Mataram (Global FM Lombok)-Kritik mengemuka dalam diskusi yang digelar Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB, Selasa (10/3), menohok pada nilai akumulasi kerugian negara masih kecil. Dibagian sama, koruptor yang dijerat banyak kelas bawah. Inilah yang disebut disparitas penegakan hukum, sehingga merekomendasikan kepada Aparat Penegak Hukum (APH) lebih produktif dalam kinerjanya sehingga belum memberi efek jera pada koruptor maupun.
Diskusi dihadiri Kepala BPKP Darius, AK, perwakilan Komisi Yudisial (KY) Habibi, akademisi Samsul Hidayat, Ahmad Marizi dari lawyer, pegiat LSM Tajir Syahroni, aktivis Fitra NTB, Syaifuddin Maliagung. Sementara dari pihak APH, Pengadilan Negeri Mataram dan Kejaksaan Negeri Mataram tidak ada yang hadir. Sedangkan Polres Mataram diwakili Kaur Bin Ops (KBO) Sat Reskrim, Ipda Remanto. Diskusi berlangsung di secretariat Somasi NTB.
Sorotan disampaikan Ketua Divisi Hukum dan Peradilan Somasi NTB, Azis Fauzi, SH, bahwa selama tahun 2014 masih terjadi disparitas penegakan hukum, baik di Kejaksaan, Kepolisian dan Pengadilan. Azis melihat, kasus korupsi memang mengalami peningkatan. Ini ditandai dengan banyaknya jumlah perkara sejak tahun 2011 sebanyak 11 perkara, tahun 2012 menjadi sebanyak 26 perkara, meningkat lagi di tahun 2013 menjadi sebanyak 44 perkara. Bahkan, sepanjang tahun 2014 meningkat signifikan menjadi sebanyak 56 perkara korupsi.
“Hal ini dapat diapresiasi sebagai sebuah pencapaian yang berkelanjutan. Akan tetapi, pada sisi lain, peningkatan jumlah kasus korupsi tersebut pertanda kegagalan bagi penegak hukum di NTB, karena gagal dalam memainkan peranan utamanya untuk menindak setiap pelaku korupsi dengan menjatuhkan tuntutan maupun hukuman yang seberat-beratnya,” beber Azis. Sehingga belum mampu menimbulkan efek jera (deterrent effect), baik bagi pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya supaya tidak ada lagi yang berani coba-coba melakukan korupsi.
Metodologi yang dilakukan meneliti perkara ini, difokuskan khusus di Pengadilan Tipikor, berdasarakan perkara yang disodorkan Jaksa. Berdasarkan data terdakwa yang diputus, lebih banyak divonis ringan. Ukurannya, rata – rata yang divonis 1 tahun penjara dan maksimal 4 tahun penjara. Dari 23 perkara, ada 51 terdakwa yang diputus ringan. Hanya tiga orang yang diputus sedang, yakni 10 tahun untuk mantan Kajari Praya Subri, sedangkan putusan tinggi di atas 10 tahun menurutnya nihil. Bahkan tahun 2011 dan 2013, dua orang divonis bebas. Putusan ringan itu tidak lepas dari penerapan pasal yang cenderung jaksa dan hakim menerapkan pasal subsideritas, yaitu 45 terdakwa. Hanya satu orang dijerat dengan primair pasal 2 ayat 1 UU Tipikor.
Sementara terkait kerugian negara, dia menyebut nilai yang dicatat berdasarkan putusan hakim, mencapai Rp 11,021 Miliar dari 21 perkara yang ditemukan kerugian negaranya. “Tapi kerugian negara ini tidak diimbangi dengan pengembalian kerugian Negara yang proporsional,” bebernya. Dijelaskan maksudnya, hanya 19 orang terdakwa yang diputus dan dibebankan mengganti kerugian negara, hanya Rp 2,295 Miliar, sebagian besar justru tidak dibebankan pengembalian.
Dari sisi aktor, sepanjang tahun 2014, penegak hukum telah menindak pelaku korupsi yang tidak hanya berasal dari kalangan pejabat pemerintahan kelas bawah saja. Sebab sepanjang tahun 2014, dari kalangan pegawai sekretariat daerah (Setda), yaitu sebanyak 12 orang, yaitu dalam kasus Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) Fiktif di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Disusul pegawai SKPD kabupaten dan kota dan rekanan 9 orang terdakwa, dengan kasus sebagian besarnya pengadaan barang dan jassa. Selanjutnya, besar aktor korupsi tahun 2014 di NTB adalah pegawai Bea-Cukai dengan 5 orang terdakwa dalam kasus yang sama.
“Ini yang dijerat orang – orang kecil saja, sedangkan aktor the big fish (aktor utama), banyak banyak luput,” ungkapnya.
Atas dasar evaluasi itu, pihaknya menekankan agar penegak hukum, khususnya Pengadilan Tipikor harus memiliki kesamaan pandangan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan hukuman terhadap pelaku korupsi juga harus luar biasa . “Karenanya, Mahkamah Agung RI harus menerbitkan Surat Edaran atau Instruksi kepada hakim agar menjatuhkan hukuman maksimal bagi pelaku korupsi,” saran dia.
Dari rangkaian diskusi itu, hanya BPKP yang menanggapi. Menurut Darius, bahwa perhitungan kerugian negara dalam setiap kasus korupsi melalui audit yang cermat. Namun soal besar dan kecilnya kerugian negara setelah melalui vonis, itu menurut dia menjadi domain hakim. Tapi kembali kepada proses hukum awal, agar kerugian negara besar, kasus yang disodorkan untuk dihitung kerugian negara pun harus besar. “Kepada Kejaksaan atau kepolisian, kasus yang besar besar lah diserahkan ke kami,” harapnya.
Sementara Ipda Remanto menegaskan, soal penanganan kasus korupsi, tetap menjadi atensi pihaknya. Saat ini dua kasus korupsi terkait dana BOS di Sekolah Dasar sudah masuk tahap penyidikan. “Soal besar dan kecilnya, selama ini kan kami libatkan BPKP. Seberapa besar itu (kerugian) ya memang faktanya seperti itu,” tegasnya. (ris)
No Comments