Jemaat Ahmadiyah yang tinggal di asrama Transito Kota Mataram, Provinsi NTB sejak tahun 2006 silam kini masih tetap menunggu kebijakan pemerintah. Sudah 15 tahun mereka mendiami bangunan milik pemerintah daerah tersebut sejak mereka terusir dari kampung halamannya di Perumahan Bumi asri Ketapang, Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat oleh kelompok intoleran.
Di sini terdapat sebanyak 35 keluarga atau 127 jiwa pengungsi jemaat Ahmadiyah yang mengharapkan keadilan, terlebih di masa pandemi Covid-19. Bagaimana kondisi mereka saat ini ? Global FM Lombok mencoba mengulasnya kembali di momentum 15 tahun mereka berada di tempat pengungsian ini.
Puluhan anak-anak sedang asyik bermain sepak bola saat kami datang ke Asrama Transito belum lama ini. Sementara sejumlah orang tua terlihat sedang sibuk menjemur hasil pertanian di tanah lapang di dekat gedung asrama. Bangunan ini berlokasi di tengah Kota Mataram. Asrama Transito gampang diakses dari segala arah karena berada di pinggir jalan kota yang terhubung langsung dengan jalan protokol.
Kami menemui Syahidin selaku RT warga Ahmadiyah di Transito yang pada saat itu tidak sedang pergi ke sawah. Biasanya setiap pagi hingga sore, ia ke sawah garapannya di wilayah Kecamatan Lingsar. Ia banyak bertutur soal kehidupan komunitas Ahmadiyah di tempat penampungan ini, terlebih di masa pandemi.
Menurutnya, yang masih menjadi beban pikiran warga Ahmadiyah di Transito yaitu bagaimana agar mereka bisa keluar dari tempat penampungan ini, terlebih mereka sudah tinggal di sana lebih dari 15 tahun. Mereka berharap agar pemerintah memberikan jalan keluar seperti rumah subsidi.
“Jadi maunya kami supaya agar bisa seperti warga Indonesia pada umumnya, dalam arti di luar transito. Misalnya kalau ada rumah yang murah, ada kan program rumah subsidi itu kan, bagaimana kalau itu agar kami bisa keluar dari transito ini,” kata Syahidin membuka percakapan saat ditanya mengenai tempat tinggal yang diinginkan.
Permintaan ini pernah disampaikan Syahidin secara langsung ke Gubernur NTB Dr.H. Zulkieflimansyah saat menyambangi asrama Transito bulan Mei lalu. Saat itu ia mengatakan bahwa komunitas Ahmadiyah ingin segera keluar dari penampungan ini lantaran sudah sangat lama tinggal di sini tanpa kepastian masa depan.
“Supaya kami keluar dari Transito ini, tidak jadi pengungsi lagi saya bilang. Beliau ( Gubernur-red) bilang, mudah-mudahan, nanti lah kita bicarakan ke depan, bagaimana solusi ke depannya,” tambahnya.
Senada dengan Syahidin, Munawarah ibu rumah tangga usia 54 tahun yang juga tinggal di asrama ini mengatakan, dirinya sangat mengharapkan kebijakan pemerintah agar mencarikan solusi yang terbaik untuk tempat tinggal di masa yang akan datang. Hal yang paling diinginkannnya yaitu keluar dari asrama Transito dan berbaur dengan masyarakat di luar lingkungan asrama.
“Karena anak-anak sudah besar juga kan, mental anak-anak yang juga kita harus jaga, jadi harapan kita ke pemerintah itu lebih baik kita di luar, lebih enak pak masalahnya. Karena mungkin saking lamanya kita di sini, seperti burung dalam sangkar itu,” tuturnya.
Jemaat Ahmadiyah yang tinggal di asrama Transito memang seakan tak memiliki masa depan. Jika ingin pulang ke kampung halamannya di dusun Ketapang, Lombok Barat, kini kompleks perumahannya sudah nyaris rata dengan tanah, sehingga tidak ada harapan lagi.
Sebanyak 21 unit rumah yang dulu berjejer rapi di Dusun Ketapang, kini sudah hancur. Memang ada rumah yang dindingnya masih berdiri, namun sudah tak bisa ditempati lagi karena sudah lapuk dimakan usia. Tumbuhan merambat dan semak-semak kini memenuhi bangunan yang dulunya adalah perumahan tersebut.
Penyerangan oleh kelompok intoleran ke rumah jemaat Ahmadiyah terjadi 4 Februari tahun 2006 silam. Kondisi tersebut memaksa mereka untuk tinggal di penampungan sampai hari ini.
Lalu apa tanggapan Pemerintah Kota Mataram terhadap harapan jemaat Ahmadiyah tersebut ? Asisten I Setda Kota Mataram Lalu Martawang mengatakan, Pemerintah Kota Mataram bersama dengan Pemerintah Provinsi NTB sudah melakukan rapat koordinasi secara daring dengan Kantor Staf Kepresidenan terkait dengan masalah tempat penampungan komunitas Ahmadiyah Transito.
Salah satu yang disepakati dalam rapat koordinasi tersebut yaitu pemerintah berencana akan membangun rumah susun di lokasi asrama Transito tersebut untuk selanjutnya ditempati oleh 35 KK warga Ahmadiyah. Namun pembangunannya belum jelas kapan akan dimulai karena merupakan ramah pemerintah pusat, terlebih saat ini masih dalam suasana pandemi Covod-19.
“Kan itu aset miliknya pemerintah provinsi. Supaya tidak kumuh seperti itu, di sana saja dibangun langsung. Sehingga bisa sejenis model rusunawa itu. Kalau masalah realisasinya kan ranahnya pemerintah pusat. Karena di suasana Covid ini tentu kita juga harus memaklumi. Apa yang diusulkan itu belum tentu bisa langsung dieksekusi, karena seluruh konsentrasi anggarannya kan untuk Covid-19,” kata Lalu Martawang.
Namun sayangnya, pola yang ditawarkan oleh pemerintah itu dinilai kurang responsif terhadap kebutuhan mereka. Syahidin beralasan jika jemaat Ahmadiyah Transito masih tetap tinggal di sana meskipun nantinya akan ada bangunan baru, namun status pengungsi masih melekat pada diri mereka.
“ Saya kira kurang cocok, karena apa, kalau tetap masih di sini, masih tetap berstatus sebagai pengungsi. Walaupun misalnya digratiskan sekian tahun tidak bayar misalnya, namun dari segi penyebutan masih tetap sebagai pengungsi,” katanya.
Sementara itu Gubernur NTB Dr. H. Zulkieflimansyah mengatakan, terkait dengan aspirasi jemaat Ahmadiyah yang menginginkan ada bantuan tempat tinggal yang layak, Pemprov NTB bersama pemerintah pusat sedang mengupayakannya.
“Saya kira jangan lihat mereka sebagai Ahmadiyah ya, lihat mereka sebagai manusia. Menurut saya ada beberapa ruangan yang tidak layak lagi jika ditempati bersama. Saya kira naluri kemanusiaan kita harus dikedepankan, harus dibantu menurut saya. Nanti saya cek, kadang-kadang masalah lokasi dijadikan masalah,” kata Bang Zul, sapaan akrabnya.
Menurutnya, semua masyarakat di NTB tetap diperhatikan, tidak terkecuali kelompok minoritas seperti Ahmadiyah. Meski demikian lantaran pandemi Covid-19, pemerintah masih fokus untuk menanggulangi masalah pandemi ini, baik oleh pemerintah pusat maupun Pemprov NTB.
Bang Zul sendiri pernah melihat langsung bilik-bilik kamar yang dihuni oleh jemaat Ahmadiyah di asrama Transito itu bulan Mei 2020. Ia merasa terenyuh karena tempat tinggal mereka tidak layak, sehingga perlu ada kebijakan untuk membuat bangunan yang lebih layak.
“Bukan hanya kepada Ahmadiyah, namun kepada siapa saja, itu kewajiban kita sebagai warga bangsa untuk menyediakan perumahan yang layak untuk siapa saja, tidak membedakan keyakinan, agama dan lain sebagainya. Karena waktu saya berkunjung ke sana, ada anak kecil lah, wah kasian gitu, tidak layak gitu. Namun karena semua perhatian setelah Covid itu berubah semua, langsung konsentrasinya ke Corona.,” tutupnya. ( Bersambung)
Liputan ini terselenggara atas dukungan beasiswa meliput isu keberagaman di tengah Pandemi oleh Sarikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan Internews.
No Comments