Praya (Global FM Lombok)- Kasus dugaan pelemparan gudang pabrik pengolahan tembakau yang menyeret empat ibu rumah tangga (IRT) asal Desa Wajegeseng Kecamatan Kopang, kini sudah masuk ke tahap persidangan. Kendati demikian, upaya-upaya mediasi masih terus dilakukan oleh pihak kepolisian. Harapannya, pihak terlapor dan pelapor bisa segera berdamai. Sehingga bisa menjadi salah satu pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman keempat IRT nantinya.
“Kita masih upayakan kedua belah pihak bisa bertemu. Untuk kita mediasi dan berdamai,” sebut Kapolres Loteng, AKBP Esty Setyo Nugroho, SIK., kepada Suara NTB, Selasa (23/2).
Kalau untuk proses hukumnya tetap berjalan. Karena itu sudah menjadi ranah kewenangan hakim Pengadilan Negeri (PN) Praya. Yang bisa dilakukan saat ini ialah bagaimana supaya kedua belah pihak bisa berdamai dan saling memaafkan. Itu nanti bisa menjadi dasar pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman kepada para IRT tersebut.
Esty menjelaskan, kasus ini bukan semata-mata soal pelemparan yang dilakukan oleh IRT tersebut. Karena kalau bicara pelemparan memang tidak ada kerusakan berarti. Tapi dampak dari pelemparan tersebut menimbulkan ketakutan bagi para pekerja pabrik.
Karena pelemparan terjadi sudah berulang kali. Sehingga menimbulkan keresahan diantara pekerja pabrik. “Untungnya sampai saat ini tidak ada pekerja yang jadi korban pelemparan. Kalau sampai ada yang jadi korban, terkena pelemparan kasusnya bisa jadi berat,” ujarnya.
Dengan kuasa hukum IRT pihaknya juga sudah bertemu menjelaskan kondisi yang sesungguhnya terjadi. Pemilik pabrik selaku pelapor jauh-jauh hari juga sudah menyatakan kesiapannya untuk dimediasi dan berdamai. Harapanya, kasus pelemparan tidak terulang kembali. “Kita carikan solusi terbaik. Tanpa harus mengganggu proses hukum yang saat ini masih berjalan,” tandas pria asal Banyuwangi Jawa Timur ini.
Sebelumnya, Kepala Desa Wajegseng, Dedi Ismayadi, S.Tp., mengatakan soal mediasi sudah sangat sering dilakukan. Tidak hanya mediasi secara resmi oleh pemerintah desa termasuk pihak kepolisian, mediasi secara keluargaanya juga sering dilakukan. Tapi tidak pernah ada titik temu.
Awalnya, warga menuntut pemilik pabrik meninggikan tembok serta menutup atap pabrik supaya bau dari aktifitas pengolahan tembakau tidak keluar. Permintaan itu pun sudah disanggupi oleh pemilik pabrik. Namun aksi pelemparan tetap saja terjadi.
“Dulu pernah akan ada kata sepakat antara warga dengan pemilik pabrik. Tapi diduga ada pihak ketiga yang bermain, sehingga kesempatan tidak jadi tercapai,” jelasnya. Dimana pihak ketiga tersebut diduga meminta uang damai dengan nominal yang cukup besar kepada pemilik pabrik. Yang tidak mampu dipenuhi oleh pemilik pabrik.
Disinggung terkait proses hukum yang menjerat empat IRT, Dedi mengaku mengetahui ada laporan. Namun tidak begitu mengikuti perkembangan penanganan kasusnya. Karena warga yang dilaporkan juga tidak pernah komunikasi dengan pemerintah desa. Warga lebih memilih berkomunikasi dengan lembaga (LSM) yang mendampingi.
Bahkan ketika empat IRT tersebut ditahan, pihak keluarga IRT tidak pernah komunikasi dengan desa. “Apa-apa, warga selalu komunikasinya dengan teman lembaga (LSM) saja. Sehingga kita merasa dianggap tidak ada,” ujarnya.
Baru ada komunikasi setelah Komisi IV DPRD Loteng turun ke desa pada hari Jumat (19/2) lalu setelah empat IRT tersebut ditahan beberapa hari. Dan, hari itu juga dari pihak desa langsung membuatkan permohonan penangguhan penahanan. Setelah permintaan dari pihak keluarga IRT yang ditahan tersebut. “Sekarang kasusnya sudah diproses hukum. Harapannya kita ada solusi terbaik antar kedua belah pihak,” timpal Dedi. (kir)
No Comments