Dampak Kenaikan Harga Rokok, Kemiskinan di NTB Diprediksi Meningkat

Global FM
3 Jan 2020 11:22
3 minutes reading
H. Ridwan Syah (Global FM Lombok/ist)

Mataram (Global FM Lombok) – Kenaikan harga rokok mulai 1 Januari lalu diprediksi akan berpengaruh terhadap angka kemiskinan di NTB. Dampak kenaikan harga rokok diprediksi mempengaruhi peningkatan angka kemiskinan di NTB. Pasalnya, rokok merupakan komoditi makanan pembentuk garis kemiskinan terbesar kedua di NTB setelah beras.

‘’Benar bahwa kebijakan ini bisa berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan. Kita bisa lihat nanti di hasil rilis BPS pada Maret atau September nanti,’’ ujar Asisten II Perekonomian dan Pembangunan Setda NTB, Ir. H. Ridwan Syah, MM, M.TP dikonfirmasi Global FM Lombok, Kamis, 2 Januari 2020 sore.

Pemerintah resmi menaikkan harga rokok seiring penetapan kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35 persen. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2019 tentang tarif cukai hasil tembakau, keputusan tersebut mulai berlaku pada 1 Januari 2020.

Kenaikan tarif cukai rokok terbesar ada pada jenis rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 29,96 persen.  Untuk cukai rokok jenis Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) naik sebesar 25,42 persen, Sigaret Kretek Mesin (SKM) 23,49 persen dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) 12,84 persen.

Baca Juga : Himbauan Larangan Merokok Banyak Tidak Dipatuhi Para Pengunjung RSUD Kota Mataram

Menurut Ridwan, kebijakan tersebut cukup dilematis. Pasalnya, jika dilihat, rata-rata para perokok berasal dari kalangan kelas menengah ke bawah. Dimana, mereka akan menjadi lebih miskin karena  mengeluarkan budget yang tinggi untuk membeli rokok.

‘’Bahwa rokok adalah salah satu inverior good. Artinya, berapapun harganya orang akan membeli,’’ katanya.

Perokok hanya bisa mengurangi konsumsi rokoknya dengan semakin mapan kondisi keuangan. Apabila kondisi keuangan sudah mapan, maka semakin meningkat pula kesadaran untuk hidup sehat dan tidak merokok.

Namun, kata Ridwan berdasarkan beberapa pengalaman di lapangan bisa saja masyarakat yang menjadi perokok akan menyesuaikan dengan cara mengurangi konsumsi rokok. Atau tetap merokok tetapi menggantinya  dengan jenis rokok yang lebih murah atau melinting sendiri rokoknya.

Terpisah, Kepala Bappeda NTB, Ir. Wedha Magma Ardhi, M.TP yang dikonfirmasi Global FM Lombok, Kamis, 2 Januari 2020 sore kemarin mengatakan apabila konsumsi rokok tidak turun, maka bisa jadi akan menyebabkan bertambahnya masyarakat miskin. Namun, Ardhi mengatakan belum memiliki informasi soal prilaku perokok jika harga rokok naik. ‘’Yang repot, kalau inflasi naik akibat harga rokok naik,’’ katanya.

Berdasarkan data Pemprov, jumlah masyarakat miskin di NTB pada Maret 2019 sebanyak 735.960 jiwa. Rokok kretek filter menjadi penyumbang terbesar kedua pembentuk garis kemiskinan makanan setelah komoditi beras. Sedangkan sektor perumahan menjadi penyumbang terbesar pembentuk garis kemiskinan non makanan.

Kontribusi rokok pembentuk garis kemiskinan di pedesaan sebesar 8,83 persen. Sedangkan di perkotaan kontribusinya sebesar 11,95 persen. Sementara beras, kontribusinya sebagai pembentuk garis kemiskinan di pedesaan sebesar 27,65 persen dan perkotaan sebesar 21,41 persen. (nas)

1 Comment

Leave a Reply