Jurus Masyarakat Lobar Melawan Praktik “Merariq Kodeq” (Bagian I)

Global FM
30 Jul 2021 15:34
5 minutes reading

Reporter : Zainudin Syafari

Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) Kediri, Lombok Barat. Mereka sangat aktif bergerak untuk mencegah perkawinan usia anak. Foto Dokumen. Diambil sebelum pandemi-Covid-19. (Global FM Lombok/ist)
Jurus Masyarakat Lobar Melawan Praktik “Merariq Kodeq” (Bagian I)

“Ye wah ruen lamun wah merariq kodeq, sekolah jari putus, lamun arak masalah lek rumah tangga, mene wah jarin. Laguk lamun nyesel mudi, ndek arak gune”  

Itu adalah cuplikan dialog film pendek yang berjulul “Merariq Kodeq Nyesel Mudi” yang dibuat oleh Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) Kediri, Lombok Barat bulan Mei 2021 kemarin. Narasi dalam bahasa Sasak itu disampaikan oleh orang tua kepada seorang anak yang memilih nikah usia anak sehingga putus sekolah.  

Film berdurasi tujuh menit ini bercerita soal dua pelajar SMA yang memutuskan menikah di usia anak. Di bagian akhir film, pasangan suami istri yang masih anak-anak ini menyesal. Persoalan rumah tangga yang datang silih berganti tak mampu diselesaikan dengan baik layaknya orang dewasa.  Pesan dari film pendek ini sangat sederhana; jangan menikah di usia anak.

KPAD Kediri, Lombok Barat adalah salah satu lembaga perlindungan anak yang dibuat oleh kelompok masyarakat, termasuk kalangan remaja di dalamnya. Lembaga ini cukup aktif bergerak di lapangan. Mereka membuat jejaring dan berkampanye untuk mencegah terjadinya perkawianan usia anak atau dalam bahasa Sasak Lombok disebut merariq kodeq.

Suci Apriani, adalah remaja yang getol bergerak melawan praktek ini. Dia ditunjuk menjadi ketua KPAD Kediri. Ada banyak program yang sudah dan sedang dilaksanakan. Salah satunya yaitu menggalang petisi menolak pernikahan usia anak sekaligus membangun kesadaran bersama guna melawan praktek pernikahan usia anak ini

 “Jadi ada anak usia 15 tahun yang menjadi orator yang menyuarakan dia tak mau dinikahkan. Kemudian, teman-temannya menyatakan hal yang sama gitu. Jadi aku merasa bahwa ketika anak-anak ini bersuara, luar biasa banget pengaruhnya. Jadi petisi ini di tahun 2017 yang rencananya 300 tanda tangan, mereka ternyata lebih dari itu,” tutur Suci Apriani.

Seorang aktivis KPAD Kediri sedang berorasi dalam rangka sosialisasi pencegahan perkawinan usia anak. Foto Dokumen. Diambil sebelum pandemi-Covid-19. (Global FM Lombok/ist)

KPAD Kediri bersama stakeholder  juga sering “membelas” atau memisahkan anak yang dilarikan oleh calon suaminya untuk dikawinkan. Proses membelas itu sering membuahkan hasil. Bahkan di bulan Februari 2021 kemarin ada anak yang baru menginjak usia 18 tahun yang digagalkan perkawinannya sampai tiga kali.

“Dia mencoba melakukan percobaan pernikahan sebanyak tiga kali, namun dia tetap berhasil kita pisahkan. Malah di pembelasan yang terakhir itu, kita melakukan upaya yang benar-benar, karena apa sih yang membuat anak ini ingin nikah lagi padahal sudah dibelas. Nah di sana kita tahu bahwa penting banget pendampingan psikososial anak setelah melakukan proses pembelasan,” katanya.

Kabupaten Lombok Barat (Lobar) adalah daerah yang sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Pendewasaan Perkawinan Usia Anak  dan Peraturan Bupati (Perpub) tentang Pencegahan Pernikahan Usia Anak. Di samping itu pemerintah desa di kabupaten ini sudah banyak yang membuat Peraturan Desa tentang Pencegahan Pernikahan Usia Anak, salah satunya Desa Kediri. Anak, baik laki-laki maupun perempuan tidak diizinkan menikah jika masih berusia di bawah 19 tahun.

Sekretaris Desa Kediri Umar Said mengatakan, pihaknya sudah memiliki Peraturan Desa tentang Pencegahan Pernikahan Usia Anak yang disahkan tahun 2019 lalu. Sayangnya aturan ini belum disosialisasikan ke masyarakat dengan alasan pandemi Covid-19.

“Khusus masalah Perdes, belum kita punya waktu untuk tahap sosialisasinya ke masyarakat karena keburu datang Covid ini. Kan kemarin tahun 2019 kita bentuk Perdesnya, dan saat waktu sosialisasi datanglah Covid ini gitu,” kata Umar Said.

Meski soal regulasi masih belum banyak diketahui masyarakat, dia mengklaim upaya pemerintah desa untuk mencegah pernikahan usia anak tetap dilaksanakan. Terlebih ada peraturan di atasnya yang sudah lebih dulu mengatur seperti UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan Perda serta Perbup di Kabupaten Lombok Barat.

“Untuk pernikahan di bawah umur itu sekarang berat, bisa saya katakan sudah tidak berani. Namun kemarin pas saya temukan langsung kita pisah. Kita kerjasama dengan kabupaten dan provinsi untuk pisahkan.  Banyak yang bisa dibelas. Kita paksakan,” terangnya.  

Masyarakat di Lobar mengapresiasi  lahirnya sejumlah aturan tentang pencegahan perkawianan usia anak. Begitu juga dengan beberapa program dari pemerintah dan lembaga non pemerintah tentang pendewasaan usia perkawinan. Namun di lapangan, banyak ragam aturan yang hanya diketahui oleh perangkat pemerintah saja. Misalnya saja Perdes. Regulasi ini terkadang hanya diketaui oleh kepala desa, Badan Perwakilan Desa, kepala dusun dan RT saja. Sementara masyarakat nyaris tidak ada yang mengetahuinya. 

Supriadi, saah seorang tokoh mudah Desa Kediri bertutur, pemerintah perlu lebih banyak melakukan sosialisasi agar aturan tentang larangan perkawianan usia anak ini lebih banyak diketahui oleh masyarakat.

“Kalau bicara soal perubahan, pasti ada perubahan. Cuman Perdes ini letak lemahnya adalah belum tersosialisasinya dengan baik. Hanya menjadi pegangan para pemangku kebijakan seperti kadus, RT, BPD, hanya sebatas itu saja. Mungkin masyarakat satu dua orang yang tahu, belum tersosialisasi dengan baik,” jelas Supriadi.

Namun demikian, dia menilai secara umum masyarakat sudah semakin sadar bahwa pernikahan usia anak memang harus terus dicegah. Salah satu bentuk kesadaran masyarakat yaitu banyak diantara mereka yang melaporkan kasus pernikahan usia anak ke pemerintah desa dan lembaga perlindungan anak.

 “Di tahun 2018 masyarakat makin sadar, mereka ada yang saling melaporkan. Di tahun 2018 itu kita berhasil menekan angka perkawinan anak di Kediri sampai pernah dapat penghargaan, angkanya nol” tambahnya.

Namun bukan berarti kasus perkawinan usia anak sudah nihil. Hingga kini masih saja dijumpai kasus ini. Terlebih di masa pandemi. Di Desa Kediri saja, dilaporkan lebih dari 20 kasus perkawinan usia anak selama pandemi. Meski demikian dia menilai, angka temuan ini menjadi buah keberhasilan karena masyarakat makin aktif melapor.

 “Ini bentuk kesadaran masyarakat. Mereka tak lagi melakukan praktek perkawinan ini secara sembunyi-sembunyi. Ini prestasi untuk masyarakat karena kesadaran mereka menjadi pelapor dan pelopor ini berhasil menurut kami,” jelas pria yang biasa disapa Jack ini. (Bersambung)  

No Comments

Leave a Reply