Ketika Pengusaha Lokal ‘’Digantung’’ Makelar

Global FM
19 Sep 2017 09:35
13 minutes reading

Cukli, salah satu kerajinan tangan asal Lombok

Mataram (Global FM Lombok)-Nasib para eksportir di NTB (lokal) secara teknis sepenuhnya masih sangat bergantung pada makelar – biasanya disebut vendor. Para pengusaha lokal belum mampu mengeksekusi penjualan produknya langsung ke buyer di luar negeri. Hal ini disebabkan, krisis jaringan pemasaran produk masih dialami para pengusaha lokal.

NTB sebenarnya, memiliki banyak produk kerajinan yang layak dijual. Dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, hasil kerajinan di NTB cukup beragam dan banyak diminati pecinta seni dalam dan luar negeri. Sayangnya, akibat keterbatasan infrastruktur, seperti pelabuhan ekspor dan impor, produk NTB tidak mampu berbicara banyak di luar negeri.

Kondisi itu mengakibatkan, produk kerajinan yang dibuat di NTB, cita rasa daerah lain. Kenapa ? Karena yang NTB punya barang, daerah lain punya nama. Ketergantungan pada makelar ekspor atau vendor di luar daerah masih sulit untuk dilepas. Inilah yang menjadi persoalan besar pemerintah daerah untuk dituntaskan.

Pengakuan Kepala Dinas Perdagangan (Disdag) NTB Dra. Hj. Putu Selly Andayani, MSi., tentang produk NTB di luar daerah yang tidak punya daya harus dijadikan pelajaran. Bagaimana tidak, produk-produk asal NTB ini harus membawa nama daerah lain saat dipasarkan.

Seperti saat produk asal NTB dikirim ke Mesir. Produk-produk yang selama ini menjadi identitas NTB, justru jadi produk daerah lain. Hal inilah yang dipertanyakan Duta Besar Indonesia untuk Mesir Helmy Fauzi. Kenapa produk NTB diklaim daerah lain dan belum mampu membawa identitas  sendiri. Inilah yang menjadi tantangan besar pemerintah daerah dan pengusaha lokal dalam upaya menginternasionalkan nama NTB, khususnya untuk pasar ekspor.

Sulitnya produk asal NTB menembus pasar luar negeri, bukannya tanpa alasan. Meski produk dari NTB memiliki kualitas yang tidak kalah dengan produk dari daerah lain. Para pelaku UKM kesulitan dalam memasarkan produknya. Hal inilah yang membuat pengusaha lokal sangat bergantung dari makelar luar daerah yang memasarkan produk mereka ke luar negeri.

Seperti penuturan H. Rahmatullah, pemilik Asmunika Astuti Artshop di Desa Lelede Kecamatan Kediri Lombok Barat. Selama ini, dirinya mengirim produk gerabah yang dibuatnya melalui makelar yang ada di luar daerah dan telah lama bekerjasama dengannya. Nantinya, makelar itulah yang akan mengirimnya ke luar negeri.“Biasanya saya kirim ke bos saya di Bali, nanti dia yang kirim ke luar negeri,”  tuturnya.

Dirinya melakukan hal itu, karena pengiriman barang ke luar menggunakan kontainer barang. Di mana, ketika kontainer mencapai jumlah tertentu baru bisa dikirim ke beberapa negara, seperti ke benua Eropa dan Asia.

Pengiriman gerabah dilakukannya setiap bulan atau 3 bulan sekali tergantung permintaan makelar. Dalam mengirim barang dari NTB menggunakan 1 mobil boks atau truk besar yang berisi berbagai macam jenis gerabah khas Lombok. Nantinya, gerabah yang dikirim ke luar daerah ini akan diekspor ke luar negeri menggunakan daerah asal makelar.

Diakuinya, jika hanya mengandalkan artshop untuk menjual gerabahnya tidak memberikan keuntungan yang banyak. Sementara tamu yang datang berkunjung ke artshopnya tidak semuanya berbelanja. “Tamu memang ada yang datang, tetapi tidak semua dari mereka membeli gerabah,” akunya.

Saat ditanyakan apakah dirinya mengikuti i-Shop yang merupakan terobosan pemerintah daerah untuk memasarkan produk UKM sampai ke luar negeri? Rahmat mengaku tidak tertarik mengikutinya. Bahkan, ia sering menolak ajak dari perwakilan dinas agar mengikuti i-shop. “Tapi saya belum ada waktu untuk mengurusnya karena kesibukan sehari-hari,’’ akunya.

Hal senada disampaikan Ir. M. Ari Aditya, MM, pemilik UD Natural Lombok. Pengusaha yang bergerak pada produk kerajinan dried fruit atau buah kering, mengaku, dalam memasarkan barangnya ke luar negeri, ada dilakukan sendiri dan lebih sering  melalui trading company. “Trading company ini semacam perusahaan yang nantinya mengambil produk di pengusaha dengan target barang sekian, setelah terkumpul baru dikirim,” jelasnya.

Ketergantungan pelaku UKM dengan makelar ini, jelasnya, karena kesempatan pengusaha di NTB belum ada. Yang lebih dikenal pengusaha luar negeri itu adalah pengusaha Bali. Sehingga mereka di sana melihat peluang itu dan mengambil barang dari berbagai daerah kemudian dipajang.

Hal inilah, katanya, yang membuat banyak pelaku UKM di NTB mengirimkan barang ke Bali atau daerah lain di Indonesia, meski dengan profit atau keuntungan yang jauh lebih kecil. ‘’Memang kalau dari segi profit lebih banyak kalau kita jual langsung. Tetapi selama ada kesempatan kenapa tidak. Karena kalau menunggu pembeli, kapan bisanya,’’ katanya.

Terkait produk buah kering yang ada di tempatnya, dikirim ke Eropa dan Amerika lewat jasa makelar . Meski demikian, ia juga ingin idealis dengan cara menjual sendiri, tetapi melihat pekerjanya yang membutuhkan uang jadi ia mengambil kesempatan itu agar usahanya tetap jalan. “Walaupun kita pakai trading company tetap ada keuntungannya walau tidak sebesar jual sendiri,” kata Ari.

Diakuinya, produk dari NTB kualitasnya bagus tetapi kesempatan dan akses yang belum maksimal seperti yang lain, membuat produk NTB masih harus dijual menggunakan merek dagang daerah lain.

Pada bagian lain, Ari mengaku, bekerjasama dengan trading company bisa meminimalkan kerugian yang dialami saat mengirim produk ke luar negeri. Dalam arti, ketika terjadi apa-apa saat pengiriman barang, trading company yang menanggung risikonya. “Kalau trading company ada yang tidak mau berhubungan langsung dengan perajin. Tetapi jika terjadi apa-apa, mereka yang menanggung kerugiannya,” kata Ari.

Hal lain, yang menjadi kendala dalam memasarkan produk-produknya adalah masalah bahasa. Dalam mengatasi masalah ini, pengusaha menggunakan penerjemah dalam memperlancar jual belinya. Untuk itu, pemerintah diharap memfasilitasi pelaku UKM dalam memasarkan produk mereka serta memberikan akses pasar ke luar negeri

Dari banyak persoalan yang masih dihadapi pengusaha lokal inilah yang mengakibatkan mereka masih ‘’digantung’’ makelar. Pengusaha lokal masih menggantungkan harapannya secara penuh kepada vendor-vendor di luar NTB yang memiliki fasilitas pendukung yang sangat memadai.

Ketua Asosiasi Pengusah Eksportir (Apex) Provinsi NTB, H. Anhar Tohri meminta pemerintah daerah memberi perhatian, dengan memfasilitasi pelaku usaha untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pameran yang bersifat nasional dan internasional.

“Tidak bisa hanya dengan rapat, pertemuan, pelatihan. Fasilitasi untuk pameran nasional dan internasional agar produk lokal dikenal,” katanya pada media ini.

Pengusaha luar negeri masih belum sepenuhnya percaya pada pengusaha lokal. Karena itulah, kerjasama dagang untuk produk-produk kerajinan, biasanya melibatkan vendor yang sebagian besar ada di Bali, maupun Yogyakarta menurutnya.

Padahal, dari sisi produk, potensi ekspor produk hasil kerajinan dan industri dari NTB tidaklah lkecil. Dan sebagain besar dikirim menggunakan nama vendor yang ada di luar daerah.

“Saya ke Bali, ke Yogya untuk melihat-lihat, ternyata teman-teman yang nilai barangnya sampai Rp 400 juta, Rp 500 juta, masih menggunakan nama vendornya sebagai tujuan pertama pengusaha luar negeri. Dan pengusaha NTB juga belum bisa menarik diri dari vendonya (ketergantungan),” imbuhnya.

Karena komunikasi dan jaringan yang terbatas inilah, pemerintah diminta memotori eksportir-eksportir lokal. Agar manfaat lebih dari kegiatan ekspor tersebut tidak direbut terus menerus oleh pengusaha-pengusaha luar.

Sampai saat ini, industri kerajinan hanya mengambil porsi satu persen dari total ekspor NTB selama setahun. Karena itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mendorong pemerintah daerah memberikan perhatian lebih, agar produk lokal di luar komoditas tambang ekspornya dapat digenjot.

Dinas Perdagangan Tak Bisa Larang

Kepala Dinas Perdagangan (Disdag) NTB Dra. Hj. Putu Selly Andayani, MSi., mengaku masih banyak pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di NTB yang menggunakan jasa makelar atau vendor dalam mengirim barang ke luar negeri. Banyaknya pengusaha lokal menggunakan makelar ini, karena ekspor NTB masih didominasi tambang mineral.

“Kalau UKM tidak seberapa, karena dia belinya sedikit. Jadi pengepulnya dari luar daerah. Pelaku UKM di sini hanya mengumpulkan barang-barangnya saja kemudian nantinya makelarnya yang akan mengirimkan lewat kontainer. Jadi SKA (Surat Keterangan Asal)nya tidak  ke luar dari sini,” terangnya.

Hal inilah, yang membuat data ekspor produk dari NTB tidak terdeteksi. Adanya fakta ini, pemerintah tidak bisa melarang pelaku UKM mengirim barang menggunakan jasa vendor atau makelar, karena merupakan hak mereka.

Mantan Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah NTB ini, mengaku, data ekspor NTB masih minim. Pihaknya masih kesulitan melakukan pendataan, karena banyak pelaku UKM mengirim barang lewat daerah lain. Seperti Bali, Jawa Timur atau daerah lain di Pulau Jawa.

Atas dasar itulah, pihaknya mencoba meluncurkan program i-Shop bertepatan dengan 17 Agustus 2017. Adanya i-Shop ini, karena bisa memantau atau mendeteksi transaksi antara pemilik barang dengan konsumen. Apalagi dasar dibentuknya i-Shop ini, karena pihaknya melihat data UKM tidak terdeteksi berapa yang jumlah pengiriman produknya ke luar. “Sehingga buyer mengambil sedikit-sedikit langsung kirim ke daerah tetangga. Sehingga SKA-nya ke luar dari sana. Kita mengalami kerugian karena tidak dapat apa-apa, kita dapat rupiah mereka dapat dolar,’’ ujarnya.

Selain itu, i-Shop ini, dibentuk untuk jangka panjang bukan jangka pendek. “Kita tidak punya datanya berapa yang dikirim ke luar. Kalau kirimnya hanya satu mobil, tidak terdeteksi di sini, tidak ada kewajiban mereka lapor di sini,” tambahnya. Terkait adanya eksportir kopi yang ingin berinvestasi di i-Shop tetapi hilang, bisa disebabkan jumlah yang dikirim masih sedikit. ‘’Jadi dikumpulkan jadi satu di luar daerah baru kemudian dikirim lewat kontainer. Itulah yang menjadi masalah kita sekarang,’’ ujarnya.

Hal lainnya, NTB tidak memiliki pelabuhan ekspor impor. Sehingga semua barang yang dikirim ke luar negeri mesti melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. ‘’Tetapi yang penting itu kan SKA-nya, sehingga data yang ada jelas,’’ harapnya.

Apalagi banyak produk kerajinan dari NTB yang diklaim oleh daerah luar sebagai miliknya. “Kemarin saya juga pernah ditanya oleh Duta Besar Indonesia di Mesir kenapa produk dari NTB diklaim daerah lain. Kita kecolongan jadinya dan itu yang membuat banyak produk kita hancur,” jelasnya.

Untuk itu, para pelaku UKM harus bisa terdaftar di i-Shop jika ingin membantu daerah. Mereka harus datang langsung ke dinas di mana mereka harus punya SOP, itu harus standarisasi yang harus mereka ikuti. Apalagi sekarang ada program gratis dari dinas. Apalagi untuk pengusaha produk olahan makanan yang harus memiliki PIRT dan label halal agar bisa tampil.

“Para pengusaha sendiri yang harus aktif, mindset mereka harus berubah. Apalagi untuk ekspor ke luar. Mereka bisa datang langsung ke Dinas Perdagangan dan akan dibimbing tanpa ada biaya,’’ ujarnya.

Pelaku Usaha Butuh Standarisasi dan Perizinan

Anggota Komisi II Bidang Perdagangan DPRD NTB Raihan Anwar, SE, M.Si., kepada Ekbis NTB mengatakan, banyak sektor yang memiliki potensi tinggi namun gagal memberikan nilai tambah bagi daerah lantaran terkendala oleh belum mampunya dilakukan kegiatan ekspor secara langsung.

‘’Kita pernah mengkritisi, ternyata untuk izin ekspor ikan olahan seperti ikan tuna, NTB  belum bisa mengirim langsung ke negara tujuan, padahal potensi perdagangan ikan seperti tuna, kerapu, kakap dan lainnya besar sekali,’’ kata Raihan.

Di sektor industri, hasil dari kerajinan tangan asli NTB juga tidak kalah potensial. Salah satu kendalanya kata Raihan yaitu NTB belum memiliki izin ekspor langsung terutama tujuan Eropa dan negara Asia lainnya. Di sinilah peranan dari Dinas Perdagangan dan Dinas Perindustrian untuk meningkatkan standarisasi dan perizinan  agar para pengusaha lokal ini, terutama di sektor industri bisa mengkspor secara langsung.

“ Ini saya kira menjadi catatan penting bagaimana peranan pemda dan keseriusan mereka untuk melaksanakan hal itu. Rugi kita dalam hal efisiensi, dari segi waktu dan kerugian berupa pajak dan biaya-biaya ekspor impor. Jadi ada banyak kerugian dari tidak adanya izin ekpor langsung dari NTB,” katanya.

Menurutnya, Provinsi NTB bukan lagi sebagai daerah terbelakang, apalagi sebagai daerah yang terisolir dari perdagangan internasional. Provinsi NTB secara geografis menjadi daerah yang strategis yaitu menjadi jalur transportasi laut. Terlebih selat Lombok adalah jalur paling strategis pelayaran internasional.

Transportasi udara juga demikian. Hadirnya Lombok International Aiport (LIA) juga sebenarnya bisa menjadi bandara pengangkut barang dengan tujuan mancanegara.  “Tidak hanya mengangkut wisatawan asing, juga untuk kargo. Artinya di sana untuk perdagangan. Namun ini lamban direspons secara baik oleh aparatur pemerintah kita,” sesalnya.

Raihan mengatakan, sebagain produk yang dihasilkan pengusaha dan perajin dalam daerah belum memiliki kualitas standar ekspor. Standarisasi aneka produk yang banyak permintaan pasar luar negeri memang harus dilakukan. Terlebih di era pasar bebas ini, jangan sampai barang yang masuk ke NTB lebih besar daripada barang yang keluar.

“Standarisasi produk itu yang perlu ditingkatkan, artinya perlu keterlibatan teknologi yang lebih canggih. Kualitas SDM tenaga teknis yang harus didatangkan dari Jawa. Mungkin awal-awalnya perlu keterlibatan BUMN untuk mendampingi UMKM dan IKM ini untuk alih teknologi,” katanya.

Untuk meningkatkan kualitas produk lokal, pemerintah daerah bisa melakukan kerjasama dengan pengusaha dari luar daerah dalam hal edukasi dan alih teknologi.  Proses belajar dengan pelaku usaha di pulau Jawa misalnya menjadi sangat penting, mengingat disana terdapat banyak pengusaha yang sudah sukses membangun jaringan di luar negeri dan memiliki standar yang baik.

Bagi Raihan, hal ini menjadi kewenangan pemerintah daerah melalui SKPD teknis terkait. Asalkan mereka memiliki kemauan, gagasan, dan semangat kerja yang lebih tinggi, maka hal itu bisa terwujud. Birokrasi saat ini memang harus memiliki visi sebagai birokrasi modern yang berorientasi pada manajemen wirausaha. Membangun birokrasi yang efektif dan efisien dan lebih produktif.

“Visi besar TGB-Amin adalah membangun NTB yang berdaya saing. Karena daya saing daerah itu adalah dibentuk dari daya saing per sektor. Misalnya sektor perikanan kelautan, sektor perdagangan, sektor insdustri. Itu yang kemudian membantuk daya saing daerah. Semangat ini yang harus menjadi mindset birokrasi kita. Visi misi berdaya saing itu yang harus diterjemahkan dalam program SKPD-SKPD teknis,” katanya.

Kuncinya Harus Kompak

Pelaku usaha sekaligus pemerhati perdagangan Bing Gianto mengatakan, ada sejumlah hambatan yang dihadapi untuk melakukan ekspor secara langsung dengan pembeli di luar negeri. Pertama adalah kendala produk. Kontinuitas produk yang dihasilkan pengusaha di NTB tidak pasti.” Selanjutnya jumlah barang juga tidak memenuhi kuota, sehingga vendor Bali mengumpulkan produk sejenis dari beberapa daerah untuk memenuhi kuota permintaan ke luar negeri,” katanya belum lama ini.

Selanjutnya ekspor secara langsung oleh pengusaha dalam daerah terkendala oleh regulasi yang cukup ribet. Pajak ekspor yang masih tinggi juga menjadi kendala kegiatan ekspor selama ini, ditambah lagi dengan biaya mengirim atau transportasi juga masih terlalu tinggi.

“Saya pernah mencoba kirim, waduh gila-gilaan. Harga barang yang saya jual dengan transportasinya hampir sama, itu contoh barang seni. Hambatan selanjutnya kemungkinan masih ada (dugaan) pungli di pelabuhan,” ujarnya.

Menurutnya,terkadang pengusaha dalam daerah kurang kompak. Jika menjaga kekompakan, sangat mungkin untuk melakukan hubungan langsung dengan pembeli. Misalnya ada lima orang pengusaha dengan produk yang sama, setelah barang-barang terkumpul dan memenuhi kuota, mereka bisa melakukan ekspor. “Namun terkadang tidak kompak, mau diadu-domba oleh vendor-vendor,”katanya.

Selama ini hanya sedikit komoditas yang dijual secara langsung dengan pembeli di luar negeri, misalnya produk mutiara. Mutiara itu cukup gampang mengirim ke luar negeri, karena pengemasannya tidak besar dan tidak memakan tempat. Karena pengiriman mutiara tidak memerlukan kargo khusus, sehingga biaya pengiriman ke luar negeri juga tidak besar.

Selain mutiara, komoditas rumput laut juga sangat berpotensi untuk diekspor oleh pengusaha lokal secara langsung. Terlebih kebutuhan bahan baku rumput laut untuk aneka industri sangat besar. Hanya saja rumput laut sudah banyak dikuasai oleh perusahaan asing. Misalnya perusahaan dari Korea memegang bisnis rumput lait di wilayah Plampang, Kabupaten Sumbawa.

“Sekarang perusahaan asing sudah banyak masuk di sana, melalui pinjam nama. Sehingga sisanya saja yang diperoleh oleh perusahaan lokal. Yang dari Surabaya saja sulit masuk. Luar biasa rumput lautnya NTB, kualitasnya bagus, hasilnya bagus. Namun sudah dikuasai oleh beberapa perusahaan asing,” katanya.

Sedangkan tenun khas NTB yang memiliki potensi yang bagus juga pada dasarnya berpotensi melakukan transaksi bisnis secara langsung dengan pembeli di luar negeri. Namun saat ini kondisinya belum memungkinkan. Jika tenun dilakukan pembinaan dengan baik, maka kuota ekspor akan bisa dipenuhi. “Kalau kompak, di Bima luar biasa songket, Lombok Tengah juga demikian. Jika ada perusahaan yang membina atau asosiasi tertentu dengan memenuhi produk yang sama, saya yakin bisa memenuhi kuota,” terangnya.

Bagaimana dengan intervensi pemerintah? Menurut penilaiannya hanya Pemerintah Provinsi NTB yang selama ini melakukan upaya untuk melakukan pembinaan secara maksimal kepada para produsen atau perajin dalam daerah.” Misalnya Dekranas Provinsi babak belur, namun di kabupaten/kota adem ayem. Tidak ada seiring sejalan,”ujarnya.

Yang terakhir, salah satu tantangan untuk langsung berhubungan dengan pembeli di luar negeri tanpa melalui jasa vendor yaitu kemampuan pendanaan yang masih kecil. Mestinya perbankan juga melakukan intervensi terhadap pembiayaan seperti ini. Misalnya ada pengusaha ingin menjadi vendor untuk dirinya sendiri. “ karena tidak bisa sekali kirim, paling tidak, tiga kali modal. Pengiriman pertama, pengiriman kedua harus siap dan pengiriman ketiga menjadi cadangan,” tutupnya. (tim)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

No Comments

Leave a Reply