Oleh : Dedy Ahmad Hermansyah
Sulit rasanya memungkiri bahwa soalan korupsi dan hukum di negeri kita tercinta Indonesia ini kian tahun kian kacau dan mengecewakan. Hal ini otomatis membuat masyarakat semakin terkikis kepercayaannya baik kepada lembaga berwenang maupun elit sendiri. Apalagi memasuki tahun politik Pemilu 2024, drama politik Paman Gibran dan Mahkamah Konstitusi (MK) membuat rakyat semakin marah dan tak percaya lagi pada lembaga negara yang tepat berusia 20 tahun pada 2023 ini.
Tapi kita punya sejarah manis di mana satu sosok pendekar hukum pernah mengharumkan nama Mahkamah Konstitusi baik pada lingkup nasional hingga internasional. Sosok yang akan kita bicarakan ini memimpin MK selama dua periode, dari 2005 hingga 2013, masa-masa di mana MK sebagai anak bungsu baru memasuki masa satu dasawarsa—masih begitu muda.
Ya, mungkin akan sangat mudah ditebak sosok itu adalah Prof. Mahfud MD. Dialah yang membawa MK sangat dekat di hati rakyat.
Rakyat di dalam negeri sendiri mengelu-elukan MK yang membuat keputusan strategis dan memuaskan sebagian besar kalangan, sementara dunia membincangkan putusan-putusan MK yang dianggap fenomenal dan berani. MK Indonesia disebut sebagai salah satu dari sepuluh MK paling efektif di dunia dalam buku “The Oxford Handbook of Comparative Constitutional Law” yang diterbitkan oleh Oxford University Press di Amerika Serikat pada 2012.
“Kontroversi Mahfud MD di Balik Putusan Mahkamah Konstitusi” Jilid 1 (Desember 2012) dan Jilid 2 (November 2013) adalah dua serial buku yang menyajikan kepada kita betapa seorang Mahfud tegar dan teguh dalam menghadapi tekanan dan masalah pada seputar putusan-putusan penting MK.
Buku yang bisa disebut sangat otoritatif ini—penulisnya, Rita Triana Budiarti, mendapat amanah oleh Mahfud sendiri untuk menulis tema ini—dengan detail menunjukkan apa saja cerita-cerita di belakang layar pengambilan keputusan yang barangkali tidak diketahui publik.
Jika kita hubungkan pada konteks Hari Anti Korupsi Sedunia (09 Desember) yang bersambung dengan Hari HAM Sedunia (10 Desember), dua buku di atas akan menemukan benang merahnya yang kuat. Selama dua periode memimpin MK, Mahfud telah meninggalkan jejak bagaimana hukum substansif harus berdiri di atas hukum prosedural, di mana kebermanfaatan bagi orang banyak lebih didahulukan ketimbang hal-hal teknis prosedural.
Mahfud memberikan kepastian hukum bagi rakyat korban lumpur Lapindo pada 2012, ‘membubarkan’ BP Migas demi kemakmuran rakyat—hingga dituding anti asing, hingga memastikan status hukum anak di luar nikah. Mahfud juga dengan keras kepala membela KPK saat sebagian besar pimpinannya tersandung kasus pidana pada 2010. Mahfud dengan total membela KPK di tengah pro kontra dan ancaman lembaga anti rasuah itu akan dibekukan.
Jadi jika saat ini sosok Mahfud dengan enteng menebar janji akan memberantas korupsi dan memperkuat KPK tentu pernyataan itu bukanlah ‘kaleng-kaleng’. Itu sudah teruji selama sepuluh tahun memimpin MK, dia memutuskan kasus-kasus yang seluruhnya dianggap berpotensi merugikan rakyat dan lebih jauh mengancam tegaknya hukum di negara kita.
Apakah itu dirasa belum cukup untuk kita memberikan predikat pendekar hukum dan pemberantas korupsi kepada Mahfud? Baik, sekarang kita pertimbangkan perjalanannya dalam tiga wilayah kekuasaan atau yang lazim disebut trias politica yang dicetuskan John Locke—eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Mahfud pernah jadi aktor penting dalam tiga lapangan itu. Pada lapangan eksekutif, Mahfud pernah menjadi Menteri Pertahanan pada rezim Gus Dur. Pada ranah legislatif, Mahfud pernah menjadi anggota DPR RI. Di medan yudikatif, Mahfud pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.
Sebab pengalaman yang pusparagam itu penulis buku yang kita singgung di atas menyebut Mahfud sebagai toko serba ada. Sosok yang lengkap yang memiliki semua syarat yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin.
Belum pula kita singgung sikap dan karakter individu yang dimiliki seorang Mahfud. Ia yang lahir dari keluarga sederhana dengan kultur NU yang kuat meski tinggal di lingkungan Muhammadiyah pernah punya dendam karena ayahnya disisihkan karena memilih NU. Ia belajar hukum karena ingin hukum tegak di negeri ini.
Dalam buku Biografi Mahfud MD “Terus Mengalir”, yang ditulis oleh penulis yang sama dengan buku yang telah kita singgung di atas, Rita Triana Budiarti, betapa perjalanan hidupnya ibarat air mengalir. Mahfud yang selalu menumpukan semangat hidupnya pada doa dan usaha percaya bahwa jabatan itu amanah dari Yang Maha Kuasa.
Dia merangkum sejarah hidupnya ibarat ultra petita, satu istilah hukum yang merujuk pada vonis pengadilan yang mengabulkan permintaan melebihi yang diminta oleh orang yang berperkara. Misalnya, ketika dia berdoa untuk menjadi guru, dia malah menjadi guru besar. Ketika menjadi menteri pun dia anggap sebagai bentuk ultra petita. “Tuhan memberikan anugerah melebihi apa saya minta,” ujar Mahfud yang dijadikan kutipan pada salah satu bab buku “Kontroversi Mahfud MD” Jilid 1.
Mahfud banyak belajar dari Gus Dur yang dipandangnya pemimpin yang sangat egaliter dan cinta bangsa. Dan Gus Dur tentu tidak salah ketika mengangkatnya sebagai pejabat yang membantunya dalam pemerintahan.
Di Hari Anti Korupsi Sedunia pada Sabtu 09 Desember 2023 ini kita perlu merefleksikan pidato Mahfud di hadapan banyak orang. “Saya sampaikan peringatan hari anti korupsi momen pas untuk refleksi,” kata Mahfud, dengan suara sengaunya yang barangkali sedang pilek.
“Sebelumnya skor 96 dari 180 negara jadi 110 – turunnya 14 tingkat, Mengapa skor Indonesia turun tiba-tiba?” sambung Mahfud. Ia sampaikan angka tersebut turun diawali dengan pelemahan KPK, yang dimulai dari revisi UU KPK pada 2019.
Ya, kita perlu mempertimbangkan Mahfud sebagai sandaran kita bagi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di masa depan. Karena jika korupsi terus dibiarkan, tidak mustahil kita akan terbiasa dan merasa bahwa korupsi itu adalah ‘budaya’ kita. Padahal, kata Mahfud di awal pidatonya, “Korupsi itu bukan budaya, korupsi itu kejahatan.”(*)
No Comments