Harga daging ayam di pasar-pasar tradisional di Kota Mataram dan sekitarnya masih tetap tinggi. Salah satu penyebabnya, pakan ternak yang relatif mahal. Peternak tak bisa berkutik dengan tingginya biaya produksi dari pakan. Karena seluruh pakan pabrikan masih didatangkan dari luar. Yang menjadi ironi, pakan ternak mahal sementara bahan baku untuk membuat pakan unggas dipasok dari NTB.
SEJAUH ini, memang belum ada alternatif konkrit untuk mengurangi biaya produksi dari pakan. Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) NTB, masih dilema mengurangi ketergantungan peternak unggas pada pakan pabrikan. Sampai saat ini peternak unggas harus menyesuaikan dengan perkembangan harga pakan pabrikan. Sebab peternak unggas lokal sendiri belum cukup siap untuk memproduksi pakan alternatif yang kandungan proteinnya paling tidak mendekati kandungan pakan pabrikan.
Sedangkan soal bahan baku, NTB sebenarnya memiliki ketersediaan yang cukup besar. Misalnya jagung dan dedak yang justru dipasok dari NTB oleh para pengusaha. Memang untuk memproduksi pakan ternak cukup hanya bahan baku yang cukup besar bisa dipasok dari NTB. Menurut Ketua Himpuli Provinsi NTB, H. Bono Mariadi, ada komponen bahan pendukung lainnya yang bahkan harus didatangkan dengan cara impor, misalnya saja konsentrat.
‘’Karena itulah, mau tidak mau kita harus ngikuti harga pasar untuk pakan pabrikan,’’ ujarnya.
Tak dipungkiri bahwa pakan adalah persoalan klasik. Pakan didatangkan dari Jawa. Melalui beberapa distributor besar seperti Baling-baling Bambu dan UD. Sinta. Kontribusi pakan terhadap biaya produksi cukup tinggi.
Misalnya harga jual ayam Rp 16.000/ekor. Harga bibit ayam masuk Rp 4.000, harga pakan Rp 8.000 sampai Rp 9.000. Ada selisih keuntungan yang didapat peternak rata-rata Rp 3 ribu bila peternak dapat melakukan efisiensi.
‘’Bisa juga dapat margin Rp 2.000. Margin ini kecil sekali bila dihitung dengan biaya-biaya lain yang harus dikeluarkan. Idealnya, peternak dapat Rp 4.000 sampai Rp 5.000. Ini bisa ditekan dari harga pakan,’’ katanya.
Mengapa harus bergantung pada pakan pabrikan? Karena menurut Bono, untuk ayam pedaging perlakukannya tak bisa disamakan dengan ayam kampung. Ayam pedaging sepenuhnya mengandalkan pakan pabrikan, sesuai kebutuhan konsentrat untuk mempercepat perkembangannya. Sementara ayam kampung, bisa memanfaatkan pakan yang tersedia. Tetapi untuk memenuhi kebutuhan pasar, dominan yang dibutuhkan oleh masyarakat ayam pedaging.
Untuk pakan mandiri, lanjut Bono, beberapa peternak sudah melakukan uji coba memproduksi sendiri. Bahkan melibatkan akademisi dari Universitas Mataram (Unram). Hingga saat ini, uji coba tersebut gagal, lantaran biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi pakan mandiri lebih besar dibandingkan dengan membeli pakan pabrikan.
Untuk mengurangi ketergantungan pakan pabrikan ini, Bono mengatakan pemerintah daerah melalui Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakeswan) pada periode sebelumnya berencana memberikan subsidi pakan. Namun belum terealisasi hingga saat ini.
Kendati demikian katanya, jika pelatihan pembuatan pakan digalakkan, kemudian pemerintah memberikan stimulus untuk alat-alat produksi, bisa saja biaya produksi dapat tekan.
Harga daging ayam yang tinggi di pasaran akibat naiknya harga pakan sangat dirasakan oleh para peternak hewan unggas ini. Seperti penuturan Saharudin, peternak ayam di Dusun Jeru Bunut, Desa Teruwai, Pujut, Lombok Tengah. Menurutnya, harga ayam yang dipeliharanya sekarang cenderung stabil, tidak terjadi kenaikan harga.
“Sekarang lebih banyak yang mintanya ayam arab karena harganya lebih murah. Jadi banyak petani yang sudah mau panen mengeluh karena permintaan ayam turun,’’ katanya saat ditemui Ekbis NTB, Rabu (8/2)
Peternak di dusunnya biasanya beternak ayam KUB dan Arab yang sepintas mirip dengan ayam kampung. Harga ayam Arab sendiri lebih murah, berkisar Rp 15-16 ribu untuk usia 45 hari. Sedangkan ayam KUB sendiri dibanderol seharga Rp 22-24 ribu/ekor.
Diakui Saharudin, memang di bulan-bulan seperti ini jumlah permintaan ayam sedang menurun karena musim padi. “Besok kalau sudah masuk musim kemarau permintaan akan naik,” terang Sekretaris Kelompok Tani Ternak Muamalat Ketangan ini. Padahal dari sisi modal yang dikeluarkan, terutama untuk pakan yang sedang naik, permintaan turun menjadi kendala.
‘’Jagung saja sekarang harganya Rp 4.000/kg, padahal normal Rp 1.500 – 2.000/kg, sedangkan dedak harganya Rp 2.500-3.000/kg. Untuk yang konsentrat sendiri harganya bisa Rp 460 ribu/50 kg, padahal dulu harganya Rp 420-425 ribu/50 kg,” sebutnya. Ia menambahkan, di musim hujan ini yang sulit didapatkan adalah pakan jagung dan dedak karena belum musimnya.
Padahal dalam 1 bulan, dia bisa menghabiskan modal sampai Rp 1,25 juta hanya untuk pakan saja. Pembuatan pakan ayam sendiri biasanya menggunakan perbandingan 1 : 2 : 3, dimana dibutuhkan sebanyak konsentrat 50 kg, jagung 100 kg, , dan dedak sebanyak 150 kg. “Harga ayam yang tetap segitu berpengaruh terhadap penghasilan. Untung jualan ayam sendiri paling hanya dapat Rp 1000-1500,” kata Saharudin. Ia mengatakan, kelompok tani ternaknya dulu dijanjikan mesin pembuat pakan ternak yang sampai sekarang belum datang. ‘’Yang baru ada itu mesin penetas telur saja,” tambahnya.
Saharudin berharap, pemerintah bisa memberikan dukungan kepada peternak unggas dengan memberikan subsidi pakan serta bisa dibina untuk pembuatan pakan sendiri. (bul/uul)
No Comments