Mataram (Globa FM Lombok)-Menanam tembakau bagi sebagian masyarakat NTB, terutama masyarakat di Lombok Timur dan Lombok Tengah sudah menjadi kultur sejak lama. Mereka mampu sejahtera melalui komoditas ini. Namun tak jarang para petani belum bisa meraup untung lantaran kebijakan pemerintah yang tak tepat. Misalnya saja masuknya tembakau impor yang membuat minimnya serapan tembakau oleh industri.
Jajaran Komisi II DPRD NTB pekan kemarin bertemu dengan Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko untuk membicarakan sejumlah persoalan dalam daerah, termasuk masalah tembakau ini. Anggota Komisi II DPRD NTB H. Haerul Warisin M.Si mengatakan, petani tembakau di Lombok sedang resah dalam hal memasarkan hasil pertaniannya.
“Saya sampaikan ke Pak Moeldoko, yang masih bermitra utuh hanya PT.Djarum dan PT. Bentoel, sementara merek-merek yang lain jarang bermitra. Untuk itulah kita membuat perubahan Perda No 4/ 2006 tentang tembakau itu. Dalam salah satu pasalnya para pengusaha wajib bermitra dengan petani,” katanya.
Dalam kesempatan itu juga, Haerul Warisin melaporkan soal keluhan petani terkait dengan dugaan masuknya tembaku impor secara berlebihan ke dalam negeri. Inilah alasan pabrik rokok mengurangi harga di tingkat petani karena tembakau impor itu harganya lebih murah.
Padahal Presiden sudah menyampaikan bahwa setiap komoditi yang mampu dihasilkan oleh petani dalam negeri, maka maksimal harus dimanfaatkan terlebih dahulu. “Kekurangannya baru kita melakukan impor. Dengan demikian perhatikan dulu hasil yang ada di negeri kita ini baru kemudian mereka melakukan impor,” ujarnya.
Mantan Wabup Lotim ini menerangkan, dalam membeli produk tembakau dalam daerah atau dalam negeri, perushaan diminta memperhatikan analisa usaha tani. Berapa biaya produksi petani dalam satu hektar, berapa upah buruh, berapa keuntungan yang diperoleh dan lain sebagainya. “ Itu semua dikompilasi secara keseluruhan, barulah mereka menentukan harga. Jangan semau gue perusahaan-perusahaan ini menentukan harga. Inilah yang kita akan kawal melalui Perda perubahan No 4/2006 itu,” katanya.
Menurut Warsin, jawaban Moeldoko saat itu, tidak banyak tembakau impor yang masuk ke Indonesia. Namun pada saat Pansus Usaha Budidaya dan Kemitraan Perkebunan Tembakau Virginia berkunjung ke Kementerian Perdagangan (Kemendag), justru Kemendag mengakui banyak tembakau yang masuk ke Indonesia dan itu tidak terdaftar.
“Mereka tidak berbicara dulu dengan Kementerian Pertanian, dalam hal ini Dirjen Perkebunan. Semestinya Kemendag bertanya dulu sebelum melakukan impor, mestinya tanya dulu Kementan berapa luasan tanam tembakau dalam negeri, berapa kebutuhannya, berapa kekurangannya, dan kekurangannya itu baru boleh impor tembakau,” tegasnya.
Secara umum lanjutnya, petani di Lombok masih banyak yang tertarik menanam tembakau meskipun dihadang oleh sejumlah persoalan. Namun demikian, ada beberapa wilayah yang dulunya sering ditanami tembakau, kini ditanami padi oleh pemiliknya, sehingga lahan pertanian tembakau berkurang. “ Tapi saya lihat tidak signifikan pengurangan jumlah areal tanaman tembakau ini, sebab dua kabupaten di wilayah selatan masih memiliki semangat yang tinggi untuk menanam tembakau,” jelasnya.
Ia melihat masa depan tembakau Lombok akan mampu tetap bertahan. Sebab tembakau yang ditanam di pulau ini memiliki kekhasan, aroma dan cita rasa tersendiri yang tidak dijumpai di tempat lain. “Itulah yang membuat dia bertahan karena ciri khasnya. Namun di lain sisi kita tetap berjuang agar kebijakan pemerintah pusat tetap berpihak kepada petani,” tutupnya.(ris)
No Comments