Pengelola Desa Wisata ; “Kalau Tetap Ditutup, Kita akan Semakin Miskin”

Global FM
2 Jul 2020 15:42
12 minutes reading

Aktivitas Desa Wisata Bilebante (ist)

Mataram ( Global FM Lombok) – Saat Covid-19 mewabah, pengembangan desa wisata yang menjadi salah satu program NTB  Gemilang , ikut terganggu. Kini, memasuki era kenormalan baru, sektor pariwisata termasuk di dalamnya desa wisata siap menerima kunjungan wisatawan setelah beberapa bulan terakhir  mati suri. Kenormalan baru dibuka, tentu dengan catatan penting, protokol Covid-19  menjadi syarat utama.

PEMPROV NTB telah menetapkan 99 desa di NTB sebagai desa wisata pada tahun 2019 silam. Dalam jangka waktu 5 tahun ke depan, desa wisata yang dikembangkan ini akan mampu memberikan pendapatan asli bagi desa yang diharapkan dapat meningkatkan taraf perekonomian desa.  

Sejak mewabahnya Covid-19 awal Maret di Indonesia, termasuk di NTB membuat semua kegiatan terganggu. Termasuk kegiatan wisata, yang mendatangkan orang dari luar, baik luar kawasan hingga luar negeri untuk sementara ditutup.

Pertengahan Juni 2020, sehubungan dengan upaya menuju kenormalan baru, pemerintah daerah mulai merancang membuka objek wisata  dengan  mengambil tiga gili (Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air) sebagai pilot project.  Selain tiga gili, juga KEK Mandalika, Senggigi dan Rinjani.

 Pelaku wisata bersama Dinas Pariwisata (Dispar) NTB bergerak. Begitu juga dengan praktisi desa wisata. Mereka juga tidak mau ketinggalan dengan momen era baru setelah pandemi. Praktisi desa wisata berusaha bangkit kembali menata desa wisatanya. Sehingga objek wisata yang ada di desanya kembali mendatangkan income bagi warga, meski masih harus menggantungkan kedatangan wisatawan lokal.


Aktivitas Desa Wisata Bilebante dengan menerapkan protokol Covid-19 pada wisatawan. (ist)

Desa Wisata Bilebante, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) salah satu desa wisata yang banyak menyedot pengunjung setiap hari, terutama di akhir pekan dan hari libur. Namun sejak Covid-19 Maret lalu, desa wisata ini ditutup untuk mencegah penyebaran pandemi.

Baru pekan kemarin desa wisata ini mulai dibuka oleh pengelolanya. Para pengunjung sudah banyak yang datang. Tentu saja pengunjungnya adalah wisatawan lokal yang membutuhkan hiburan setelah selama tiga bulan dibatasi aktivitasnya. Desa wisata ini makin digandrungi wisatawan lokal, terlebih pengelola menambah fasilitas berupa kolam renang, panahan, aktivitas edukasi berupa permainan lokal, dan lainnya.

‘’Selain fasilitas tadi, yang coba kita variasikan juga adalah kuliner, sedikit sedikit saja yang penting bergerak. Pelan tapi pasti Insya Allah akan jalan,’’ kata Penggerak Desa Wisata Bilebante, Hj. Zaenab kepada akhir pekan kemarin.

Ia mengatakan, dibukanya Desa Wisata Bilebante ini tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan. Karena itu pengelola telah menyediakan tempat cuci tangan bagi seluruh pengunjung. Pengukuran suhu tubuh dengan thermogun, kemudian mensyaratkan penggunaan masker dan jaga jarak. Bagi pengunjung yang tak pakai masker diminta untuk membeli masker di pengelola agar sesuai dengan protokol Covid-19.

‘’Pengunjung harus pakai masker. Kalau tidak pakai masker, kita siapkan masker, kita jual. Intinya kita tidak akan kasi masuk kalau tidak pakai masker. Kalau tak mau pakai masker, ya kita suruh balik saja,’’ tegasnya.

Ia mengatakan, selama sepekan kemarin, yang datang ke Desa Wisata Bilebante adalah wisatawan lokal saja. Sementara wisatawan domestik yang biasanya datang dari Jakarta atau Surabaya belum ada, mengingat saat ini masih dalam suasana pandemi, di mana orang masih membatasi perjalanan wisatanya.

Di Lombok Timur (Lotim), para pelaku wisata di desa wisata menyambut baik pembukaan objek wisata. Empat bulan lamanya desa-desa wisata ini sepi. Pembukaan desa wisata ini diharapkan kembali bisa membangkitkan perekomian masyarakat.

Wakil Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Sapit Kecamatan Suela, Hijazi Noor, menuturkan, sudah lama pelaku wisata ini menganggur. Sehingga pembukaan kembali desa wisata menjelang fase new normal pandemi Covid-19 menjadi angin segar.

Dibukanya kembali desa Sapit sebagai tempat berwisata diyakini akan bisa menyelamatkan kembali warga dari ancaman kemiskinan. ‘’Kalau tetap ditutup maka kita akan semakin miskin,’’ ujarnya.

Disadari, karena masih dalam situasi pandemi, semua pengunjung ke desa-desa wisata ini sepatutnya mematuhi protokol kesehatan. Kebijakan Bupati Lotim yang akan memberikan tindakan represif terhadap orang-orang yang tidak taat pada protokol Covid-19 saat berada di objek wisata didukung pelaku wisata Desa Sapit ini.

Desa Sapit, sambung Hijazi Noor merupakan destinasi wisata andalan yang selama ini cukup ramai dikunjungi. Beberapa objek wisata yang ada di desa ini, adalah Sandikala, Taman Pelangi, Bukit Pal Jepang dan sejumlah bukit indah lainnya menjadi sajian wisata yang banyak menarik minat wisatawan.

Menjelang new normal ini, kemungkinan hanya bisa bisa dikunjungi wisatawan nusantara. Wisatawan asing sendiri disadari masih belum bisa maksimal karena penerbangan diketahui belum bisa normal. Harapannya, penerbangan ini kembali normal dan aktivitas berwisata ini kembali berjalan seperti biasanya.

Aktivitas wisata religi di Makam Loang Balok, Kota Mataram (bul)

Sementara di destinasi wisata religi, Makam Loang Baloq di Kelurahan Sekarbela, Kota Mataram mulai ramai dikunjungi. Sejak Covid-19 mewabah di NTB, makam ini nyaris tak lagi ada pengunjung.

Memasuki fase new normal, desa wisata ini mulai dibuka dan pengelola mengharuskan pengunjung menggunakan masker. Kemudian menjaga jarak dan pengelola menyiapkan tempat cuci tangan dipintu masuk gerbang Makam Loang Baloq. Pemkot Mataram juga melakukan penyemprotan disinfektan.

Minggu (27/6) akhir pekan kemarin,ada puluhan peziarah di tempat ini. Ada banyak pengunjung di sana. Meski ditekankan menggunakan protokol kesehatan, minim terlihat yang menggunakan masker, jaga jarak juga tak diperhatikan. Di dalam makam, social distancing juga diabaikan.

Desa Wisata Dibuka Secara Bertahap

H.Lalu Moh Faozal

Pemprov NTB melalui Dinas Pariwisata sedang mempersiapkan semua perangkat yang dibutuhkan untuk menunjang aktivitas pariwisata di masa pandemi Covid-19. Utamanya yang menyangkut Standard Operational Procedure (SOP) yang sudah disusun oleh Dinas Pariwisata.

Untuk pembukaan desa wisata, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi NTB H. Lalu Moh. Faozal mengatakan, pembukaannya dilakukan secara bertahap. Nantinya akan dibuat pilot project satu desa wisata di masing-masing kabupaten di NTB. Pentingnya pilot project itu dibuat untuk memastikan agar desa wisata itu sudah sesuai dengan penerapan protokol Covid-19.

“Kita akan mulai buka desa wisata itu awal Juli ya. Kita siapkan SOP desa wisata itu dulu. Kami yang susun SOP-nya, tentu mengacu juga pada kementerian,” katanya akhir pekan kemarin.

Ia mengatakan, poin-poin SOP desa wisata tidak akan jauh berbeda dengan SOP untuk wisata secara keseluruhan. Misalnya bagaimana pengelola desa wisata atau pokdarwis memiliki Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai untuk melayani tamu atau pengunjung yang datang berwisata.

Selain itu juga fasilitas tempat mencuci tangan harus disediakan. Begitu juga kegiatan disinfeksi secara rutin harus dilakukan oleh Pokdarwis untuk menjaga agar desa wisata benar-benar steril dan aman untuk dikunjungi.” APD untuk layanan pokdarwisnya paling tidak harus ada. Ini yang sedang kita hitung,” katanya.

Menurutnya, tantangan yang masih dihadapi oleh pemerintah daerah untuk menerapkan kenormalan baru di sektor pariwisata adalah kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan. Karena berdasarkan hasil pemantauannya di lapangan, banyak masyarakat justru sudah mengabaikan protokol kesehatan misalnya dengan tidak menggunakan masker, tidak jaga jarak dan lainnya.

“Sekarang ini, manusia yang jadi kendala. Bagaiman menjaga disiplin diri itu. Boleh aktivitas dengan alasan ekonomi, namun ini tidak akan sukses kalau orang tidak mau disiplin. Misalnya kemarin saya lihat di bypass ada orang kecimolan atau nyongkolan, jarang saya lihat pakai masker. Makin turun kesadaran diri ini,” keluhnya.

Catatan Global FM Lombok, ada sejumlah desa wisata baik di Pulau Lombok maupun di Pulau Sumbawa yang selama ini pengembangannya bagus dan banyak dikunjungi oleh wisatawan seperti Desa Senaru, Sembalun Bumbung, Aiq Beriq, Kembang Kuning, Sesaot, Mas-Mas, Tetebatu, Gili Indah, Pusuk Lestari, Kerujuk, Karang Bajo, Buwun Mas, Setanggor, Bonjeruk, Bilebante, Mertak, Mantar, Lantung, Bungi, Pancasila, Hu’u, Lakey, Kawinda To’i, Maria, Sambori, Kolo dan  puluhan desa wisata lainnya di 10 kabupaten/kota di NTB.

Ketua BPPD NTB Anita Ahmad (ist)

Bagaimana respon BPPB NTB terhadap pembukaan destinasi wisata ini? Ketua BPPD Provinsi NTB, Anita Ahmad menyambut baik dibukanya objek wisata tiga gili (Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air) Saat desa mulai membangun desa wisatanya, Corona Virus Disease (Covid-19) mewabah. Selanjutnya dapat disusul oleh desa-desa wisata yang sudah siap menerima kedatangan orang luar.

Owner Hotel Grand Legi ini mengatakan, desa wisata memiliki potensi yang cukup besar untuk berkembang. Wisatawan mancanegara biasanya sangat tertarik menikmati tempat-tempat wisata yang masih natural kulturnya, tanpa by design. Dan NTB memiliki banyak desa wisata yang kekayaam alam dan budayanya masih dipertahankan sampai sekarang.

Soal siap atau tidaknya dibuka kembali desa wisata ini sangat relatif. Tergantung kesiapan masyarakat setempat, tentunya juga kesiapan pemerintah daerah. Karena itu, untuk membangun trust ini, menurut Anita, seluruh stakeholders harus bersama-sama menjaga kedisiplinan pelaksanaan protokol kesehatan. Yakinkan kepada publik, desa wisatanya sudah aman dikunjungi.

Membangun trust adalah upaya menggerakkan wisatawan lokal, dometik berwisata. Masyarakat harus disiplin menjalankan ptotokol kesehatan menggunakan masker di luar rumah, menjaga jarak, sesering mungkin mencuci tangan dengan sabun, dan ketentuan lain yang disyaratkan untuk menekan penularan virus corona.

“Jika hal itu sudah dilakukan. Otomatis wisatawan mancanegara yang melihatnya akan tertarik datang berwisata. Kepercayaan ini yang harus terus dibangun,” jelas Anita.

Pemerintah tidak boleh lelah mengedukasi masyarakat pentingnya protokol kesehatan. Secara berantai seluruhnya harus bergerak. Dari tingkat provinsi, kabupaten/kota hingga tingkat pemerintah desa. harus mengawal masyarakat melaksanakan protokol kesehatan, agar wisatawan dari luar daerah meyakini, keadaannya aman.

Pihaknya memperkirakan masih butuh waktu untuk benar-benar normal kembali seperti sebelum adanya Covid-19. WHO sampai saat ini juga belum merilis adanya penawar virus corona. Masing-masing negara juga tengah berlomba-lomba menemukan obatnya. Dalam proses menunggu ini, menurut Anita, ekonomi juga harus digerakkan. Salah satunya dari aktivitas pariwisata. Sejak diberlakukannya kenormalan baru, beberapa hotel sudah mulai dibuka. Ini menjadi sinyal yang baik menuju tatanan kehidupan yang lebih baik di masa Covid.


H Misbach Mulyadi

Sarankan Uji Coba Beberapa Desa Wisata

DPRD NTB menghendaki agar Pemprov NTB melakukan uji coba beberapa desa wisata menjelang new normal atau kenormalan baru sejalan dengan pembukaan sejumlah destinasi wisata unggulan lainnnya. Uji coba sebagian kecil desa wisata ini diharapkan bisa memberi contoh kepada desa lainnya dalam hal pengelolaan desa wisata yang ideal.

Anggota Komisi II DPRD NTB H.Misbach Mulyadi mengatakan, pemerintah daerah diharapkan mengambil beberapa sampel desa wisata yang memiliki potensi cepat tumbuh dan berkembang sebagai pilot project. Misalnya desa wisata yang ada di sekitar KEK Mandalika, sekitar bandara, di dekat tiga Gili, Sembalun atau beberapa kelurahan di Kota Mataram.

“Pemda bisa mengambil contoh desa yang berpotensi paling cepat tumbuh ke depan seperti di sekitar Kuta, Sade, di daerah Bangsal, Senggigi, Sembalun, serta beberapa sentra kerajinan di Kota Mataram. Kita uji coba agar berhasil, sehingga ada panutan bagi desa yang lain,”  ujarnya.

Selain itu,ujarnya, di Lombok bagian selatan ada pula Desa Gerupuk dan Mekar Sari yang memiliki potensi berupa arena selancar. Jika sedang ramai, banyak wisatawan datang ke desa-desa ini untuk selancar dan menginap selama event berlangsung.  

Ia mengatakan, jika pemda akan mengembangkan desa wisata dalam jumlah yang banyak misalnya 99 desa, dikhawatirkan akan banyak gagalnya. Pasalnya anggaran pengembangan wisata desa memang terbatas, juga jika dipaksakan, khawatir tidak banyak wisatawan yang akan mengunjungi desa tersebut.

“Karena itulah desa wisata harus terkonsep dengan baik. Misalnya membuat desa wisata di daerah-daerah industri yang sudah dikenal orang sebagai produsen ekonomi,” katanya.

Pemerintah daerah dan pelaku wisata harus memiliki prediksi misalnya dalam jangka waktu 10 tahun ke depan, wajah desa wisata yang dikembangkan saat ini akan menjadi seperti apa. Karena tidak semua desa memiliki potensi untuk berkembang di bidang pariwisata.

Selanjutnya, praktisi pariwisata di NTB ini juga mendorong agar pemda terus melakukan pendampingan terhadap desa wisata yang akan dibuka sehingga sesuai dengan protokol Covid-19. Penerapan protokol kesehatan menjadi satu keharusan di desa wisata agar masyarakat dan wisatawan sama-sama aman dan nyaman.

Jika pengelola desa wisata secara disiplin menerapkan protokol Covid-19, hal itu akan memberikan kesan yang baik bagi desa wisata itu sendiri. Citra sebagai destinasi wisata yang aman dan nyaman di masa Covid akan menguntungkan secara bisnis, karena wisatawan lebih suka datang ke destinasi yang aman.  

“Jika misalnya kita mau pergi ke Kuta, kemudian muncul kesan bahwa Kuta sudah siap dengan protokol Covid, maka orang-orang akan tertarik datang ke sana. Ini citra positif di masa pandemi,” katanya.

Dana Pengembangan Desa Wisata Ikut Terdampak

Dr. Ashari

SALAH satu sumber dana pengembangan desa wisata yaitu APBDes melalui penyertaan modal di BUMDes. Namun, karena pandemi Covid-19, alokasi dana di APBDes banyak dibelanjakan untuk menghadapi dampak pandemi, yang paling menonjol yaitu untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa selama enam bulan.

Menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Pemerintah Desa Kependudukan dan Pencatatan Sipil (DPMPD-Dukcapil) Provinsi NTB Dr. H. Ashari, SH., MH., mengatakan, berdasarkan PMK 50/2020 tentang Pengelolaan Dana Desa, BLT Desaditambah menjadi enam bulan dari sebelumnya hanya tiga bulan. BLT Desa diberikan kepada keluarga miskin yang tidak menerima bantuan program keluarga harapan, kartu sembako, JPS dan kartu prakerja.

“Jadi BLT Desa itu diberikan selama enam bulan. Ada tambahan sesuai dengan PMK 50 yaitu di bulan Juli, Agustus dan September,” kata Ashari akhir pekan kemarin.

Di laman kemenkeu.go.id disebutkan, BLT Desa bertambah dari Rp 1,8 juta per Keluarga KPM menjadi Rp 2,7 juta per KPM. Jangka waktu ditambah dari tiga bulan menjadi enam bulan dengan rincian enam bulan pertama sebesar Rp600 ribu per KPM/bulan dan tiga bulan berikutnya Rp300 ribu per KPM/bulan.

Bahkan dalam PMK 50 itu disebutkan bahwa pemerintah desa lebih leluasa menganggarkan BLT Desa dalam APBDes dan memperluas cakupan keluarga penerima manfaat karena dalam PMK itu menghapus batasan maksimal pagu dana desa yang digunakan untuk BLT Desa. Dana Desa diprioritaskan untuk pelaksanaan BLT Desa, sehingga pemerintah desa wajib menganggarkan dan melaksanakan BLT Desa tersebut.

Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa kekuatan fiskal pemerintah desa di masa pandemi ini difokuskan untuk penanganan dampak Covid-19. Adapun untuk pembiayaan yang lain, termasuk di dalamnya pengembangan desa wisata bisa dikesampingkan. “Itu fokus utama kita dulu. Artinya yang lain-lain bisa dikesampingkan dulu,” katanya.

Jika tak mendapat porsi anggaran di APBDes, pengembangan desa wisata tahun 2020 ini sebenarnya bisa diperoleh di anggaran yang lain misalnya di pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, karena memang pengembangan desa wisata berasal dari beberapa sumber.

Pengembangan desa wisata di Provinsi NTB selama ini banyak bersumber dari BUMDes yang dikelola oleh pemerintah desa. BUMDes sendiri mendapat penyertaan modal yang tidak kecil dari anggaran desa. Terlebih di sejumlah kabupaten sudah ada ketentuan minimal 10 persen dari jumlah APBDes itu diperuntukkan bagi pengembangan BUMDes yang didalamnya termasuk desa wisata.

“Namun harus sesuai dengan kondisi masing-masing. Jika sangat mendesak misalnya tidak bisa mengalokasikan 10 persen untuk BUMDes, silahkan penanganan Covid ini diutamakan dulu. Namun jika masih ada ruang ya silahkan saja (dianggarkan untuk BUMDes atau desa wisata-red)” kata Ashari.

Dalam mengelola desa wisata, Ashari menyarankan agar pemerintah desa dan pokdarwis betul-betul menerapkan protokol kesehatan dalam menjalankan aktivitasnya. Pentingnya menerapkan protokol Covid ini agar desa aman dari penyebaran virus ini.

“Ada keputusan Forkopimda, baik itu di pusat perbelajaan, pusat ibadah atau pusat keramaian agar selalu jaga jarak, cuci tangan, pakai masker. Ini harus kita saling mengingatkan,”tutupnya.(tim)

No Comments

Leave a Reply