Mataram (Global FM Lombok)- Perang saudara yang pecah di Sudan sejak pertengahan April 2023 berdampak pada Warga Negara Indonesia (WNI), termasuk mahasiswa asal Provinsi NTB yang sedang menuntut ilmu di negara tersebut. Imbas dari perang Sudan tersebut, seluruh mahasiswa NTB dipulangan untuk menghindari jatuhnya korban jiwa.
Fajrul Haq, seorang mahasiswa asal Kekalik, Kota Mataram bertutur soal kengerian perang antar militer Sudan tersebut. Mahasiswa semester 5 jurusan Syariah dan Hukum di kampus International University of Africa di Khartoum itu pertama kali mendengar desing peluru dan bom pada tanggal 15 April 2023.
Saat itu, ia sedang masuk pelajaran Balagoh bersama beberapa temannya hari Sabtu sekitar pukul 09.00 waktu setempat. Awalnya suara tembakan tersebut disangka tembakan peringatan yang hanya sebentar. Namun ternyata suara tembakan terus menerus terjadi dengan intensitas yang semakin sering.
“Bukan suara AK-47 lagi yang terdengar, namun suara bom, suara bazooka gun. Kita langsung lihat orang-orang di pasar sudah hilang, orang di jalanan semakin sedikit. Angkot sudah sepi. Kita terjebak di lantai dua. Tak tau kita mau ngapain,” cerita Fajrul kepada media ini di kediamanannya di Kekalik, Rabu (3/5) kemarin.
Di malam hari pada saat perang pertama kali pecah, ia memberanikan diri berjalan ke asrama untuk mencari perlindungan. Sebab asrama mahasiswa adalah titik yang paling aman untuk berlindung, karena militer tidak akan menyerang lokasi pendidikan atau tempat tinggal warga negara asing.
“Di sana itu banyak masyarakat Indonesia, Filipina, Thailand, Nigeria, Chad, Malawi dan lainnya. Tentara tak berani menyerang ke arah asrama, karena di sana banyak warga negara asing,” tuturnya.
Setelah perang pecah, proses belajar langsung terhenti saat itu juga. Ditambah memang pada saat itu sudah mulai memasuki jadwal libur. Sehingga mahasiswa banyak menghabiskan waktu di dalam asrama sambil mengamati situasi dan berkomunikasi melalui grup WhatsApp mahasiswa dan Kedutaan.
Untungnya, di asrama tempat mahasiswa NTB tinggal, listrik tidak pernah padam. Padahal di tempat-tempat lainnya, listrik padam berhari-hari sehingga menyulitkan dilakukannya komunikasi.
“Suara bom terdengar siang dan malam. Bom itu berkali-kali kita dengar. Ini hal yang baru.Kita pantau bom yang jatuh itu secara langsung dan lewat WA yang isinya para TKI dan mahasiswa di Sudan. Jadi saling memberi info,” katanya.
Untuk urusan logistik kata Fajrul sepanjang perang masih bisa tercukupi. Namun demikian, warung dan toko-toko tak bisa menjual bahan makanan dalam jumlah yang banyak, karena khawatir pasokan makanan akan menipis, sehingga dijual dalam jumlah yang terbatas.
“Mau beli logistik, warung tak mau menjual. Kalaupun ada warung yang buka, tak bisa dibeli semua. Tak bisa diborong. Ada dana atau tersedia, tapi barang yang dibeli terbatas,” tambahnya.
Terkait konflik bersenjata tersebut, awalnya suara bom relatif jauh dari asramanya. Namun lambat laun, bom jatuh di dekat gerbang asrama yang membuat mahasiswa cukup khawatir.
“Makin hari,kondisi tak bisa ditolelir. Misalnya hari ini bomnya agak jauh, besok itu sudah di dekat gerbang luar asrama. Sampai-sampai satu malam sebelum evakuasi, ada bom meledak di lokasi yang tak jauh dari asrama dengan suara yang menggelegar,” tuturnya.
Fajrul menceritakan terkait dengan proses evakuasi yang menegangkan. Dari asrama di kota Khartoum menuju pelabuhan Sudan memakan waktu sekitar 24 jam. Evakuasi dilakukan jam 2 dini hari tanpa pengawalan dari pihak manapun.
“Dari Sudan ke port, ada 15 titik pemeriksaan. Yang memerika ada tentara RSF, ada yang tentara Burhan. Kedua belah pihak memeriksa kita. Tentara bawa senjata AK-47 memeriksa bus mahasiswa,”ujarnya.
Setelah beberapa hari proses evakuasi di akhir April kemarin, para mahasiswa akhirnya mulai bisa sampai di NTB pada hari Senin 1 Mei 2023. Mereka dievakuasi melalui Kota Jeddah sebelum akhirnya diterbangkan ke Jakarta. Sebagian mahasiswa masih ada yang tertampung di Asrama Haji Jakarta sebelum diterbangkan ke Lombok.
Soal masa depan kuliahnya, Fajrul sebenarnya ingin tetap melanjutkan kuliahnya di Sudan jika kondisi negara tersebut sudah aman seperti sedia kala. Namun jika keamanan tak pernah terlihat, maka ia berharap bisa melanjutkan kuliahnya di kampus dalam negeri tanpa harus mengulang dari semester pertama.
“Jika aman, Insya Allah saya akan kembali. Jika tak aman, kami berharap pemerintah bisa menfasilitasi untuk kuliah di dalam negeri,” tutupnya.(ris)
No Comments