Penulis : Zainudin Syafari
SEJUMLAH pekerja terlihat sedang sibuk memilah-milah sampah organik di Tempat Pembuangan Akhir Regional (TPAR) Kebon Kongok, Kabupaten Lombok Barat saat kami mengunjungi lokasi tersebut akhir Agustus kemarin.Selain ada yang memilah sampah, terlihat juga pekerja yang sedang melakukan pencacahan sampah untuk memproduksi Refuse Derived Fuel (RDF) atau sampah berukuran kecil yang mudah terbakar dan selanjutnya menjadi energi biomassa.
TPAR Kebon Kongok memang menjadi lokasi pembuatan RDF hasil kerjasama antara Pemprov NTB dengan PT. Indonesia Power, anak perusahaan PT.PLN tentang penelitian dan pengembangan teknologi pengolahan sampah menjadi sumber energi yang terjalin sejak tahun 2020 lalu. Di masa penelitian ini, produksi RDF masih minim sehingga proses co-firing biomassa di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang sebagai pengguna masih terbatas.
Co-firing adalah pembakaran dua jenis bahan yang berbeda secara bersamaan. Dengan kata lain, co-firing adalah istilah yang merujuk pada proses penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau bahan campuran batu bara di PLTU. Salah satu keuntungan dari pembakaran bersama adalah lebih murah atau lebih ramah lingkungan. Co – firing biomassa pada PLTU adalah salah satu solusi jangka pendek yang optimal dalam mencapai target bauran energi terbarukan 23% secara nasional pada 2025 dan menurunkan emisi karbon.
Plt Kepala UPTD TPAR Kebon Kongok Radiyus Ramli Hindarman mengatakan, saat ini produksi RDF masih menggunakan mesin sederhana dan hanya menghasilkan sekitar 450 kilogram RDF per hari atau hampir 10 ton per bulan.Tadinya mesin ini hanya menghasilkan sekitar 5 ton bahan bakar saja per bulan, namun kini sudah mulai ditingkatkan seiring dengan bertambahnya waktu pemrosesan sampah.
“Sekarang saya minta mereka melakukan cacah dua kali, Alhamdulillah sudah bisa naik hasilnya hampir 10 ton per bulan, itu produknya. Ada rendemen sekitar 60 persen, jika sampah yang masuk satu ton, maka produk jadinya 400 kilo,” ujarnya.
Radiyus Ramli mengatakan, saat ini hanya enam orang tim produksi RDF di TPAR Kebon Kongok. Mereka memilah sampah dari truk sampah yang datang setiap hari ke TPA. Satu truk sampah biasanya terdapat minimal dua karung sampah organik yang selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah peyeumisasi atau pengiringan dan langsung diberikan cairan bio activator.
“Proses mengeringkan sebenarnya penyeumisasi itu. Setelah dikeringkan barulah dicacah oleh teman-teman.Jadi sejak sampah masuk itu prosesnya sekitar empat hari. Dipilah, masuk box peuyeum, dan hari kelima kita sudah bisa cacah dia,” tambah Radiyus Ramli.
RDF bentuknya masih seperti sampah, tetapi sangat kering, sehingga benda merupakan sampah yang mudah terbakar dan telah mengalami pemilahan serta diproses melalui pencacahan, pengayakan dan klasifikasi udara. RDF selanjutnya dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan dalam proses pembakaran co-firing batu bara untuk pembangkit tenaga listrik, dalam hal ini PLTU Jeranjang.
Pada awalnya,bahan bakar RDF ini berbentuk pelet, benda padat lonjong berukuran kecil. Namun belakangan produksi bahan bakar ini tak lagi berbentuk pelet, hanya berupa sampah yang sudah tercacah. Proses ini dianggap lebih simpel, karena tak perlu masuk mesin pelet dan proses pengeringan lagi.
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan PengendalianPencemaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTB, Firmansyah mengatakan, saat ini di lokasi TPAR Kebon Kongok sedang dibangun Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) RDF/SRF oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Mesin TPST ini memiliki kapasitas pengelolaan sekitar 120 ton sampah perhari. Artinya dari sekitar 300 ton lebih sampah yang masuk ke TPAR Kebon Kongok setiap hari, hampir setengahnya akan diproses di TPST sebelum dibuang ke landfill. Sampah yang dihasilkan oleh masyarakat dan industri di Lombok akan menjadi komoditas yang berguna, baik untuk energi, kompos dan lainnya.
“Kita sedang membangun Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu RDF dengan kapasitas 120 ton per hari.Itu direncanakan selesai di Maret 2023.Direncanakan sekitar 15 sampai 45 ton jadi RDF. Sekarang sedang dalam proses pembangunan dengan dukungan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,” kata Firmansyah.
Di mesin hanggar TPST, di dalamnya ada proses pemilahan sampah, mana sampah yang organik, anorganik dan residu. Setelah melalui proses pemilahan, selanjutnya sampah akan diarahkan ke beberapa jenis pengolahan. Ada sampah yang akan menjadi RDF, ada pula sampah yang menjadi kompos dan lainnya.
“Ada juga pengelolaan lindinya. Ada juga daur ulang dan sisanya dibawa ke landfill, makanya namanya landfill residu. Ini target beroperasinya Maret 2023 mendatang,” tambanya.
DLHK Provinsi NTB tetap mendorong agar masyarakat mau terlibat dalam upaya gerakan tata kelola sampah ini dengan cara mendukung gerakan pilah dan olah sampah dari rumah. Jika sampah sudah terpilah dari rumah tangga, akan semakin mudah bagi tim produsen RDF untuk melakukan aktivitasnya.
“Selanjutnya untuk pengelola event, pastikan dari awal sudah diproyeksi dan dianalisis risikonya, baik terkait pengelolaan kebencanaan maupun pengelolaan sampahnya. Dan pastikan bisa bekerjasama dengan Dinas LH Kabupaten/Kota setempat, sehingga sampah yang dihasilkan bisa dikelola dengan baik,”
Wakil Gubernur NTB Dr Hj Sitti Rohmi Djalillah mengatakan, Provinsi NTB menjadi bagian dalam transisi pemanfaatan energi, dari energi fosil ke energi baru terbarukan.Salah satunya dengan melakukan penelitian, pengembangan dan produksi RDF dari sampah yang dibuang ke TPAR Kebon Kongok setiap hari.
“Kita kedepan di NTB tidak ada lagi energi fossil fuel, namun harus dari renewable energy karena semua potensinya ada di sini. Mau bio solar, mau energi angin, geothermal, biomass atau waste (sampah) semua ada di sini.Itu yang kita ikhtiarkan ke depan,”
Hal ini merupakan salah satu bagian dari upaya Provinsi NTB agar mampu mewujudkan netral karbon atau net zero emissions di tahun 2050 mendatang, atau 10 tahun lebih cepat dari target nasional di tahun 2060. Sebab penggunaan energi fosil selama ini telah menyumbang emisi karbon dalam jumlah yang signifikan. ( Bersambung )
No Comments