Pemerintah daerah didorong untuk tetap melakukan upaya yang sistematis guna meningkatkan produksi kedelai lokal dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar. Harga kedelai yang kembali naik beberapa bulan terakhir harus disikapi oleh pemerintah daerah agar tidak berdampak buruk bagi usaha perajin tahu tempe di daerah ini.
Hal itu disampaikan ekonom Universitas Mataram [Unram] Dr. Iwan Harsono, M.Ec kepada Ekbis NTB menanggapi naiknya harga kedelai yang menjadi bahan baku utama produksi tahu tempe. Naiknya harga kedelai yang merepotkan perajin tahu tempe tidak terjadi kali ini saja, namun sering kali terjadi. Karena itulah pemerintah sebaiknya memiliki sistem perencanaan untuk menstabilkan harga kedelai di pasaran.
“Ini kan peristiwa yang terus terulang. Pemerintah itu punya segenap perangkat personal baik APBD dan APBN unuk mengantisipasi hal itu. Harus ada rencana berdasarkan pengalaman di tahun –tahun sebelumnya,” ujarnya.
Menurutnya, para penyuluh pertanian yang berada di lapangan tentu mengetahui realitas produksi pertanian yang dilakukan oleh masyarakat. Saat penanaman kedelai berkurang, peran pemerintah untuk mendorong peningkatan produktifitasnya agar tidak menimbulkan gejolak harga kedepannya.
“Jadi bagaimana hal-hal seperti ini bisa diantisipasi karena para menyuluh pertanian mengetahui semua terkait dengan permasalahan ini. Pemerintah harus menyelesaikan ini dalam jangka panjang. Pertama pemerintah harus meningkatkan produksi, karena produksi kadang-kadang cukup kadang tidak ”, katanya.
Menurutnya, perlunya pemerintah segera turun tangan untuk menstabilkan harga kedelai agar tidak mempengaruhi usaha ekonomi masyarakat. Karena esensi dari pembangunan itu kata Iwan adalah memproteksi dan meningkatkan pendapatan masyarakat yang berpendapatan rendah termasuk didalamnya petani dan perajin tahu tempe untuk keluar dari zona kemiskinan.
“Saya sebagai ekonom yang menjunjung tinggi pengentasan kemiskinan dan pengangguran menyarankan pemerintah harus turun tangan, karena jika sampai mereka gulung tikar, ini akan menambah jumlah kemiskinan dan pengangguran,” ujarnya.
Ada beberapa pola yang bisa dilakukan untuk meningkatkan minat petani dalam memproduksi kedelai lokal, salah satunya dengan cara memberikan insentif dan pendampingan secara berkelanjutan. “Dalam jangka panjang perlu ada peningkatan produksi, salah satunya melalui pemberian insentif produksi, pemberian bibit secara gratis, harga yang memadai agar tidak merugi, dan pendampingan,” tambahnya.
Pola itu mungkin saja sudah dilakukan, namun jika melihat data produktifitas kedelai dalam daerah yang seringkali tidak memenuhi target, sudah seharusnya pemerintah daerah mengevaluasi programnya.
Untuk meningkatkan produktifitas kedelai, memungkinkan pemerintah daerah menambah areal penanaman. Atau bisa juga dengan mengatur pola tanam antara penanaman padi dan jagung, kacang-kacangan termasuk kedelai ini. “Biasanya dua kali padi dan satu kali kedelai atau jagung. Terlepas bagaimanapun caranya harus ada upaya yang sistematis untuk meningkatkan produksi, jangan sampai tergantung pada kedelai impor,”kata Iwan.
Berdasarkan dari data di Dinas Pertanian Provinsi NTB, target produksi kedelai lebih sering meleset. Misalnya pada tahun 2012 ditargetkan sebanyak 135 ribu ton, yang terealisasi sebanyak 74.156 ton atau 84 persen. Pada tahun 2013 target produksi kadelai sebesar 137.158 ton, namun yang terealisasi sebanyak 91 ribu ton atau 84 persen. Pada tahun 2014 ditargetkan sebanyak 135.765 ton, yang terealisasi 97.172 ton.
Di tahun 2015 sempat melebihi target produksi yaitu targetnya 123.126 ton dengan realisasi sebanyak 125 ribu ton lebih atau 128 persen. Namun di tahun 2016 produktifitas kedelai kembali tidak memenuhi target yaitu 158.044 ton, namun angka sementara yang terealisasi sebesar 109.480 atau 87,56 persen. Sementara di tahun 2017 ini produksi kedelai ditarget sebanyak 134.754 ton.[ris]
No Comments