Kasus Bayi Anisa, RSUP dan Polisi Dinilai Langgar Prosedur Adopsi

Global FM
24 Jul 2015 10:15
4 minutes reading
Ketua Ombudsman NTB Adhar Hakim didamping Ketua Divisi  Advokasi dan Hukum LPA NTB Joko Dumadi, menunjukkan surat tulis tangan Anisa yang merelakan bayinya diadopsi Nengah Kerti.

Ketua Ombudsman NTB Adhar Hakim didamping Ketua Divisi Advokasi dan Hukum LPA NTB Joko Dumadi, menunjukkan surat tulis tangan Anisa yang merelakan bayinya diadopsi Nengah Kerti.

Mataram (Global Fm Lombok)-Kasus bayi laki laki yang dilahirkan Anisa (20) terus menggelinding. Pernyataan pihak RSUP NTB sebelumnya yang mengklaim sudah punya SOP pengambilan bayi, membuat berang pihak Ombudsman RI. Bahkan Lembaga Perlindungan Anak juga menyoroti kepolisian yang justru memfasilitasi surat pernyataan adopsi terindikasi tidak prosedural.

Dalam keterangan persnya, Kamis (23/7), Ketua Ombudsman NTB, Adhar Hakim mengaku terkejut dengan pernyataan Direktur RSUP NTB, H. Mawardi Hamri, bahwa sudah ada SOP untuk pengambilan bayi, bahkan menyalahkan rekomendasi Ombudsman. Padahal saat dia klarifikasi langsung, Mawardi mengakui  tidak ada SOP pengambilan bayi dan akan dibenahi.

“Bukan soal dia membantah Ombudsman yang membuat saya kecewa. Tapi pernyataan yang berbeda di media dengan yang kami klarifikasi bisa membingungkan publik.  Ini juga sama dengan membahayakan dan membuka peluang pencurian bayi di RSUP NTB,” tegas Adhar.

Dari hasil investigasnya, didukung keterangan langsung Mawardi, bahwa RSUP NTB tidak memiliki standard  yang jelas soal pengambilan bayi di NICU. “Dan ini diakui langsung oleh Pak Mawardi. Sehingga dapat saya tegaskan, RSUP NTB telah melakukan praktek maladministrasi,” tegas dia.

Padahal dalam standard sudah diatur bahwa pengambilan bayi harus dilakukan oleh ibu bayi. Jika diwakilkan, maka SOP nya harus dilakukan oleh ayah bayi. “Jika tidak, maka yang bisa mengambil adalah kakek atau nenek bayi. Itu pun harus mengisi form dan ada surat kuasa dari orang tua bayi. Ini SOP nya yang tidak dilakukan kemarin,” tegas dia.Jika tidak segera diperbaiki maka dia khawatir, di rumah sakit itu bisa terjadi praktek pencurian bayi.

Adhar menambahkan, klarifikasi lanjutan ke pihak RSUP NTB dilakukan lagi Rabu (22/7) lalu. Dia ditemui Wadir Umum dan Keuangan Hamzi Fikri. Ternyata, kata dia, mereka menjadikan surat pernyataan adopsi dari kepolisian sebagai legalitas.  Surat itu berisi tanda tangan antara Anisa, ibu bayi dengan Nengah Kerti, yang mengadopsi. Surat tertanggal 20 Juli, dibuat tulis tangan.  “Menurut Wadir Umum, surat ini ditanda tangani kedua pihak depan kepolisian. Inilah yang menjadi dasar mereka (RSUP). Ini aneh menurut saya, sama dengan jadi preseden buruk dan melegalkan praktek penculika bayi,” kritik Adhar.

Sementara Ketua Divisi Advokasi dan Hukum LPA NTB, Joko Dumadi membahas soal surat yang ditanda tangani dihadapan kepolisian di Mapolsek Mataram itu. Surat itu menurutnya menjadi janggal,karena tanggal dibuatnya 20 Juli. Sementara bayi itu diambil 17 Juli. Artinya, bayi diambil dulu, baru kemudian dibuatkan surat. “Berarti polisi sudah turut serta dalam proses adopsi illegal ini,” sesal Joko.     

Jika ini kasus, maka bisa diarahkan ke pidana karena melanggar Pasal 79 Undang – Undang 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Polsek Mataram yang menangani kasus ini, menurut dia, seharusnya memproses indikasi perbuatan pidananya karena bayi diambil tanpa dilengkapi dokumen dan penetapan pengadilan.

Berdasarkan aturan, adopsi dilakuka melalui dua proses, hukum formal  dan adat. Secara formal, harus melalui proses pengujian latarbelakang. Akan dilakukan assessment apakah calon orang tua bayi itu memenuhi syarat dan mampu merawat. Setelah syarat itu, akan diawasi selama enam bulan oleh tim dari Dinas Sosial. Jika enam bulan orang tua angkat itu tidak mampu, maka bayi bisa ditarik lagi.

Joko mengaku tidak tahu bagaimana latarbelakang agama orang tua bayi dan yang mengadopsi. Tapi dalam aturan, jika beda agama antara orang tua bayi dengan yang adopsi, maka Undang – Undang melarang. “Dalam hal bayi itu tidak diketahui orang tuanya, maka dia diadopsi dengan dasar agama mayoritas di daerah itu,” terangnya.  

 Dalam PP 54 thun 2007 tentang proses adopsi anak, ada Tim Pertimangan Perizinan Anak (Tipa) yang ditunjuk, di SK kan oleh Gubernur. Ada juga aturan turunan dari Kementerian Sosal.  

Jika proses ini tidak dilalui oleh orang tua yang adopsi anak Anisa, maka dipastikanya melanggar pidana. “Sehingga kami minta Polsek  Mataram yang menangani kasus ini, segera ambil itu anak dari Bali. Kemudian suruh sesuai prosedur siapa pun yang adopsi,” tegasnya. Dia pun mengaku sudah berkoordnasi dengan Polda NTB terkait ini. Dan pihaknya siap melaporkan tindak pidana, jika prosedur tidak dilalui.  

Sementara Kasubag Humas Polres Mataram, AKP I Wayan Suteja dikonfirmasi sore kemarin mengakui ada surat pernyataan yang telah dibuat oleh kedua pihak. Tapi ditegaskannya, pihaknya tidak masuk ke ranah adopsi itu. “Kami hanya memfasilitasi, agar surat itu kemudian menjadi lampiran saat membuat dokumen adopsi nanti, sehingga bisa legal dan ada penetapan Pengadilan.  Tapi sekali lagi, kami tidak masuk ke ranah adopsinya,” tegas dia .

Yang sedang dilakukan pihaknya saat ini adalah memproses indikasi pidana dalam kasus ini. Polsek Mataram juga tengah berkoordinasi dan mengupayakan bayi itu diambil dari Bali untuk dilengkapi dokumen adopsinya, sambil mengamati perkembangan. “Jika memang aturan aturan ini tidak terpenuhi, maka kami bisa masuk ke ranah pidananya,” tegas dia.

Tapi menurut dia, sepanjang tidak ada yang merasa menjadi korban dalam kasus ini, maka tidak bisa masuk ke ranah pidana. “Kalau tidak ada yang keberatan, kedua pihak sepakat untuk memproses adopsi sesuai aturan, maka tidak ada masalah,” pungkasnya. (ris)  

 

No Comments

Leave a Reply