Giri Menang (Global FM Lombok) – Provinsi NTB memiliki sumber pakan sapi yang murah dan melimpah, yaitu lamtoro. Hasil penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB bersama peneliti dari Fakultas Peternakan Universitas Mataram (Unram), lamtoro dapat meningkatkan bobot sapi dan potensi peningkatan pendapatan peternak di NTB mencapai Rp2,032 triliun.
Kepala BPTP NTB, Dr. Ir. Tanda S. Panjaitan, M.Sc., mengatakan lamtoro merupakan pakan yang murah dan berkualitas. Lamtoro juga sangat cocok dikembangkan di NTB karena bisa mengatasi kekurangan pakan saat musim kemarau.
‘’Dengan kondisi NTB yang kering, harus sesuai dengan budaya NTB, harus bisa mengatasi kekurangan pakan. Pilihannya adalah lamtoro, mengandung protein tinggi,’’ kata Tanda pada acara Lokakarya dan Temu Bisnis Penguatan Rantai Pasok Daging Sapi Lokal Berkualitas di NTB, bertempat di Hotel Jayakarta Senggigi Lombok Barat, Kamis, 24 Juni 2021.
Lokakarya dan Temu Bisnis Penguatan Rantai Pasok Daging Sapi Lokal Berkualitas di NTB dibuka Rektor Unram, Prof. Dr. H. Lalu Husni, S.H., M.Hum. Acara tersebut juga dihadiri Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan), drh. Syamsul Ma’rif, M.Si.
Tanda mengatakan, pengembangan tanaman lamtoro sebagai pakan ternak di NTB merupakan strategi peningkatan mutu daging. Ia menyebutkan lamtoro mengandung protein kasar 18-32 persen, kecernaan di atas 65 persen dan energi sebesar 10 Mj/kg BK.
Ia menyebutkan, pengembangan lamtoro untuk pakan sapi dikembangkan di tujuh kabupaten di NTB dengan jumlah peternak di atas 3.000 orang dan luasan di atas 2.000 hektare. Yaitu, Kabupaten Sumbawa, Dompu, Bima, Sumbawa Barat, Lombok Tengah, Lombok Utara dan Lombok Timur.
Berdasarkan hasil hitung-hitungan yang dilakukan antara penggemukan sapi tanpa lamtoro dan menggunakan lamtoro. Pendapatan penggemukan sapi selama setahun sebesar Rp2,032 triliun dibandingkan dengan tidak menggunakan lamtoro yang hanya mendapatkan pendapatan sekitar Rp600,819 miliar.
Angka tersebut diperoleh dari jumlah induk sapi di NTB sebanyak 473.428 ekor. Dengan penggemukan biasa, tingkat kebuntingan sekitar 60 persen, sedangkan jika penggemukan menggunakan lamtoro, tingkat kebuntingan mencapai 80 persen.
Kemudian, potensi jumlah pedet yang dihasilkan jika penggemukan menggunakan lamtoro sebanyak 1.514.969,6 ekor dan penggemukan biasa sebanyak 1.136.227 ekor. Untuk jarak beranak penggemukan biasa selama 16 bulan, sedangkan penggemukan dengan lamtoro 12,4 bulan.
Berat anak sapi umur 12 bulan yang dilakukan penggemukan biasa sebesar 104 kg, sedangkan yang digemukkan dengan lamtoro sebesar 161 kg. Selain itu, harga sapi hidup per kg untuk penggemukan biasa sebesar Rp45 ribu, sedangkan sapi yang digemukkan dengan lamtoro mencapai Rp48 ribu per kg.
“Kenapa lamtoro bisa menjadi sangat bagus. Karena lamtoro punya protein 18-32. Kalau kita hitung lagi, pendapatan penggemukan Rp600 miliar kalau yang biasa. Sedangkan Rp2,032 triliun dengan lantoro,” sebutnya.
Tanda mengatakan, persoalan yang dihadapi di NTB terkait pengembangan sapi karena manajemen yang buruk. Dengan manajemen buruk, tingkat kelahiran rendah dan tingkat kematian pedet tinggi. Kemudian persoalan juga persialan nutrisi, sehingga pertumbuhan ternak sapi terganggu.
‘’Setelah diskusi, ternyata simpel. Tiru saja model Australia. Yaitu selaraskan antara ketersediaan pakan dengan kebutuhan reproduksi dan pertumbuhan,’’ katanya.
Ia mengatakan, masalahnya memang kelihatan kompleks tetapi solusinya sangat simpel. Jika mau menyelaraskan antara pakan dengan kebutuhan reproduksi dan pertumbuhan, maka yang perlu diatur adalah mengontrol perkawinan, manajemen pejantan, penyapihan, dan pemberian pakan tambahan berbiaya rendah untuk induk dan pedet.
“Kita terjemahkan dengan nama kalender kawin. Kemudian dinamakan manajemen perkawinan satu anak satu induk setiap tahun,” katanya.
Sapi harus diatur perkawininannya bulan Juni sampai Desember. Kemudian, jika sudah musim kering, anaknya disapih karena pakan menipis. “Kalau ini disapih, meskipun induknya makan jerami tetap akan sehat. Karena bebannya sudah berkurang. Itulah yang dikerjakan di Australia,” terangnya.
Ia mengatakan strategi ini dicoba pada 2001 – 2003. Dengan strategi ini berat sapi menjadi meningkat. “Kita coba di Lombok Tengah dengan jumlah yang besar. 36 kelompok 1000 peternak, sekitar 3.500 induk,” sebutnya.
Rata-rata tingkat kelahiran 86 persen dengan berat lahir 16 kg. Kematian juga bisa ditahan. Dengan jumlah induk sebanyak 100 ekor, melalui strategi satu induk satu anak setiap tahun, tingkat kebuntingan mencapai 80 persen. Potensial jumlah pedet yang dihasilkan 320 ekor dibandingkan dengan cara biasa.
“Duitnya selama empat tahun, kalau yang biasa Rp706 juta, dengan model ini kita dapat Rp2,2 miliar untuk 100 ekor indukan. Dengan model ini peningkatannya 193 persen, pendapatan peternak sampai 213 persen,” terangnya.
Rektor Unram, Prof. Dr. H. Lalu Husni, S.H., M.Hum., mengatakan, kegiatan lokakarya ini sebagai wujud pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi khusunya penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Ia mengatakan, Unram bekerjasama dengan BPTP NTB dan institusi baik dalam dan luar negeri telah banyak melakukan riset yang menghasilkan inovasi untuk meningkatkan produksi dan mutu daging sapi lokal yang berkualitas.
‘’Pemenuhan kebutuhan daging bagi masyarakat merupakan kewajiban pemerintah. Karena dalam konsep negara kesejahteraan, fungsi negara selain sebagai regulator juga sekaligus mengawasinya. Sebagai penjamin, terpenuhinya kebutuhan masyarakat,’’ katanya.
Terkait daging, ada keterbatasan suplai yang berdampak terhadap fluktuasi harga di pasar. Sehingga harus dicari solusi pemecahannya untuk menjamin mata rantai suplai tak terputus.
‘’Itulah sebabnya saya sangat mengapresiasi panitia yang menggagas acara ini. Lokakarya ini diharapkan bisa melahirkan sumbangsih pemikiran,’’ katanya.
Sehingga tidak terjadi putusnya mata rantai suplai pasok daging sapi lokal berkualitas. Sekaligus sebagai bagian dari peran Unram untuk NTB, dunia usaha dan masyarakat. (ris/nas)
No Comments