Pengenalan dan Edukasi Label Hemat Energi Barang Elekronik di NTB Harus Digencarkan

Global FM
30 Jun 2024 16:17
8 minutes reading

Deretan kulkas yang dijual di Toko Anugerah Jaya Kota Mataram. Semua kulkas ini sudah memiliki SKEM dan LTHE (Global FM Lombok/ris)

Penulis: Zainudin Syafari

Muhammad, warga Kota Mataram sibuk memilih-milih barang elektronik di kawasan pertokoan Pagesangan Kota Mataram awal Juni kemarin. Ia berencana akan membeli kulkas. Barang yang dicari adalah yang bagus dan cocok dengan harga.

Selain murah, barang elektronik yang dicari adalah yang hemat energi Listrik agar sesuai dengan daya kelistrikan di rumah. Namun Sistem Kinerja Energi Minimum (SKEM) dan Label Tanda Hemat Energi (LTHE) yang menempel di sejumlah barang elektronik tak pernah menjadi perhatiannya.

“Tak pernah saya lihat (LTHE), watt yang saya lihat pertama kemudian harga. Kalau harganya murah kemudian watt-nya agak tinggi ya lumayan. Tapi tak pernah lihat logo hemat, baru tahu sekarang ini. Kalau kulkas itu ada ada logo hematnya, kalau lampu barus aya tahu saya” kata Muhammad.

Sementara itu Fatih, warga Lombok Timur mengaku label tanda hemat energi yang menempel di beberapa jenis barang elektronik belum pernah diperhatikan. Ia mengatakan, butuh sosialisasi dari pemerintah agar konsumen sadar dengan barang elektronik yang hemat energi. Terlebih jika daya yang terpasang di rumahnya hanya 450 VA

“Ini baru dengar juga ini adanya label hemat energi ya. Saya tak pernah dengar sosialisasi mengenai label hemat energi ini. Kwh di rumah itu 450, kecil memang. Barang elektronik tak bisa aktif semuanya. Saya punya AC, kulkas, mesin cuci, dan rice cooker, nah ke empat-empatnya tak bisa hidup bersamaan. Harus digilir,” katanya.

Pemerintah bisa juga bisa memberi sosialisasi soal label hemat energi ini melalui para pedagang elektronik. Sehingga pedagang aktif menjelaskan soal produk-produk elektronik yang hemat energi kepada konsumen yang ditandai dengan label tanda hemat energi.

“Semestinya dijelaskan oleh pedagang. Tapi justru pedagang atau penjaganya tak tahu soal itu,” tambahnhya.

Warga Kota Mataram lainnya Devi mengaku telah membeli dua barang elektronik tahun 2023 kemarin yaitu kipas angin dan penanak nasi di sebuah ritel di Kota Mataram. Namun sayangnya ia tak menemukan label tanda hemat energi di dua barang tersebut.

“Sejauh ini dari barang elektonik yang sudah saya beli itu magicom dan kipas angin, tak ada label hemat yang sesuai aturan itu. Kalau beli barang biasanya lihat harga dan hematnya. Kalau tak hemat listrik akan boros apalagi banyak barang elektonik di rumah” aku Devi.

Ia pun berharap pemerintah melakukan sosialisasi kepada penyalur semua barang elektronik dan masyarakat terkait pentingnya label hemat energi tersebut. Sebab hal ini berkaitan dengan biaya listrik yang harus dikeluarga di rumah tangga.

“Harusnya sosialisasi dulu ya, kalau masyarakat tahu mereka bisa memilih mana barang yang sudah ada label untuk hematnya. Kemudian mana yang tidak biar kita tak salah pilih” sarannya.

Beda halnya dengan Imansyah, warga Kota Mataram lainnya mengaku telah mendengar soal label tanda hemat energi di sejumlah barang elektronik. Informasi ini didapatkan langsung saat membeli barang di toko elektronik. Menurutnya barang elektronik yang hemat energi adalah yang paling prioritas.

“Saya memperhatikan (LTHE-red), karena itu yang pertama kita tanya kalau membeli barang elektronik itu. Yang paling utama itu hemat energinya pak, soal listrik. Saya Belum dapat sosialisasi soal LTHE, justru kita dapat pada saat kita membeli barang, kalau dari pemerintah belum ada” ujarnya.

Barang elektronik yang hemat energi memang menjadi kebutuhan konsumen. Terlebih yang memiliki daya Listrik terbatas di rumahnya. Namun banyak konsumen yang melihat harga murah sebelum membeli barang tersebut.

Ajun, pemilik Toko Anugerah Jaya di Kota Mataram mengaku selama ini konsumennya lebih banyak yang melihat dari sisi harga daripada barang elektronik yang hemat energi. Terlebih barang elektronik hemat energi biasanya akan lebih mahal daripada yang tak hemat atau kurang hemat.

“Orang bule baru tanya hemat energi, kalau orang Indonesia yang penting murah. Side (anda-red) kasi hemat energi terus mahal dia bingung. Yang non hemat energi yang murah. Yang lebih murah yang non hemat energi” katanya.

Namun kedepannya ia memperkirakan produk elektronik yang tak hemat energi akan tersisih atau tak dipilih konsumen, apalagi jika semua barang elektonik nantinya akan berlebel hemat energi.

“Ya lama-lama nanti akan tersisihkan barang yang tak hemat energi” tambahnya.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) hingga 2024 ini telah menetapkan 7 peralatan elektronik wajib terapkan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) dan Label Tanda Hemat Energi (LTHE).

Ketujuh peralatan elektronik itu adalah AC (pengkondisi udara), penanak nasi, kipas angin, kulkas, lampu LED, televisi dan showcase atau lemari pendingin minuman. SKEM dan LTHE tersebut tertempel di ketujuh barang elektonik tersebut agar diketahui oleh konsumen.

Namun sesungguhnya SKEM dan LTHE bagi konsumen NTB adalah hal yang baru. Project Manager Yayasan Rumah Energi Krisna Wijaya menilai, konsumen barang-barang elektronik di NTB masih melihat harga barang dan mengesampingkan aspek kehematannya.

Karena itulah, melalui Yayasannya ia mencoba melakukan edukasi kepada masyarakat bagaimana memanfaatkan energi dengan hemat. Selain memilih barang elektronik yang memiliki label hemat energi, ia memberi edukasi bagaimana menanfaatkan sumberdaya energi terbarukan di rumah tangga.

“Kalau di rumah tangga, kami melihat seperti listrik LED masih jarang. Jadi mereka masih menggunakan bola lampu yang sangat boros. Hal-hal seperti itu masih belum teredukasi di masyarakat kita. Kami pelan-pelan mencoba melakukan edukasi,” kata Krisna Wijaya.

Selain memilih barang elektronik dengan melihat SKEM dan LTHE, masyarakat sebaiknya mulai membiasakan diri untuk menerapkan konsep efisiensi energi di rumah tangga. Peralatan elektronik semisal AC, kipas angin, rice cooker, bola lampu, televisi seharusnya digunakan seperlunya. Sehingga peralatan elektonik tersebut dimatikan jika tak terpakai.

“Sehingga yang ontime hanya kulkas saja sebenarnya. Kalau yang lain-lain sebenarnya tidak sesuai kebutuhan semua. Misalnya AC kalau sudah tak dipakai, harus dimatikan. Itu jadi komitmen di rumah tangga,” tambahnya.

Terkait Standar Kinerja Eenergi Minimum (SKEM) dan Label Tanda Hemat Energi (LTHE) ini, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi NTB Sahdan mengatakan, aturan ini memang sudah disosialisasikan oleh Kementerian ESDM ke pemerintah daerah, termasuk ke ESDM NTB. Namun demikian pihaknya belum melakukan sosialisasi atau kegiatan untuk memberi pemahaman kepada konsumen soal kebijakan pusat ini.

“Mestinya begitu, setiap ada kegiatan, program atau pelaksanaan kegiatan ada pengawasan.tanpa hal itu tak bisa efektif berjalan. Kami akan koordinasi lebih lanjut dengan pihak terkait supaya kita punya pemahaman yang sama, agar lebih efektif pelaksanaannya,” kata Sahdan.

Sosialisasi SKEM dan LTHE Dinilai Belum Maksimal

Sekretaris Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sri Wahyuni mengatakan, aspek sosialisasi SKEM dan LTHE masih kedodoran. Hal ini terbukti dari belum banyaknya masyarakat yang memahami label hemat energi tersebut.

Ia menilai pemerintah belum maksimal memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan SKEM dan LTHE ini. Sehingga pemerintah disarankan agar kelompok konsumen diberdayakan dalam proses sosialisasi ini untuk menyentuh lebih banyak lagi masyarakat agar semakin sadar pentingnya penggunaan hemat energi.

“Kalau kami melihat dan merasakan sendiri ini belum maksimal. Skup yang kecil saja ini masih banyak konsumen yang belum paham. Makanya gunakanlah peer grup -peer grup pemerintah itu. Jangan kalau mereka tak mepunyai SDM, gunakan kelompok konsumen kelompok konsumen, itu lebih efektif” kata Sri Wahyuni saat ditemui di Bogor Jawa Barat belum lama ini.

Masih terbatasnya pengetahuan hemat energi di masyarakat tercermin dari hasil survei tahun 2019 lalu yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih belum hemat penggunaan energi. Misalnya sebanyak 48 persen pengguna AC masih menyalakan di angka 18 drajat. Kemudian durasi penggunaan AC juga masih cukup lama atau cenderung diluar kebutuhan. Sehingga pemerintah harus tetap memberi sosialisasi kepada masyarakat.

Program Manager CLASP Indonesia Nanik Rahmawati mengatakan, kesadaran hemat energi di Indonesia memang masih sangat rendah yaitu 6,5 persen konsumen yang paham soal pelabelan hemat energi. Di zona Bali Nusa Tenggara paling rendah dengan angka 3 persen saja. Sehingga pemerintah butuh kerja keras untuk meningkatkan kesadaran masyarakat soal pentingnya penggunaan label hemat energi

“Jadi harus massif dan continues sosialisasinya. Kemarin kami melakuakn tiga workshop diantaranya di asosiasi building owner dan managemen, itu yang tahu dari seluruh peserta yang ada hanya empat peserta saja yang tahu lebelling hemat energi, kayak gitu ya” katanya.

Terkait dengan hal itu, Koordinator Pengawasan Konservasi Energi Direktorat Konservasi Energi Ditjen EBTKE Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Endra Dedy Tamtama mengatakan, konsep SKEM dan LTHE di barang elektronik ini memang masih tetap disosialisasikan kepada masyarakat di seluruh Indonesia melalui sejumlah cara. Bahkan ke lingkungan sekolah. Namun pihaknya mengalami keterbatasan untuk menjangkau seluruh masyarakat.

“Kalau ke seluruh Indonesia kan kami juga ada keterbatasan ya. Dulu ada Iklan Layanan Masyarakat di TV, kemudian di kantor kami dengan lingkungan sekitar, ada ibu-ibu PKK, kantor instansi-instansi, asosiasi ibu-ibu, kemudian ke instansi pendidikan dilakukan juga,” kata Endra Dedy Tamtama kepada media ini.

Ia mengatakan, Pemda di seluruh Indonesia diminta untuk menggunakan barang elektonik berlabel hemat energi. Kemudian terkait pengawasan terhadap SKEM dan LTHE dilakukan oleh Kementerian ESDM dan tidak ada pendelegasian kewenangan pengawasan ke daerah. Namun diharapkan Kementerian lain seperti Kementerian Perdagangan bisa melakukan koordinasi dengan Dinas Perdagangan di daerah untuk memberikan perhatian pada SKEM dan LTHE ini.

“Peran pemda, satu di institusinya mereka menggunakan. Kedua, kalau pengawasannya tentu kembali lagi sesuai kewenangannya. Kita juga tak mau mengawasi, satu produsen didatangi berkali-kali. Itu juga merepotkan. Pengusaha juga tidak mau, jadi pengawasan kembali ke regulasi. Kalau untuk SKEM dan label sesuai regulasi tak ada pendelegasian ke daerah” imbuhnya.

Sub Koordinator Direktorat Konservasi Energi Ditjen EBTKE Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Ratri Anggraeni Nurwini mengaku dari awal aturan ini keluar tahun 2017 lalu, sosialisasi telah dilakukan secara massif. Namun saat itu baru produk AC yang memiliki SKEM dan LTHE. Ia optimis kesadaran konsumen akan meningkat setelah semakin banyak barang elektronik yang memiliki label hemat energi.

“Kita sudah sempat bikin iklan juga sebelum Covid itu, tapi mungkin belum terlalu ngeh itu istilahnya karena kan peralatnnya baru AC saja waktu itu. Namun nanti semakin banyak peralatan semakin banyak. Kita juga sudah koordinasi dengan Perdagangan (Kemendag-red) terkait pengawasannya, kita sudah minta tolong dong diawasi,” ujarnya.(*)

 

 

No Comments

Leave a Reply