MK Sidang Ulang Pengujian Kembali Usia Capres-Cawapres, Buntut Pelanggaran Konstitusi Anwar Usman

Global FM
23 Nov 2023 08:04
4 minutes reading

Mataram (Global FM Lombok)- Mahkamah Konstitusi menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk perkara nomor 141/PUU-XXI/2023, Senin (20/11) kemarin. Perkara ini menguji kembali ketentuan UU Pemilu yang penetapannya dinilai melanggar konstitusi hanya untuk memuluskan anak Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres).

Berdasarkan surat panggilan sidang yang dikirimkan oleh Kepaniteraan MK yang ditandatangani oleh Panitera MK Muhidin, perkara Nomor 141 yang diajukan oleh Brahma Aryana, mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, kembali disidangkan dengan agenda perbaikan permohonan, sehingga RPH digelar sebagai kelanjutan dari persidangan terdahulu pada Senin pekan lalu.

RPH itu membahas kembali pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Susunan persidangan sendiri terdiri dari Suhartoyo sebagai Ketua Hakim, dan dua anggota yang terdiri dari M. Guntur Hamzah dan Daniel Yusmic P. Foekh.

Dalam sidang itu, Kuasa Hukum Pemohon, Nur Rizqi Khafifah menuturkan dalam tahapan Pemilu 2024, telah terbukti adanya pelanggaran berat etik Hakim Konstitusi dalam hal ini Anwar Usman, terkait penanganan Perkara Putusan Nomor 90 Tahun 2023 yang menjadi dasar terbitnya Peraturan KPU Nomor 23/2023 tentang pencalonan peserta pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

Dijabarkannya, pelanggaran berat etik yang dilakukan Anwar Usman itu menimbulkan ketidakpastian hukum, karena terhadap proses pemeriksaan dan pengambilan Putusan Nomor 90 didasari pada adanya pelanggaran berat Sapta Karsa Hutama.

“Pelanggaran berat tersebut, antara lain tidak mengundurkan diri Hakim Terlapor (Anwar Usman, Red) dari proses lima pemeriksaan dan pengambilan Putusan Nomor 90 Tahun 2023. Padahal secara nyata dan telah terbukti, Hakim Terlapor dalam Putusan MKMK Nomor 2 Tahun 2023 memiliki benturan kepentingan dengan keluarganya (Gibran Rakabuming Raka, Red) yang terbukti mendapatkan keuntungan, sehingga bisa mencalonkan diri menjadi calon wakil presiden karena dibukakan pintu melalui Putusan Nomor 90,” ujar Nur, seperti dikutip dari risalah sidang yang diunggah MK di situs mkri.id.

Melanjutkan, Kuasa Hukum Pemohon, Viktor Santoso Tandiasa juga menyampaikan bahwa dengan terbukti adanya pelanggaran pada penetapan Keputusan Nomor 90 Tahun 2023 telah melanggar prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebagaimana dijamin dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. “Serta terdapat terbukti konflik kepentingan yang secara nyata telah melanggar prinsip suatu negara hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,” jelasnya.

Menurutnya, Putusan 90 Tahun 2023 telah terbukti ditetapkan lewat pelanggaran etik berat oleh Anwar Usman lantaran terjadi konflik kepentingan antara mantan Ketua MK itu, untuk memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka yang merupakan keponakannya untuk maju sebagai cawapres, berpasangan dengan Prabowo Subianto.

“Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana nasib penegakan hukum konstitusi ke depan apabila terhadap suatu putusan yang dikeluarkan oleh sang penjaga konstitusi yang di dalamnya terkandung pelanggaran etik secara berat, di mana terdapat pelanggaran konflik kepentingan, intervensi terhadap kekuasaan kehakiman, juga terdapat tindakan saling mempengaruhi. Namun putusan tersebut tetap dipertahankan dan dijadikan sebagai landasan Pemilu 2024,” ujar Viktor. Karena itu, Putusan 90 Tahun 2023 yang menjadi landasan KPU mengatur batas usia capres dinilai perlu dikoreksi.

Setelah mendengar penjabaran dari Kuasa Hukum Pemohon, Hakim Ketua Suhartoyo menyebut majelis hakim akan membahas perkara itu dan segera menyampaikan hasilnya.

Sebagai informasi, atas ditetapkannya Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang saat ini menjadi dasar penetapan usia capres-cawapres, MKMK menjatuhkan sanksi berat pada Anwar Usman yang menjadi Ketua MK saat itu, lantaran terbukti melanggar konstitusi. Selain melakukan pencopotan jabatan pada Anwar Usman, MKMK juga menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan secara kolektif pada para hakim konstitusi lainnya.

Kasus itu pun mendapat sorotan dari berbagai pihak. Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menilai perkara 141 harus segera diputuskan. ”Saat ini kita sedang menghadapi ketidakpastian hukum dalam pencalonan presiden dan wakil presiden ini. (Keputusan) ini penting untuk demokrasi Indonesia,” ujarnya, seperti dikutip dari Kompas.id.

Jika perkara 141 tidak segera diputuskan, maka pilpres 2024 tidak memiliki dasar hukum yang jelas, sehingga bisa menimbulkan berbagai masalah dan konflik di kemudian hari. “Hal yang dikhawatirkan adalah pilpres 2024 diwarnai dengan banyaknya kasus hukum perdata, konflik di masyarakat, dan jalannya pemerintahan yang tidak stabil,” jelasnya.(r)

No Comments

Leave a Reply