Mataram (Global FM Lombok)-Sudah lebih dari satu bulan, sebagian warga Kota Mataram masih berada di lapangan Sangkareang yang merupakan salah satu titik pengungsian. Mereka masih bertahan di tempat tersebut meski intensitas gempa sudah semakin mengecil.
Salah seorang pengungsi asal Karang Panas Mataram, Suparni, Rabu (5/9) pagi mengaku masih berada di tempat pengungsian lantaran trauma terhadap gempa yang sampai saat ini masih mengguncang NTB, termasuk Kota Mataram. Terlebih, saat gempa berkekuatan 6,2 pada Kamis tanggal 9 Agustus lalu dia sedang berada di rumah sakit pasca operasi persalinan anak kelimanya.
“Anak saya banyak, bapaknya jualan sozis di Cemare kan jauh. Tidak ada kendaraan kalau gempa bagaimana. Sementara rumah sempit. Saya masuk rumah sakit aja trauma karena di situ gempanya. Pas setelah operasi di rumah sakit kota”,katanya.
Dia mengungsi di lapangan Sangkareang bersama suami dan ke lima anak-anaknya. Selama mengungsi di lapangan Sangkareang, dia mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan logistik maupun terpal dari pemerintah meski lokasi pengungsiannya hanya berjarak beberapa meter dari kantor Walikota Mataram.
Dia beranggapan bahwa tidak adanya bantuan bagi pengungsi di lapangan Sangkareang lantaran pemerintah berpikir bahwa pengungsi di sana merupakan warga mampu. Padahal, di tempat itu juga banyak warga tidak mampu.
“Karena di Sangkareang ini kelihatan yang mengungsi itu orang kaya doang. Kelihatan dari mobil-mobil yang berjejer. Padahal terselip di tengah-tengah itu orang yang tidak punya. Tapi Alhamdulillah saya dapat rezeki anak saya kadang dari perkumpulan Arema”,tuturnya.
Selama ini dia dan sebagian pengungsi di Sangkareang memenuhi kebutuhan dari hasil jualan makanan ringan di tempat itu. Selain itu, dari semua pengungsi yang ada saat ini hanya dia yang mendapatkan bantuan dari perkumpulan mahasiswa lantaran diketahui memiliki anak balita. Bantuan yang diperoleh berupa popok bayi, terpal dan juga sembako.
Pengungsi lainnya, Zaenah mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah selama mengungsi di lapangan Sangkareang. Pengungsi asal Gomong Lama ini tinggal di bawah tenda yang terbuat dari bekas baliho yang sudah usang. Sehingga bocor ketika turun hujan.
Dia tinggal di tempat pengungsian bersama dua anaknya. Sementara suaminya tidak ada lantaran sudah bercerai. Dia mengaku mengungsi sejak gempa tanggal 5 Agustus lalu dan masih bertahan hingga saat ini lantaran trauma terhadap gempa. Rumahnya juga mengalami kerusakan di bagian atap dan bocor ketika hujan. Hal itu yang membuatnya semakin takut untuk kembali ke rumah karena gempa masih terjadi sampai saat ini. Sejauh ini, dia sudah tiga kali pindah tempat pengungsian.
“Karena saya kalau pulang trauma. Jadinya lagi balik. Saya ambil pakaian ganti aja. Soalnya kan rumah saya di atas sudah bocor, kemarin ujan kan”,katanya.
Zaenah tidak lebih beruntung dari Suparni. Hal itu lantaran dia tidak pernah mendapatkan bantuan apapun selama berada di lapangan Sangkareang, baik itu bantuan yang bersumber dari pemerintah maupun dari pihak swasta atau organisasi kemasyarakatan.
“Tidak ada bantuan sama sekali. Dapat mie satupun tidak ada di sini. Terpal tidak ada, selimut tidak ada. Tanya aja semua pengungsi di sini tidak ada yang dapat”,ujarnya.
Dia mengaku tidak mengetahui apakah bantuan itu disalurkan melalui kelurahan atau tidak karena selama ini dia berada di tempat pengungsian. Dia mengaku akan tinggal di lapangan Sangkareang sampai kondisi benar-benar aman. Adapun untuk sementara ini dia memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan berjualan makanan ringan dengan modal pinjaman. (dha)
No Comments