Mataram (Global FM Lombok) – Pengadaan mobil dinas (mobdis) di Sekretariat Dewan Provinsi NTB semakin mendapat sorotan luas. Alokasi yang dicurigai tidak masuk dalam renstra senilai Rp 2,6 miliar itu, diingatkan soal potensi pidana. Peringatan juga pada renovasi rumah dinas (Rumdis) senilai Rp 4 Miliar.
Peneliti hukum Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB Johan Rahmatullah, SH.,MH mengingatkan, apapun yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa, harus dilaksanakan sesuai dengan regulasi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 16 tahun 2018. Harus sesuai juga dengan peraturan peraturan LKPP. “Jika ikut regulasi, sudah barang tentu kegiatan tersebut akan on the track tanpa ada masalah dan kecurigaan publik,” ujarnya.
Namun jika tidak sesuai dengan perencanaan yang sudah ditetapkan, maka potensi-potensi ke arah pelanggaran hukum bisa terjadi. Apalagi jika tidak sesuai dengan kebutuhan.
“Sebab dalam sistem pengadaan barang dan jasa yang paling penting itu adalah adanya analisis kebutuhan. Analisis kebutuhan ini tentu saja harus objektif. Bukan analisis kebutuhan secara subyektif semata,” ujarnya.
Terkait pengadaan Mobdis dan renovasi rumah, saran dia, Pimpinan Dewan atau pun Setwan DPRD NTB harus mendengar aspirasi masyarakat.
Baca Juga : Warga Pondok Perasi Titip Salam ke DPRD NTB
“Artinya, Setwan maupun Dewan harus mengedepankan hasil kajian-kajian yang komprehensif dalam menginginkan sesuatu yang baru untuk dianggarkan. Berkaitan dengan renovasi rumah pimpinan DPRD yang dialokasikan mencapai Rp 4 miliar itu. Jika ada nasehat dari masyarakat, harus didengar,” ujarnya mengingatkan.
Forum Transparansi Anggaran (Fitra) NTB mencatat, pengadaan mobil jabatan senilai Rp 2,6 miliar dan mobil dinas Rp 4 miliar pada Sekretariat Daerah agar dibatalkan. Sebab tidak sesuai dengan prioritas daerah. “Sebaiknya anggaran ini dialokasikan untuk membiayai program prioritas daerah, seperti rehab-rekon pasca gempa,” kata Sekjen Fitra NTB Ramli Ernanda.
Reaksi masyarakat atas munculnya anggaran untuk hal tidak prioritas ini sudah dikhawatirkan sejak awal oleh Fitra NTB. Ini akibat minimnya ruang partisipasi publik saat pembahasan RAPBD, sehingga peluang sekongkol antara eksekutif dan legislatif dalam gol kan anggaran menjadi berpeluang besar.
“Saya pikir ini salah satu deal mereka (eksekutif dan legislative). Seandainya ada ruang partisipasi masyarakat, rencana rencana pemborosan seperti ini bisa kita tekan sejak awal,” tegas Ramli. (ars)
No Comments