Mengapa Pilkada Loteng Sepi dari Figur Perempuan ? Begini Kata Pengamat

Global FM
22 Jan 2020 20:58
2 minutes reading
Agus ( Global FM Lombok/ist)

Praya (Global FM Lombok) – Belasan figur yang berencana maju sebagai calon bupati dan wakil bupati di Pilkada Lombok Tengah (Loteng) sejak tahun lalu sudah menunjukkan diri melalui spanduk, baliho atau alat sosialisasi lainnya.

Menariknya tak satu pun figur perempuan yang muncul di Pilkada 2020 ini. Begitu juga yang mendaftar di sejumlah parpol di Loteng masih nihil figur perempuan. Pemerhati masalah politik dari UIN Mataram Agus M.Si kepada Global FM Lombok Rabu (22/1) mengatakan, ada dua kendala politik perempuan di Loteng berdasarkan pengamatannya selama ini.

Yang pertama adalah budaya patriarki di Loteng masih sangat kuat, sehingga tidak ramah terhadap politik perempuan.“Dalam sejarah Pilkada Loteng dari 2005, 2010, dan 2015 memang pernah muncul satu kali perempuan sebagai calon wakil bupati.

Perolehan suaranya juga tidak signifikan,” kata Agus.Mantan anggota KPU Loteng dan KPU NTB ini mengatakan, selain budaya patriarki yang masih sangat kuat, biaya politik di daerah ini juga paling tinggi.

Disamping itu jumlah penduduk yang tinggi, luas wilayah, dan Pilkada di Loteng juga sangat kompetitif.Secara teori kata Agus jika biaya politik tinggi maka yang diuntungkan adalah aktor politik laki-laki. “Saya pikir ini problem perempuan di panggung politik Loteng,” terangnya.

Terkait dengan biaya politik yang masih tinggi di kabupaten ini, Agus mengatakan dirinya sudah dua kali melakukan riset yang berkaitan dengan hal itu. Di tahun 2010 misalnya, estimasi biaya Pilkada di Loteng mencapai Rp 20 miliar.

” Kemudian penelitian saya tahun 2019 untuk pemilu angggota DPRD kabupaten, calon yang jadi menghabiskan anggaran antara Rp750 juta sampai 1,5 milyar. Biaya politik ini banyak dihabiskan pada beberapa pos, terutama proses pencalonan di partai politik, kerja tim, dan biaya ke pemilih,” terangnya.

Dengan adanya hasil riset tersebut lanjut Agus, maka politik uang ini harus diperangi karea hal ini merupakan kejahatan demokrasi. “Jika Bawaslu dan lembaga- lembaga peduli pemilu belum bisa mengatasi persoalan ini, figur perempuan akan sulit untuk bisa bersaing,” tutupnya.(ris)


No Comments

Leave a Reply