Kenaikan Harga Rokok Menyumbang Kemiskinan Baru?

Global FM
13 Jan 2020 09:33
3 minutes reading
Ilustrasi Rokok (Global FM Lombok/dok)

Mataram (Global FM Lombok) – Kenaikan harga rokok sejak 1 Januari lalu diprediksi akan berpengaruh terhadap angka kemiskinan di Provinsi NTB. Namun untuk mengetahui dampak yang sesungguhnya harus dihitung berdasarkan metode yang tepat. Dalam hal ini Badan Pusat Statistik (BPS) NTB akan menyusun simulasi penghitungan dampak kenaikan harga rokok tersebut. Terutama dampaknya terhadap inflasi.

“Kalau demand-nya (jumlah konsumsi rokok masyarakat, Red) tidak berkurang, pasti ada dampaknya,” ujar Kepala BPS NTB, Suntono, dikonfirmasi Minggu, 12 Januari 2020. Hasil penghitungan disebut akan dapat dikeluarkan pada kegiatan rilis BPS Februari mendatang.

‘’Jadi kita hitung satu bulan, sejak awal tahun kemarin sampai akhir Januari nanti,” sambungnya.

Dicontohkan Suntono program simulasi yang dilakukan menghitung volume perokok di NTB yang berpotensi mengurangi jumlah rokok yang dihisap per hari mengikuti kenaikan harga rokok.

Baca Juga : Harga Rokok Naik, Pengamat : Tugas Pemerintah Edukasi Masyarakat untuk Kurangi Merokok

“Kalau sebelumnya merokok sebungkus, setelah harga naik tetap merokok sebungkus, yang serperti akan ada dampaknya (terhadap inflasi),’’ ujarnya.

Di sisi lain, jika jumlah perokok benar-benar berkurang maka diprediksi akan meningkatkan konsumsi untuk 52 komoditas konsumsi-pangan lainnya. Artinya, biaya untuk pembelian rokok sehari-hari dialihkan oleh masyarakat untuk membeli komoditas lain karena harga rokok yang terlalu mahal.

“Karena itu perlu dilakukan simulasi,” ujar Suntono.

Selain peningkatan inflasi, kenaikan harga rokok juga disebut berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Walaupun begitu, pengukuran dampaknya memakan waktu yang lebih lama karena harus mengelaborasi 52 komoditas utama konsumsi-pangan yang menjadi indikator penghitungan.

‘’Kalau jumlah pembelian rokok tidak kurang, dia pasti akan mengurangi konsumsi makanan. Misalnya tadi Rp10 ribu, karena harga naik Rp5 ribu maka dia mengurangi harga untuk makannya,’’ ujar Suntono.

Mengingat kultur masyarakat yang cenderung mementingkan rokok, hal tersebut dikhawatirkan akan mempengaruhi alokasi keuangan masyarakat yang memilih mengurangi daya beli untuk komoditas pokok lainnya.

Diterangkan Suntono konsumsi rokok saat ini berada pada posisi keempat pemenuhan kebutuhan masyarakat NTB. “Posisi pertama itu ada beras, kemudian pendidikan dan rumah,” ujarnya.

Mengingat rokok masuk dalam komoditas tanpa kalori, maka potensi masyarakat mengurangi pembelian makanan untuk memenuhi rokok dikhawatirkan akan berdampak juga pada masalah-masalah lainnya seperti angka pemenuhan gizi.

Baca Juga : Dampak Kenaikan Harga Rokok, Kemiskinan di NTB Diprediksi Meningkat

Pemerintah resmi menaikkan harga rokok seiring penetapan kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35 persen. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2019 tentang tarif cukai hasil tembakau, keputusan tersebut mulai berlaku pada 1 Januari 2020 lalu.

Kenaikan tarif cukai rokok terbesar ada pada jenis rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 29,96 persen. Untuk cukai rokok jenis Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) naik sebesar 25,42 persen, Sigaret Kretek Mesin (SKM) 23,49 persen dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) 12,84 persen.

Asisten II Perekonomian dan Pembangunan Setda NTB, Ir. H. Ridwan Syah, MM, M.TP, yang dikonfirmasi terpisah menyebut kebijakan tersebut cukup dilematis. Pasalnya, jika dilihat, rata-rata para perokok berasal dari kalangan kelas menengah ke bawah yang dikhawatirkan akan menjadi lebih miskin karena mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk membeli rokok.

Berdasarkan data Pemprov, jumlah masyarakat miskin di NTB pada Maret 2019 sebanyak 735.960 jiwa. Rokok kretek filter menjadi penyumbang terbesar kedua pembentuk garis kemiskinan makanan setelah komoditi beras. Sedangkan sektor perumahan menjadi penyumbang terbesar pembentuk garis kemiskinan non makanan.

Kontribusi rokok pembentuk garis kemiskinan di pedesaan sebesar 8,83 persen. Sedangkan di perkotaan kontribusinya sebesar 11,95 persen. Sementara beras, kontribusinya sebagai pembentuk garis kemiskinan di pedesaan sebesar 27,65 persen dan perkotaan sebesar 21,41 persen. (bay)

1 Comment

Leave a Reply