Mataram (Global FM Lombok)- Masih terus tingginya harga cabai di pasaran sejak tahun 2016 lalu mengundang pertanyaan dari sebagian kalangan. DPRD NTB menduga ada campur tangan kartel dalam bisnis cabai sehingga harganya tidak kunjung normal.
Anggota komisi II Bidang Pertanian dan Perdagangan DPRD NTB Raihan Anwar, SE, M.Si kepada Global FM Lombok mengatakan, kenaikan harga cabai di NTB yang pernah menyentuh angka Rp 200 ribu per Kg seperti anomali karena tidak lazim. Walaupun stok cabai dalam negeri kurang dari kebutuhan pasar, namun mestinya tidak semahal itu sehingga patut diduga dalam tata niaga cabai itu ada masalah.
“Mungkin ada keterlibatan kartel atau oligopoli dari beberapa pemain yang mengendalikan tata niaga cabai ini. Disini diperlukan keseriusan pemerintah terkait untuk memberantas kartrel ini karena sangat merugikan masyarakat, khususnya di NTB tidak boleh terjadi karena akan menghambat kegiatan ekonomi maupun pertumbuhan ekonomi kita,” kata Raihan.
Menurutnya, jika harga cabai tidak terkendali maka akan menyumbang inflasi yang sangat tinggi. Tidak tertutup kemungkinan kondisi ini akan berdampak pada kebutuhan pokok yang lainnya.
Terkait dengan dugaan kartel dalam bisnis cabai, pemerintah dituntut untuk mengontrol rantai dagang karena kartel juga tidak hanya di tingkat distributor, namun dari barang yang didistribusi dari petani ke pengepul juga ada dugaan parktek kartel tersebut dijalankan dengan sistematis.
“ Sehingga pemerintah disamping melakukan pengawasan, menertibkan langsung ke pasar, juga harus memutus rantai perdagangan itu tadi. Ratai dagang yang tidak sehat yang mempermainkan harga itu harus diputus apakah pengepul ke distributor atau distributor ke pedagang besar atau pasar induk,” tambahnya.
Menurutnya, persoalan harga cabai sudah sangat lama karena berlangsung sejak tahun 2016. Untuk itu diperlukan keseriusan pemerintah terutama Menteri Perdagangan termasuk struktur pemerintah daerah. Karena harga cabai yang tinggi ini tidak saja terjadi di Provinsi NTB, namun terjadi secara nasional.
Namun disisi lain, harga cabai yang tinggi ini setidaknya memberi dampak kepada para petani. Jika cabai dibeli dengan harga 100 ribu per Kg di tingkat petani, maka kesejahteraan petani cabai juga akan terdongkrak. Namun demikian, pengendalian harga cabai ini harus tetap dilakukan agar konsumen secara umum serta para petani juga tetap sejahtera.
Politisi Nasdem ini juga pesimis dengan program pemanfaatan pekarangan untuk menanam cabai bisa mengurangi harga cabai di dalam daerah. Jika progam tersebut memang benar diterapkan, dampaknya cukup kecil untuk menstabilkan harga, karena konsumen cabai yang terbesar tidak datang dari kebutuhan rumah tangga melainkan untuk kebutuhan industri, restoran hingga industri makanan berskala besar.
“Langkah populis jangka pendek seperti itu tidak terencana dengan baik, bukan langkah yang sangat mendasar. Pekarangan untuk menanam cabai juga sangat sempit atau hampir tidak ada terutama di perumahan perkotaan,” katanya.
Karena itu salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk menstabilkan harga cabai, selain memutus mata rantai kartel, juga penanaman cabai di areal yang cukup luas. Penanaman cabai di areal ratusan hektar diperkirakan akan mampu mengatasi tingginya harga cabai ini.
“Petani diarahkan untuk menanam cabai, targetnya harus seratusan hektar, itu baru berdampak. Tapi kalau hanya di pekarangan rumah, petik dua tiga biji tidak bisa. Perkara cabai ini bukan hanya konsumsi kecil-kecilan untuk rumah tangga, namun ini kebutuhan dari skala warung kecil, restoran hingga industri makanan,” katanya.
Ia meminta agar Dinas Pertanian Provinsi NTB melakukan pemetaan terhadap lahan-lahan yang masih luas di Lombok dan Sumbawa untuk penanaman cabai skala yang lebih besar.” Cabai itu nantinya untuk memenuhi kebutuhan dalam daerah kita, pastilah harga cabai bisa dikendalikan. Diatur juga pola tanamnya, jangan serentak karena daya tahan cabai itu sebentar,” sarannya.[ris]
No Comments