Oleh : Zainudin Syafari
Komunitas adat wetu telu di Lombok Utara adalah potret masyarakat yang masih mempertahankan tradisi warisan para leluhur suku Sasak di Pulau Lombok. Aneka upacara adat masih terus dilakoni dengan taat di waktu-waktu tertentu. Wetu telu adalah filosofi atau falsafah hidup yang dipegang teguh masyarakat adat di Bayan dan sekitarnya. Namun banyak kalangan yang tidak utuh memahami filosofi ini sehingga menimbulkan stigma negatif terkait dengan pelaksanaan syariat keagamaan. Kini masyarakat adat Bayan masih berjuang menepis stigma, mempertahankan adat istiadat dan tradisi ditengah tantangan budaya luar yang menjangkiti generasi muda.
Perjalanan menggunakan kendaraan bermotor dari Kota Mataram menuju wilayah Kecamatan Bayan di Lombok Utara memakan waktu sekitar tiga jam. Kami mendatangi Desa Karang Bajo, sebuah desa di Bayan yang sedang melaksanakan ritual adat yaitu Maulud Adat selam dua hari. Hari pertama adalah persiapan bahan makanan dan piranti upacara lainnya yang disebut kayu aiq, sementara hari kedua adalah do’a dan makan bersama yang dipusatkan di masjid kuno Bayan
Perhitungan berdasarkan ‘sereat’ (syari’at) adat gama di Bayan. Mulud adat Bayan dilaksanakan dua hari setelah Maulid Nabi berdasarkan Kalender Islam tanggal 12 Rabi’ul Awal yang tahun 2018 ini jatuh pada tanggal 23-24 November.
Pada hari pertama maulud, masyarakat Adat Bayan berbondong-bondong menuju kampu yaitu desa asli atau area yang pertama didiami oleh suku Sasak Islam Bayan. Di tempat ini mereka menyerahkan hasil bumi dan hewan ternak. Hasil bumi itu diserahkan kepada seseorang yang dipanggil Inan Menik yaitu seorang perempuan yang dituakan dalam adat dan nantinya hasil bumi itu akan diolah menjadi hidangan untuk dihaturkan kepada tokoh agama dan tokoh adat sasak Bayan pada hari kedua.
Pada hari pertama maulud, kaum perempuan mulai menutu pare atau menumbuk padi bulu menggunakan rantok atau tempat menumbuk padi yang terbuat dari kayu diiringi gamelan gendang gerantung. Kaum perempuan hanya menggunakan kain kemben dan penutup kepala, sementara laki-laki hanya menggunakan kain tenun yang menutupi pinggang sampai betis dan sapuq atau ikat kepala. Para pengunjung dan tamu juga diwajibkan menggunakan pakaian adat itu untuk menghormati masyarakat adat. Sebagian kaum laki-laki mencari bambu tutul untuk dijadikan sebagai umbul-umbul yang akan dipajang pada setiap pojok masjid kuno Bayan. Pada malam harinya digelar acara perisaian atau adu pukul menggunakan rotan yang menjadi permainan tradional masyarakat suku Sasak.
Di hari kedua perayaan maulud adat, sejumlah upacara adat masih terus digelar, mulai dari acara menampiq beras atau membersihkan beras yang telah di tutu dalam rantok hingga parade praja mulud. Upacara praja maulud ini dilakukan oleh para pemuda adat yang telah didandani menyerupai dua pasang pengantin,. Upacara ini mengambarkan proses terajdinya perkawinan langit dan bumi, Adam dan Hawa, yang disimbolkan dengan pasangan penganten yang dilakukan oleh pranata-pranata adat Bayan.
Setibanya di masjid, salah seorang pemuka agama memimpin do’a dan dilanjutkan dengan makan bersama yang dikuti para warga adat yang datang kemudian untuk menyantap hidangan yang telah disediakan. Ritual adat ini tidak terlepas dari filosofi wetu telu yang dianut oleh masyarakat setempat selama berabad-abad.
Menurut Raden Gedarip, pemangku adat masyarakat Bayan, pelaksanaan upacara maulud adat berkaitan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, syukuran atas keselamatan dan kesuksesan pertanian. Selama pelaksanaan maulud, ratusan masyarakat akan mendatangi tempat-tempat yang dianggap suci oleh masyarakat setempat seperti kampu dan masjid kuno Bayan.
Di momentum inilah, masyarakat adat akan membawa hasil bumi serta hewan ternaknya untuk membayar nazar atau janji saat mereka memperoleh kebaikan dalam hidup.
“Itu ada kaitannya dengan kelahiran manusia, ada kaitannya dengan keselamatan manusia, ada juga kaitannya dengan pertanian. Dirangkaikan dengan kelahiran Nabi itu selalu tanpa diminta kedatangannya, yang penting dia merakasan dia memiliki, dia datang membawa hasil pertanianinnya dan kelengkapan upacara itu sendiri ya,” kata raden Gedarip
Tidak jauh beda dengan Raden Gedarip, penasihat adat Bayan Raden Asjanom mengatakan, upacara maulud adat ini sebagai bentuk syukuran atas nikmat tuhan. Mereka yang merayakan maulud ini tak hanya dari Kecamatan Bayan, namun mereka juga berasal dari luar Bayan yang mencintai tradisi nenek moyang mereka.
“Para komunitas adat itu berdatangan dari Tanjung, bahkan dari Lombok Barat, mereka ikut serta menyaksikan maulud ini, berarti mereka juga jamaah adat, karena setiap maulud itu tidak mau tidak hadir, ada saja yang dibawa, bawa kayu, beras, padi, kambing, kerbau” tutur Raden Asjanom.
Adapun proses maulud adat ini berlangsung selama dua hari dengan rangkaian acara yang berbeda-beda. Namun tujuannya hanya satu yaitu sebagai ungkapan syukur atas nikmat tuhan dan memperingati bulan kelahiran nabi Muhammad SAW sang pembawa risalah Islam.
Filosofi Wetu Telu yang Sarat Makna
Upacara maulud adat adalah bagian dari filosofi wetu telu. Terminologi wetu telu ini sarat makna bagi masyarakat adat. Salah satunya adalah memperbaiki hubungan antara manusia dengan tuhannya, hubungan antara manusia dengan alam serta hubungan manusia dengan manusia lainnya. Wetu telu juga bisa berarti seluruh kehidupan di muka bumi ini berasal dari tiga cara yaitu menganak (melahirkan), mentioq (tumbuh) dan menteluq ( bertelur). Bisa juga diartikan sebagai memaknai tiga siklus kehidupan manusia yaitu dilahirkan, hidup dan mati.
Menurut Raden Gedarip, salah satu stigma negatif yang masih dialamatkan ke komunitas wetu telu adalah tidak sempurnanya pelaksanaan ibadah solat fardu lima waktu. Sebagain masyarakat menilai, komunitas wetu telu hanya melaksanakan kewajiban salat tiga kali sehari. Padahal kata Raden Gedarip, komunitas ini tetap menjalankan salat fardu lima kali sehari sesuai dengan kewajiban umat Islam.
Ia menilai stigma ini lahir tak terlepas dari politik adu domba sejak era kolonial Belanda agar umat Islam di Pulau Lombok tidak bersatu melawan penjajahan kala itu.
“Maaf kalau dulu ada istilahnya waktu telu (waktu tiga-red), itu memang ada di tulisan Belanda dulu. Atau ada istilahnya sara lauq, sara daye. Karena kan Belanda dia unsur pemecah belah, mereka tak senang kalau Islam itu bersatu. Istilah itu yang diperdalam orang dan menjadi salah kaprah,” kata Raden Gedarip.
Tokoh adat yang dituakan lainnya, Raden Asjanom menegaskan, dalam sejarah Islam di Lombok disebutkan, Islam masuk pertama kali di Bayan oleh penyebar Islam dari pulau Jawa dan dari Timur Tengah dan mendirikan masjid kuno Bayan yang masih berdiri kokoh hingga kini. Sehingga tak ada alasan untuk mengatakan pelaksanaan syariat Islam didaerah ini belum lengkap.
“Jadi kita bukan sembahyang tiga kali, kita ini orang Islam, masjid pertama ada di Bayan. Di daerah lain kan belum ada dulu, jadi pusat Islam dulu ada di Bayan.” Katanya.
Budayawan Lombok, Dr. Lalu Ari Irawan menilai lahirnya persepsi yang keliru tentang wetu telu lantaran literatur awal tentang kehidupan komunitas adat ini yang hanya menggunakan pendekatan antropologi. Orang luar yang mengamati sebuah peristiwa adat memberi kesimpulan tanpa adanya klarifikasi yang cukup sehingga muncullah pengetahuan umum soal wetu telu yang kurang tepat ini.
“Jadi sekarang kita sarankan kalau masuk melalui saluran penelitian yang dipercayai kualitas informasinya. Misalnya dari majelis adat kah atau dari dari pihak tertentu. Nanti diberi sudut pandang yang menerangkan sesungguhnya. Silahkan dituliskan berdasarkan validasi pakar itu,” kata Lalu Ari.
Falsafah wetu telu yang dianut masyarakat adat Bayan dan sekitarnya masih terus ada dan dijalankan melalui sejumlah upacara adat oleh komunitasnya, meskipuntantangannya tidak kecil, baik dari dalam maupun dari luar.(bersambung)
No Comments