Mataram (Global FM Lombok) – Pedagang minuman keras (miras) tradisional di Kota Mataram belakangan ini semakin marak. Hal ini dipicu minimnya pengawasan dari pemerintah maupun aparat penegak hokum (APH). Operasi terpadu dibutuhkan untuk memutus mata rantai peredaran miras tradisional.
Pantauan Global FM Lombok, di jalur – jalur utama botol berwarna merah muda berjejer rapi di bawah cahaya lampu redup di kawasan Cakranegara, Mataram dan Sandubaya. Pedagang secara demonstratif menunjukkan barang dagangannya. Padahal lokasi – lokasi itu sebelumnya sering dirazia oleh petugas.
Kendala pengendalian peredaran miras tradisional dijelaskan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Mataram, Bayu Pancapati ditemui di ruang kerjanya, Jumat (17/1) yakni masalah geografis. Sebab, Mataram diapit oleh dua wilayah yang notabene sebagai produksi miras tradisional.
Menutup ruang gerak pendistribusian ke kota membutuhkan keterlibatan Satuan Polisi Pamong Praja NTB, Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah. “Di Mataram mana ada produksi miras tradisional. Semua itu didatangkan dari luar,” kata Bayu.
Baca Juga : Pol PP Musnahkan Miras
Kedua, penindakan oleh aparat penegak Perda tersebut selalu dibenturkan dengan upacara adat. Konsumsi tuak diklaim pedagang diperuntukan untuk penyelenggaraan upacara adat. Di satu sisi kata Bayu, pemerintah sangat menjaga toleransi. Di sisi lain, pedagang semaunya berjualan dengan cara demonstatif di jalan.
Terakhir, kekurangan personel dan minimnya anggaran pengawasan di lapangan. Dengan anggaran tersedia tidak mungkin Pol PP melakukan razia setiap hari. Untuk penertiban setidaknya melibatkan tim dari kepolisian dan keamanan kelurahan. “Saya rasa Pol PP ini selalu dianaktirikan dari sisi anggaran,” keluhnya.
Faktor maraknya pedagang miras tradisional diakui, adalah longgar atau minimnya pengawasan. Semestinya, camat dan lurah serta kepala lingkungan mengawasi aktivitas warganya. Dengan kekurangan personel di Pol PP tidak bisa mengawasi setiap hari.
Baca Juga : Miras dan Narkoba Masih Menjadi Tantangan Berat Provinsi NTB
Langkah petugas menyita barang dagangan hingga membawa kasusnya ke pengadilan, justru tidak memberi efek jera bagi pedagang. Pedagang lebih berani lagi karena tidak ada sanksi lebih tegas. “Kita amankan ratusan botol. Eh, besoknya kembali lagi berjualan,” sesalnya.
Peredaran miras tradisional dinilai Bayu sebagai lingkaran setan. Artinya, perlu secara terpadu masing – masing daerah menindak tegas warga sebagai produsen, penyalur maupun pedagang. Selain itu, pedagang maupun produsen miras tradisional harus memiliki izin. Izinnya harus diperketat, sehingga tuak jadi langka. Kelangkaan ini menyebabkan harga naik dan tidak ada masyarakat yang akan berani membeli. (cem)
No Comments