Catatan Penegakan Hukum 2019, Tanpa Terobosan, Kejutan Hanya di Level Kejari dan Polres

Global FM
30 Dec 2019 12:39
7 minutes reading
Kadispar Lobar, Ispan Junaidi usai ditahan jajaran Kejari Mataram. Tim Jaksa menyita uang Rp 95 juta dari tangan Ispan, diduga fee dari tiga proyek destinasi wisata di Lobar. (Global FM Lombok/ist)

Mataram (Global FM Lombok) – Setahun proses penegakan hukum di Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB dan Kepolisian Daerah (Polda) NTB dilalui tanpa terobosan. Dua institusi ini berkutat mengani kasus relatif kecil dan menyelesaikan tunggakan lama. Kejutan justru ada di tingkat Kejari dan Polres.


Catatan penanganan kasus korupsi di Pidsus Kejati NTB, setahun terakhir ada empat kasus ditangani. Dari empat kasus itu, hanya satu yang baru menetapkan tersangka. Kasus pertama yang ditangani, terkait robohnya Dam Kadi Mbodo di Kelurahan Kodo Kecamatan Rasanae Timur.

Ditangani sejak Januari 2019, namun dihentikan karena dianggap tidak cukup bukti. Kasus kedua, terkait dugaan korupsi penyertaan modal pemerintah daerah Lombok Barat pada PT. Tripat tahun 2013. Kasus ini menetapkan Direktur PT. Tripat AS sebagai tersangka.

Namun, untuk kasus “kakap” soal agunan lahan Lombok City Center (LCC) oleh PT. Bliss senilai Rp 95 miliar tak dilanjutkan.
Kasus ketiga, dugaan tindak pidana korupsi pada pengadaan lahan relokasi korban banjir tahun 2017. Kasus ini mulai ditangani Mei 2019, sudah naik tahap penyidikan namun belum menetapkan tersangka.

Kasus keempat, dugaan penyimpangan pada pembangunan Masjid Terapung Kota Bima tahun 2016. Ditangani sejak Juni 2019, namun statusnya masih menggantung.

Selama dipimpin Kajati NTB, Arif, SH.,MH, belum ada terobosan penanganan kasus atau kejutan menyeret tersangka dengan kerugian negara besar. Malahan, sejumlah kasus kini menjadi tunggakan.

Sementara, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda NTB dengan kewenangan yang sama, kualitas penanganan perkara juga serupa. Tahun 2018 lalu, menyelesaikan penyidikan empat kasus korupsi dari total target tujuh kasus. Tahun 2019, dari target Sembilan kasus, ditangani lima kasus baru.

Namun dalam prosesnya, Ditreskrimsus disibukkan dengan penyelidikan dan penyidikan tunggakan kasus dan penyelidikan kasus baru dengan nilai relative kecil. Seperti, dugaan penyimpangan pembangunan gedung MAN Insan Cendekia Lombok Timur.

Dalam kasus itu ditetapkan tiga tersangka, yakni PPK proyek, YS mantan pejabat perencana Kemenag Lombok Timur; dan tersangka pihak rekanan, pasangan suami istri, Direktris PT EM berinisial RB dan Komisaris, WK. Kerugian Negara kasus itu mencapai Rp700 juta.

Selain itu, kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesenian marching band pada SMA/SMK tahun 2017 pada Dinas Dikbud Provinsi NTB. Penyidik menjerat Kasi Kelembagaan dan Sarpras Bidang Pembinaan SMA berinisial MI, dan Direktur CV Embun Emas, LB sebagai tersangka.

Pengadaan alat marching band anggarannya bersumber dari APBD NTB tahun 2017 yang total nilainya Rp2,7 miliar. Kasus ini menjadi tarik ulur antara penyidik dengan JPU yang tak kunjung menerima berkas untuk diproses P21.
Kasus lainnya, dugaan korupsi pengelolaan DD/ADD Sukamulia, Labangka, Sumbawa tahun 2016. Kerugian Negara dari total anggara sebesar Rp1,1 miliar itu mencapai Rp600 juta. Kades Sukamulia, berinisial AZ ditetapkan sebagai tersangka.

Terakhir, kasus yang tinggal menunggu pelimpahan tahap dua yakni dugaan korupsi pengadaan sampan fiberglass kabupaten bima tahun 2012, dengan tersangka berinisial TR. Kerugian negaranya mencapai 159,8 juta. TR menjadi tersangka ketika menjabat di Dinas PU Kabupaten Bima menjadi Kabid Bina Marga. Kini dia menjabat sebagai pelaksana tugas Kepala BPBD Kabupaten Bima.


Catatan Global FM Lombok lainnya, kasus baru yang ditangani, terkait pembangunan dermaga apung Gili Air Lombok Utara tahun 2017 yang masih di tahap penyelidikan, kasus sandang pangan Lombok Timur tahun 2014, serta pengadaan buku madrasah tahun 2018. Namun kasus buku menyeret pihak Kementerian Agama NTB dihentikan.
Kejutan justru datang dari level Kejari dan Polres. Dua institusi menghentak dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT), tradisi penegakan hukum yang hanya mampu dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kejari Mataram saat dijabat Kajari I Ketut Sumedana, SH, MH mengawali kejutan dengan OTT oknum anggota DPRD Kota Mataram H. Muhir. Muhir ditangkap September 2018 lalu dengan barang bukti uang Rp 30 juta, hasil pemerasan Kepala Dikbud Kota Mataram terkait dana rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan sekolah pascagempa. Uang Rp 30 juta itu, fee dari proyek dengan total nilai Rp4,2 miliar.

Masih terkait dana gempa, Polres Mataram memberi kejutan dengan OTT pegawai Kementerian Agama NTB, H. Silmi. Oknum memeras pengurus masjid penerima bantuan dengan meminta fee, sehingga terkumpul Rp 50 juta.

Tersangka lain yang diseret adalah Kasi Ortala dan Kepegawaian Bagian Tata Usaha Kanwil Kemenag NTB, H Silmi, Kasubbag TU Kemenag Lobar, Muhamad Ikbaludin, dan Staf KUA Gunungsari, Lalu Basuki Rahman

Polres Mataram semakin menghentak ketika menangkap tangan Bulera, Kepala Satuan Kerja Non Vertikal tertentu (SNVT) Penyediaan Perumahan, Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Wilayah NTB. Instansi yang nyaris tak pernah disentuh proses pidana di NTB.

Bulera ditangkap setelah memeras kontraktor senilai Rp100 juta, terkait pengerjaan tujuh proyek Rusun pada tahun 2019 dengan nilai total Rp21 miliar.

Tak  berhenti sampai disitu. Sat Reskrim Polres Mataram kembali melakukan OTT,kali ini bendahara kelompok masyarakat (Pokmas) yang menilep dana gempa senilai Rp 700 juta.

Jelang akhir tahun, Kejari Mataram yang baru hitungan pekan dipimpin Yusuf, SH, membuat gebrakan dengan menangkap Kadispar Lobar Ispan Junaidi. Tim Jaksa menyita uang Rp 95 juta dari tangan Ispan, diduga fee dari tiga proyek destinasi wisata di Lobar. Saat ini perkaranya sedang dalam proses persidangan di PN Tipikor  Mataram.

Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) NTB menilai, belum ada gebrakan saat kepemimpinan Kajati NTB Arif dalam penanganan kasus korupsi, termasuk yang sedang berlangsung di Polda NTB di bawah kepimpinan Direskrimsus Kombes Pol. Syamsudin Baharuddin.


“Berbicara dalam konteks prestasi, tidak ada yang menonjol dalam penanganan permasalahan korupsi. Masih banyak kasus yang menjadi perhatian masyarakat, sangat jelas siapa calon tersangka, tetapi tidak ada tindak lanjut,” sorot Ketua MAKI NTB, Heru Prasetyo dihubungi Kamis (19/12) kemarin.
Dia mencontohkan di Kejati NTB, seluruh kasus itu ditangani saat Aspidsus dijabat Ery Ariansyah Harapan, SH. Rata rata penanganan kasus lebih banyak ngambang, tidak menjerat ke pelaku utama, terlebih alih alih kasus yang ditangani lebih berbobot.

Seperti kasus LCC, menurutnya di luar ekspektasi, karena yang disentuh hanya soal penyertaan modal. Sedangkan untuk masalah lahan yang diagunkan dan merugikan daerah tak disentuh.

Namun masih ada harapan. Kajati NTB yang baru, Nanang Sigit Yulianto, SH.,MH diharapkan lebih menggedor, utamanya kasus kasus kakap yang tak muncul ke permukaan.
Secara khusus ia berharap ada atensi dari Kapolda NTB pada level kinerja Ditreskrimsus dan Kajati NTB untuk kinerja Aspidsus.

Bagaimana melakukan evaluasi kinerja seluruh jajarannya. Utamanya, menilai serta mengevaluasi kinerja Aspidsus dan Direskrimsus.

Jika tidak mampu menghasilkan kinerja lebih baik dari sebelumnya, Kajati dan Kapolda diharapkan mampu melakukan evaluasi dan rotasi.

Kualitas Kasus Korupsi

Dari segi bobot perkara, penanganan kasus korupsi di NTB tahun 2019 semakin berkualitas. “Dari sisi kualitas perkara, lebih berkualitas tahun ini,” kata juru bicara Pengadilan Tipikor Mataram, Fathur Rauzi, SH.,MH, Rabu, 11 Desember 2019.

Penilaian soal peningkatan kualitas kasus itu, berdasarkan berkas yang disodorkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), khususnya terkait penanganan proyek. Dalam kasus korupsi proyek fisik, Aparat Penegak Hukum (APH) rata rata menyeret Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

“Bobot perkaranya lebih meningkat. Orang orang yang paling berperan dalam kasus itu yang dicomot sekarang. Ini yang membuat perkaranya berlualitas,” ujarnya. Terlebih dari segi jabatan, PPK rata dijabat pejabat structural dan KPA adalah kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

Sementara tahun ini semakin berkualitas, karena beberapa diantaranya merupakan hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT). Seperti kasus korupsi dana gempa melibatkan mantan Anggota DPRD Kota Mataram, Muhir, oknum pegawai Kemenag Silmi.

Dari dua kasus ini, pihaknya menyidangkan empat berkas. Dua kasus OTT lainnya dari Lombok Barat dan Lombok Tengah sedang dalam proses di Polisi dan belum dilimpahkan. Termasuk yang sedang disidangkan mantan Kepala Dinas Pariwisata Lobar, Ispan Junaidi yang terjaring OTT. (ars)

No Comments

Leave a Reply