PKS Nyatakan Menolak RUU IKN, Ini Alasannya

Global FM
1 Oct 2021 16:53
3 minutes reading
H.Suryadi Jaya Purnama (SJP)

Mataram (Global FM Lombok)- Presiden Jokowi akhirnya menyerahkan Surpres terkait Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN). Surpres tersebut diantar langsung oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Nasional Suharso Monoarfa ke DPR pada Rabu, 29 September 2021. 

RUU Ibu Kota Negara ini terdiri dari 34 pasal dan 9 bab yang berisi visi ibu kota negara, pengorganisasian, penggunaan, hingga pembiayaannya. Seperti diketahui Presiden Joko Widodo dan jajarannya dalam beberapa kesempatan telah berulang kali mengungkapkan rencananya untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

“Namun demikian hingga kini belum pernah ada penjelasan atau paparan yang rinci mengenai alasan serta konsekuensi berupa manfaat dan resiko dari pemindahan Ibu Kota Negara tersebut,” kata Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS H Suryadi Jaya Purnama (SJP) kepada media ini Jumat (1/10).

Ia mengatakan, FPKS berpendapat masyarakat luas perlu mengetahui secara rinci alasan yang menjadi pertimbangan pemindahan Ibu Kota Negara ini beserta konsekuensinya. Banyaknya pertanyaan yang muncul di masyarakat membuktikan bahwa persiapan pemerintah dalam menyusun naskah akademik dan RUU IKN tidak melibatkan partisipasi masyarakat.

Anggota DPR RI Dapil Pulau Lombok ini berpendapat tidak adanya diskusi publik yang dilakukan dalam penyusunan naskah akademik RUU IKN menyebabkan beberapa pakar mempertanyakan dan menyampaikan pendapatnya melalui berbagai media dan berharap adanya ruang untuk berdiskusi terkait wacana pemindahan Ibu Kota Negara ini.  

“Hal ini merupakan sesuatu yang wajar sebab pemindahan Ibu Kota Negara ini tentunya bukan tanpa risiko, baik itu dari segi pembiayaan maupun dari sisi pemilihan lokasinya yang belum tentu bebas bencana,” ujarnya.

Ia menjelaskan, terkait adanya partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ini disebutkan dalam Pasal 96 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan baik tertulis dan/ataupun lisan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya dan/atau diskusi. Hal ini pun ditegaskan pula dalam lampiran UU No.12 Tahun 2011 terkait sistematika naskah akademik dimana disebutkan bahwa salah satu metoda penyusunan naskah akademik adalah dengan menggunakan metoda yuridis normatif yang dilakukan melalui studi pustaka dengan menelaah data sekunder yang dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat.

“Oleh sebab itu kami di FPKS menolak pembahasan RUU IKN karena proses penyusunannya yang tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat luas. Apalagi di saat pandemi yang masih belum usai ini, sudah barang tentu perhatian masyarakat lebih tertuju pada pemulihan ekonomi dan kesehatan. Seharusnya Pemerintah membersamai masyarakat dalam penanganan pandemi ini,”tegasnya.

Jangan sampai lanjut SJP, kurangnya diskusi publik akibat masih berlangsungnya pandemi kemudian menyebabkan naskah akademik dan RUU yang dibuat menjadi tidak berkualitas. (ris/r)

No Comments

Leave a Reply