mulai dari alasan permintaan uang lelah, transport juru ukur, hingga kesepakatan warga dan BPD, bahkan berdasarkan ketentuan perdes.
Ombudsman RI Perwakilan NTB sangat menyayangkan praktek pungutan liar dan penahanan sertifikat tanah warga hasil Prona oleh oknum kepala desa. Sebab, pihak Kantor Pertanahan di setiap kabupaten yang menjalankan Prona telah menyerahkan sertifikat yang telah selesai diproses kepada masing-masing pemohon. “Prakteknya setelah diserahkan Kantor Pertanahan, oknum kades memintanya kembali dengan alasan belum lunas,” kata Arya.
Sebenarnya biaya yang disiapkan masyarakat hanya untuk kewajiban mereka membeli materai, administrasi alas hak, pajak BPHTB, hingga patok atau pal batas tanah yang jika ditotal maksimal hanya mencapai antara Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu bagi masyarakat yang sama sekali belum memiliki berkas lengkap. Jika masyarakat telah memiliki berkas lengkap dari seluruh persyaratan, maka tidak ada biaya yang dikeluarkan. Namun prakteknya di lapangan pihak kantor desa biasanya memukul rata antara Rp 500 ribu hingga Rp Rp 700 ribu. Selisih biaya kewajiban warga dan yang harus mereka keluarkan di kantor desa sangat besar, dan inilah bentuk praktek pungli Prona. Apalagi proses pemungutan tidak transparan dan tanpa kuitansi. “Hal ini sangat membuat warga resah,” ujar Arya.
Oleh sebab itu Ombudsman RI Perwakilan NTB menghimbau kepada setiap kepala daerah dan pemerintah daerah di NTB untuk ikut serta melakukan pencegahan praktek pungli dalam Prona dengan melakukan pengawasan ketat dan pembinaan kepada para aparatur desa. Selain itu Pemda di NTB juga dihimbau menganggarkan dana untuk memperlancar program Prona.
“Jika pemerintah pusat saja mau menggratiskan pengurusan Prona, masak pemda yang dibantu bersikap acuh. Apalagi program Prona ini diperuntukan buat masyarakat kelas menengah ke bawah,” kata Arya. Untuk itu Ombudsman RI Perwakilan NTB akan berkoordinasi dengan masing-masing pemda untuk mengatasi persoalan pungli dalam Prona ini. Sementara itu kepada BPN harus memberikan memandu maksimal kepada kantor desa agar aparat desa dapat lebih efektif berkerja. (ris)
No Comments