Potret Komunitas Adat “Wetu Telu” Bayan, Menepis Stigma dan Merawat Warisan Leluhur ( Bagian II)

Global FM
3 Dec 2018 10:30
4 minutes reading

Warga adat Bayan bersiap memasuki kampu dengan memasang niat terlebih dahulu

Oleh : Zainudin Syafari

Filosofi wetu telu yang dianut oleh komunitas adat Bayan tercermin dari sejumlah aktifitas adat mulai dari gawe urip (upacara yang berkaitan dengan daur hidup) upacara yang berkaitan dengan pertanian seperti ngalu ton pule balit (menyambut pergantian musim), buburang Pare (menyemai bibit padi), upacara yang berkaitan dengan kematian yang disebut gawe pati serta gawe adat gama (upacara yang berkaitan dengan masalah keagamaan) dan sejumlah upacara lainnya.

Yang menjadi kekhawatiran adalah apakah generasi muda masih senang dengan adat istiadat yang selama ini dijalankan, serta apakah mereka mengetahui falsafah hidup wetu telu yang menjadi warisan nenek moyang masyarakat Bayan?. Bagi pemangku Adat Bayan, Raden Gedarip, adat istiadat dan falsafah wetu telu akan tetap ada di dada para generasi.

“Alhamdulillah, sampai sekarang kalau kita lihat perkembangannya, betatapun zaman ini berubah, namun anak-anak muda juga ikut terlibat. Pelaksanaan adat ini selalu kita libatkan generasi-genarasi muda ini,” kata Raden Gedarip.

Bagi kaum muda, adat istiadat Bayan ini sungguh unik dan perlu dilestarikan. Darmadi (20) salah seorang anak muda Bayan mengaku cukup antusias belajar adat istiadat Bayan ini. Setiap ada upacara adat, kalangan remaja tak ketinggalan mengambil peran. Selain dari orang tua di kampung, Darmadi mengklaim mendapat pelajaran adat Bayan dari sekolah adat dan pengenalan melalui muatan lokal.

“Malahan yang mudanya banyak sekarang, yang ingin tahunya tinggi, bahkan yang dari jauh-jauh juga datang, saking ingin tahunya sama adat ini. Ada juga orang dari luar yang ingin melestarikan, karena ikatan persaudaraan masih ada, namun tempat tinggalnya jauh, jadi mereka datang, ini kan setahun sekali,” katanya.

Bagi budayawan Lombok, Dr. Lalu Ari Irawan, merawat filosofi wetu telu yang sarat makna serta adat istiadat di dalamnya butuh kemauan dari semua pihak, terutama pemerintah. Harus ada dukungan berupa peraturan daerah (perda) untuk memelihara adat istiadat yang tumbah di masyarakat. Jika dilepas begitu saja, lambat laun tradisi tersebut akan tercerabut oleh pengaruh luar.

“Harapan itu pasti besar-lah, namun kalau dilepas sendiri ditengah masuknya arus global dan kecanggihan teknologi , saya tidak yakin dia bertahan kalau dibiarkan sendiri. Artinya komitmen semua pihak lah untuk merawat ini. Namun peran pemerintah sebagai penyelenggara Negara sangat besar untuk menjamin keberadaan mereka,” terangnya.

Untuk melestarikan adat dan budaya Bayan, Pemerintah Kabupaten Lombok Utara (KLU) memberi dukungan dalam bentuk pendidikan adat dan tradisi. Kepala Dinas Pendidikan Lombok Utara Dr. Fauzan Fuad mengatakan, pihaknya bersama dengan masyarakat adat Bayan dan lembaga swadaya masyarakat mengembangkan lembaga pendidikan non formal yang diberi nama “Sekolah Adat”. Gurunya adalah masyarakat adat itu sendiri agar pemahamannya utuh.

“ Ada juga sekolah adat kita di Bayan, namanya sekolah adat. Itu bukan sekolah resmi, itu sekolah yang digagas oleh anak-anak Karang Taruna disana. Pertama mempelajari adat budaya, kedua mempelajari bahasa Inggris untuk menghadapi wisatawan. Mereka dibekali dengan itu,” kata Fauzan.

Langkah pemerintah daerah ini diapresiasi oleh budayawan Lombok. Namun diharapkan agar konten pelajaran budaya yang diajarkan tidak bersifat atributif atau simbolik semata, akan tetapi lebih ke persoalan yang mendalam. Karena falsafah yang terkandung dalam wetu telu dan pelaksanaan adat istiadatnya memiliki makna yang besar untuk menciptakan hubungan yang baik dengan tuhan, lingkungan dan masyarakat.

“Saya tidak tahu kontennya seperti apa, namun inisiatif itu saya pikir baik untuk atmosfir pelestarian itu. Namun kita harapkan itu pemerintah paham benar terkait hal-hal strategis yang dilaksanakan, bukan hal-hal yang atributif. Namun harus lebih substansi persoalannya,” kata Lalu Ari.

Berbincang bersama warga adat dalam proses maulud adat

Berapa jumlah komunitas penganut wetu telu di Lombok saat ini?. Sejauh ini belum ada pendataan yang pasti lantaran penganut filosofi ini ada dalam keyakinan seseorang. Namun menurut Raden Gedarip jumlahnya masih banyak yaitu mencapai puluhan ribu orang di Kecamatan Bayan.

“Yang masih bertahan sekali cuma desa Bayan ini, katakanlah di kecamatan Bayan ini berani saya katakana sekitar 80 persen masih ada. Desanya yang masih utuh betul filosofi wetu telu ini termasuk desa Sukadana, Desa Loloan juga masih bagus,” katanya.

Upacara maulud adat yang digelar di Bayan setiap tahun tetap menyita perhatian masyarakat dari luar kawasan Bayan. Ritual tersebut diapresiasi oleh sebagian masyarakat karena hal itu bagian dari tradisi masa lampau yang tetap dipelihara sampai sekarang.

Salah seorang pengunjung asal Mataram, Alfan mengatakan, maulud adat ini menjadi sebagai khazanah kekayaan budaya yang harus tetap dilestarikan oleh pemerintah dan generasi sekarang karena upacara itu memilki pesan moral yang tinggi.

“ Terus terang saya sangat senang melihat ini. Ini masih kental adatnya. Saya berusaha menghormati adat ini dengan menggunakan pakaian adat khas Bayan. Saya berharap ini tidak tergerus oleh waktu ya. Saya lihat juga banyak wisatawan yang datang saat prosesi maulud. Ini artinya adat ini sangat menarik dan unik serta bisa menjadi kalender event,” kata Alfan.

 

 

No Comments

Leave a Reply