Mataram (Global FM Lombok) – Era kebebasan informasi via media sosial, salah satu arus yang sulit dibendung adalah informasi dengan konten sampah atau dikenal dengan istilah hoax. Kekhawatiran muncul ketika media mainstream ikut ambil bagian mendistribusikan informasi hoax. Tapi jika ingin kepercayaan publik terjaga, maka media harus tetap berpegang pada kode etik dan Undang Undang Pers, tunduk pada kepentingan publik dalam urusan penyajia berita.
Hal itu mengemuka dalam diskusi tematik yang digelar Pengurus Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Mataram, Sabtu (28/1). Hadir pada diskusi di Gedung Dakwah Muhammadiyah (GD M) itu, Kadiskominfo NTB, Tri Budi Prayitno, Wakil Ketua Komisi Informasi NTB, Najamuddin Amy, akademisi UMM, Darmansyah, dan Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Mataram, Fitri Rachmawati.
Diskusi mengalir terkait bagaimana seharusnya media memposisikan diri ditengah arus informasi hoax, agar tetap menjadi sumber referensi yang masih dipercaya masyarakat. Bahkan ada yang skeptis ketika media justru jadi bagain dari desain kepentingan politik. Ribuan situs media online dianggap menambah kebingungan masyarakat. Dibahas juga bagaimana masyarakat bersikap terkait informasi hoax tersebut.
Ketua AJI Mataram, Fitri Rachmawati menilai, hoax bagai ‘banjir bandang’ yang melanda ruang ruang informasi publik. Isinya, ujaran kebencian, fitnah, bahkan hasutan. “Situasi itu menjadi keseharian kita,” kata Fitri. Situasinya menjadi getir karena informasi sampah tersebut dikonsumsi juga remaja dan generasi produktif yang saat ini posisinya sebagai kelompok pengguna internet terbesar. Celah ini dimanfaatkan pihak – pihak tertentu untuk mendapat keuntungan, ditengah candu masyarakat yang hoby dengan informasi hoax.
Situasi ini menjadi bahan otokritik media. Jika tidak ingin dihakimi sebagai pelaku penyebar berita hoax, maka yang harus dipertegas adalah sikap. “Sikap redaksi untuk patuh pada kode etik jurnalistik. Ini yang harus dipegang,untuk menjaga berita tetap pada independensinya dan berpihak pada kepentingan publik,” kata Fitri. Khususnya Jurnalis, menjaga integritas menjadi kewajiban utama saat melakukan kerja kerja jurnalisme di lapangan, jika ingin trust publik tetap terjaga. Data Dewan Pers disebutnya, dari 2000 lebih jumlah media, hanya 271 yang terverifikasi, sementara untuk online jumlahnya juga ribuan, namun hanya 160 situs terverifikasi.
Sementara Najamuddin Amy menegaskan, tidak ada masalah dengan media, termasuk media sosial. Sebab itu hanya sarana. Tinggal penggunanya yang menentukan. “Apakah mau dipakai untuk kepentingan baik, atau kepentingan buruk,” tegasnya. Sementara penyebaran informasi hoax dinilainya dilakukan oleh orang orang yang tidak lagi memiliki waktu produktif, sehingga terjebak melakukan kegiatan kontraproduktif dan cenderung merusak mental publik. Justru dia mengkhawatirkan pada generasi yang 90 persen pengguna internet adalah kelompok pemuda.
“Kita kenal bahwa kelompok pemudalah yang ambil bagian memperjuangkan kemerdekaan. Tapi sekarang kelompok pemuda yang ambil bagian dalam informasi hoax. Jadilah pemuda yang hoax. Ini yang harus kita antisipasi,” ajaknya.
Keadaan ini memicu kekhawatiran luas, karena informasi hoax berkontribusi pada kekacauan bangsa saat ini. Diceritakan, pada sebuah kesempatan Buya Syafi’i Maarif dalam sebuah wawancara di Jepang soal situasi nasional yang karut marut, karena Indonesia belum pada fase ‘matang’ seperti Jepang yang sudah berusia ratusan tahun. “Tapi jika Indonesia berhasil melewati fase ini di 100 tahun mendatang, maka akan hebat. Tapi jika tidak kuat, maka bersiaplah Indonesia diramalkan menjadi lima negara bagian,” ujarnya.
Sementara Kadishubkominfo NTB, Tri Budi Prayinto meminta masyarakat tidak terjebak dengan informasi hoax. Ada proses verifikasi, yaitu bisa dilakukan diri sendiri. Karena informasi hoax mulai sangat dekat dengan kehidupan, terutama pengguna sosial media.
“Soal hoax itu pilihan. Kalau tidak ingin terjebak dengan itu (hoax), jangan dikonsumsi, jangan di-share. Saya setuju dengan pernyataan bahwa, jangan sampai kita berteriak tentang informasi hoax, justru kita sendiri pelakunya,” kata Tri Budi.
Ada dorongan bahwa pemerintah harus menjamin proteksi masyarakat dari ujaran kebencian itu. Pada dasarnya sudah dilakukan, dengan Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebenarnya upaya proteksi itu.
Ketika ada yang terjerat dengan hukum, dinilainya tidak membaca utuh per pasal soal larangan dalam UU ITE. Jika aturan itu dipatuhi, maka penggunaan internet dengan aman bisa tercapai. “Intinya, saya mengajak, mari bergabung dalam NTB melawan hoax,” ajaknya.
Sementara Darmansyah dalam kesimpulan diskusinya menyebut, realitas saat ini adalah potret buruk dalam demokrasi. Dimana rakyat mengeluhkan politisi, politisi mengeluhkan rakyat. Tapi disisi lain, rakyat dan politisi sama sama mengluhkan media. Sementara kejahatan semakin terorganisir. Semua situasi itu harus dicermati publik, agar bersikap bijak. (ars/ris)
No Comments