Mataram (Global FM Lombok)- Gubernur NTB Dr. H Zulkieflimansyah melontarkan gagasan perlunya ada program pemberangkatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) bersama keluarga. Artinya tidak sendiri-sendiri seperti yang berlangsung saat ini. Wacana ini dimunculkan untuk mencegah persoalan sosial dalam keluarga yang sering timbul akibat pemberangkatan PMI ini.
Terhadap wacana ini, DPRD Provinsi NTB memberikan penilaiannya. Wakil Ketua DPRD NTB Yek Agil mengatakan, PMI Keluarga merupakan gagasan yang bagus dan cukup realistis dilaksanakan. Sebab pola inilah yang dinilai lebih produktif dan lebih bisa menunjukkan kesejahteraan dan ketahanan keluarga.
“Apa yang menjadi ide gubernur itu menjadi cara yang lebih produktif dan akan lebih bisa memastikan kesejahteraan dan ketahanan keluarga di masyarakat di NTB,” kata Yek Agil kepada wartawan kemarin.
Namun demikian, gagasan ini perlu didetilkan lebih lanjut terkait, terutama dengan regulasi yang berlaku di luar negeri. Pembahasan ini bisa dilakukan di lintas sektor, dengan harapan bahwa wacana ini bisa mendapatkan persetujuan di negara penempatan. Dengan demikian, NTB bisa menjadi pioner PMI keluarga ini.
“Kalau regulasi di negara tujuan kan berbeda-beda, namun sepengetahuan saya, ini bisa dibicarakan secara bilateral. Sebab negara Indonesia ini merupakan sumber tenaga kerja yang mayoritas di Malaysia. Jika kita memiliki bargaining position yang bagus, ini kan bisa menjadi item perjanjian kerja antara Indonesia dan Malaysia,” katanya.
Sementara itu, Dirut PT. Cipta Rizki Utama salah satu Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) asal NTB, H Edy Sofyan mengatakan keinginan dari Gubernur tersebut terlebih dahulu harus dikaji matang-matang. Pasalnya banyak hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan jika ingin memberlakukan syarat pengiriman PMI dari NTB harus dengan mengikutkan keluarga seperti anak dan istrinya.
“Apa yang disampaikan oleh bapak Gubernur tentang PMI kita yang ke Malaysia harus membawa keluarga anak dan istri, dalam pandangan saya banyak hal yang harus dipikirkan sebelum mengambil keputusan seperti itu,” ucap Edy.
Pertama tekait dengan regulasi di negara Malaysia sendiri yang tidak mengizinkan pekerjaan asing masuk membawa keluarganya. Sehingga keinginan Gubernur tersebut menurut Edy sangat sulit dilakukan.
“Majikan itu pasti tidak akan mendapatkan izin dari pemerintah, jangankan membawa anak dan istri, izin mendapatkan pekerjaan laki-laki pun tidak mudah. Malaysia ini ada aturannya, sehingga keinginan Gubernur itu tidak mungkin, tidak dibenarkan oleh undang-undang di Malaysia,” jelasnya.
Alasan lainnya yakni tekait dengan situasi dan kondisi tempat bekerja para PMI asal NTB yang sebagian besar di perkebunan sawit, yang menurutnya tidak cocok bagi anak-anak dan wanita untuk berada di sana.
Adapun tekait dengan problem sosial seperti kasus tinggi angka perceraian, perselingkuhan dan penelantaran anak akibat suami meninggalkan keluarganya bekerja sebagai PMI, menurut Edy hal itu tidak sepenuhnya dapat disimpulkan demikian.
“Saya mau katakan bahwa anak dan istri yang terlantar oleh suami yang bekerja jadi PMI itu, saya pastikan mereka adalah orang berangkat secara ilegal. Karena kalau mereka ilegal, mereka tidak bisa kirim uang untuk keluarga, nah ini yang ditinggal istrinya karena tidak kirim uang. Tapi kalau yang berangkat jalur legal, suaminya tetap ngirim uang buat keluarga, tidak ada alasan anak istri akan ditelantarkan,” jelasnya.
Terkait dengan hal ini, Kamis (23/2) kemarin telah digelar Rapat Koordinasi (Rakor) untuk membahas secara teknis usulan Gubernur NTB terkait PMI Keluarga ini. Rakor ini dihadiri oleh BP3MI NTB, Mangiring Sinaga dan 25 Direktur P3MI penempatan Malaysia se-NTB.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB I Gede Putu Aryadi menyampaikan bahwa pihaknya sempat berkoordinasi dan telah berkonsultasi dengan Dirjen Binapenta dan PKK, Drs. Suhartono, MM dan Direktur Penempatan Luar Negeri, Rendra Setiawan pada Rakornas Ketenagakerjaan di Jakarta, Selasa (21/2) lalu.
Pada saat itu, Dirjen Binapenta dan Direktur Penempatan Luar Negeri menjelaskan penempatan PMI di negara penempatan harus mempedomani UU. No.18 Tahun 2017 dan secara teknis diatur dalam MoU antar Negara. Rendra menyebut dalam MoU penempatan pekerja sektor ladang sawit dan sektor domistik antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia, sampai saat ini belum memungkinkan PMI membawa keluarganya. Hal ini karena menyangkut berbagai aspek yang perlu menjadi kesepakatan kedua negara, dan kebijakan ini sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah.
“Sedangkan pemerintah daerah diminta tetap mengikuti regulasi yang ada saat ini, sambil menyampaikan kajian teknis sebagai bahan masukan bagi pemerintah untuk melakukan kesepakatan dengan negara penempatan apakah, usulan PMI sektor ladang sawit membawa keluarganya bisa diwujudkan,” kata Gede saat menyampaika pandangan Direktur Penempatan Luar Negeri, Rendra Setiawan .
Menurut Dirjen Binapenta dan PKK Kemenaker Suhartono, memang saat ini ada job-job tertentu yang bisa membawa serta keluarganya, tetapi untuk sektor perladangan belum bisa. Karenanya, Disnakertrans NTB diminta untuk melakukan kajian secara teknis, sebagaimana ditegaskan Menteri Ketenagakerjaan, Dr. Hj. Ida Fauziyah yang menyebut ide yang disampaikan Gubernur merupakan hal baik yang perlu dikaji secara teknis dan koordinasi dengan stakeholder terkait, termasuk perusahaan Malaysia.(ris)
No Comments