Melihat Komitmen Penurunan Emisi Karbon dari Pemanfaatan Energi Biomassa di Lombok (Bagian 2)

Global FM
7 Sep 2022 04:21
4 minutes reading

Penulis : Zainudin Syafari

PLTU Jeranjang, Lombok Barat menjadi salah satu PLTU yang sudah mulai menggunakan RDF melalui co-firing (Global FM Lombok/ist)

Program substitusi penggunaan energi pada pembangkit eksisting melalui program co-firing biomassa di Provinsi NTB terus ditingkatkan. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang Kabupaten Lombok Barat sebagai pengguna refuse derived fuel (RDF) atau sampah biomassa berukuran kecil yang menjadi bahan bakar berharap agar volume energi terbarukan itu bertambah sesuai dengan perencanaan.

RDF tersebut akan dipakai untuk co-firing atau untuk menambah energi biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau bahan campuran batu bara di PLTU Jeranjang.

SPS Pengelola Energi Primer PLTU Jeranjang Pungkas Aprianto mengatakan, penyediaan RDF untuk material co-firing di PLTU masih minim yaitu sekitar 5 ton per bulan.Dengan kondisi itu, proses co-firing awalnya tak bisa dilakukan selama 24 jam karena kekurangan energi biomassa. Namun, belakangan PLN Wilayah NTB juga telah membeli beberapa jenis energi biomassa yang lain seperti serbuk kayu atau sawdust serta sekam padi yang dibeli dari masyarakat.

 “Dengan adanya tambahan pasokan dari wilayah, dari sektor, kita akhirnya bisa lakukan 24 jam co-firing dengan presentase 2 – 3 persen. Yang membuat kita tetap bisa melakukan co-firing adalah ketersediaan pasokan ya. Kalau dari TPA Kebon Kongok bisa memberikan kepastian suplai biomassa, itu sangat bagus buat kita,” kata Pungkas Aprianto.

Selain RDF, PLTU Jeranjang juga sudah mulai memanfaatkan sekam padi untuk substitusi batu bara (Global FM Lombok/ist)

Pungkas mengatakan, saat ini PLTU Jeranjang sudah mulai berpikir bagaimana meningkatkan persentase penggunaan material co-firing, dari semula 2 hingga 3 persen menjadi sekitar 10 hingga 15 persen dengan catatan jika pasokannya memadai. Terlebih pihaknya sudah melakukan pembahasan dengan PLN Wilayah NTB terkait dengan rencana untuk meningkatkan volume bahan co-firing ini.

“Kita juga sudah ada pembahasan dengan pihak PLN wilayah dan sektor terkait persentase peningkatan co-firing ini.Kita juga menggandeng teman-teman dari Lab, jika kita tingkatkan co-firing itu apakah nanti apakah ada pengaruh terhadap peralatan-peralatan boiler atau tidak. Jika nanti dari hasil kajiannya itu peralatan boiler masih aman, maka kita akan lanjutkan untuk meningkatkan persentase untuk co-firing,” terangnya.

Secara teknis, satu unit pembangkit membutuhkan konsumsi sebanyak 550 ton batu bara dalam sehari. Jika co-firing dengan energi biomassa dengan persentase sebanyak 5 persen saja, maka kebutuhan biomassa sebanyak 27,5 ton per hari.

“Sehingga jika Kebon Kongok akan meningkatkan kapasitasnya menjadi 15 ton per hari misalnya, maka itu belum cukup. Sehingga kita tetap butuh suplai energi biomassa dari sumber yang lain seperti dari sekam padi maupun sawdust, dan tidak menutup kemungkinan dari biomassa yang lain seperti tongkol jagung” tambah Pungkas.

Untuk tahap komersialisasi saat beroperasinya Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) tahun 2023 mendatang, maka akan ada perjanjian kerjasama untuk pembelian RDF dari pihak penyedia energi biomassa atau dari BLUD TPAR Kebon Kongok. Sebab di tahap Litbang ini, suplai RDF ke Kebon Kongok belum ada proses jual beli.

Sementara itu praktisi pengolahan sampah di NTB Syawaludin mengatakan, sampah jika dikelola dengan baik akan menjadi sumberdaya yang besar, baik untuk energi biomassa dan lainnya. Jika mesin TPST RDF ini sudah beroperasi tahun depan, maka mesin ini akan mampu memperkecil sampah yang masuk ke landfill TPA Kebon Kongok yang sudah lama menggunung.

“Saya dengar kabar mesin RDF itu kapasitasnya lebih dari 100 ton per hari.Itu luar biasa untuk membantu menangani persoalan sampah. Kalau alat itu bisa beroperasi dengan optimal, itu bisa mengurangi sampah setidaknya 100 ton yang terbuang dari Kota Mataram dan Lombok Barat” ujar Syawal.

Puncak landfill TPAR Kebon Kongok, Lombok Barat (Global FM Lombok/ris)

TPST RDF yang sedang dalam proses pembangunan ini memiliki konsekwensi biaya dalam operasionalnya nanti. Sehingga pemerintah atau mungkin pihak ketiga yang akan mengelola mesin ini nantinya harus memiliki skema pembiayaan yang jelas.Karena pengelolaan sampah membutuhkan pembiayaan yang tinggi.

Namun dari semua itu, yang terpenting adalah bagaimana mayarakat secara luas ikut terlibat secara langsung dalam program ini dengan aktif melakukan pemilahan dari rumah tangga.Selain itu, infrastruktur pemerintah juga harus kuat serta mendukung.Misalnya bagaimana sampah yang sudah terpilah dari rumah tangga itu bisa terangkut dengan baik di kendaraan sampah dan tidak tercampur lagi.

“Ketika mesin ini sudah datang, saatnya kita sebagai masyarakat ikut terlibat secara aktif untuk bisa mendukung kegiatan ini. Ada Pergub yang menyatakan bahwa tak boleh sampah masuk kecuali yang sudah terpilah, itu menjadi pedoman” ujarnya.

Pengelolaan sampah menjadi energi biomassa menjadi salah satu upaya untuk mengurangi emisi karbon dan bagian dari program transisi energi dari fosil ke energi terbarukan.Tak hanya itu, ada potensi ekonomi dalam pengelolaan sampah ini jika dilakukan pemilahan mulai dari rumah tangga.(Selesai)

No Comments

Leave a Reply