Mataram (globalfmlombok.com) – Porsi belanja pegawai di lingkup Pemprov NTB jauh lebih tinggi daripada belanja barang dan jasa. Tingginya porsi belanja yang mencapai 33 persen lebih itu mendapat sorotan Komisi Pembentukan Korupsi (KPK).
Menurut KPK, jomplangnya jumlah antara belanja pegawai dan belanja barang dan jasa menyebabkan pembangunan infrastruktur mandek. Karena anggaran lebih banyak disalurkan ke belanja pegawai.
Menanggapi hal itu, Pemprov NTB melalui Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) NTB, Dr.H.Nursalim menjelaskan alasan porsi belanja pegawai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terlihat lebih besar daripada komponen belanja lainnya.
Menurutnya, komponen belanja pegawai tidak hanya mencakup gaji. Tetapi juga tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) dan jasa pelayanan (jaspel) rumah sakit. Kombinasi inilah yang membuat total belanja pegawai tercatat sekitar 32 persen dari APBD.
“Kalau pendapatan daerah mengalami penurunan, baik dari dana transfer maupun sumber lain. Otomatis persentase belanja pegawai tampak naik. Bukan karena pegawai bertambah. Tapi karena itu pembentuk persentase dari total APBD. Kalau APBD turun, persentase belanja pegawai terlihat lebih tinggi,” jelasnya.
Akan Terkoreksi pada 2026
Namun, Pemprov memastikan tren tersebut akan terkoreksi pada 2026 mendatang. Hal ini menyusul surat dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menetapkan komponen jaspel rumah sakit dikeluarkan dari pos belanja pegawai. “Dengan keluarnya jaspel, InsyaAllah di tahun 2026 persentase belanja pegawai bisa turun,” tambahnya.
Sebaliknya, belanja barang dan jasa di semester pertama masih kecil karena beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim), dan Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) belum menyelesaikan kontrak.
“Kalau Perkim, PU, Distanbun dan OPD rumpun hijau ini bergerak, maka realisasi belanja ini akan naik,” kata Mantan Kepala Biro Organisasi Setda NTB itu.
Di samping itu, Nursalim memastikan rendahnya realisasi belanja barang dan jasa di semester satu tidak ada kaitannya dengan rencana perubahan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) di Pemprov NTB. Pemprov, lanjutnya sudah memastikan SOTK akan berlangsung di APBD murni tahun 2026.
“Pak Gubernur sudah memutuskan SOTK baru berlaku 2026. Karena sekarang waktu tinggal empat bulan, fokus kita masih konsolidasi realisasi belanja dan aset,” ujarnya.
“Aset-aset yang ada akan dilakukan appraisal, setelah itu disewakan untuk menambah pendapatan daerah. Ini memang butuh terobosan, tapi tetap on the track sesuai regulasi,” terangnya.
Porsi Belanja Pegawai di NTB Melebihi Nasional
Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) NTB, Drs.Tri Budiprayitno, M.Si., menjelaskan, saat ini NTB tengah dilanda kelebihan pegawai. Kondisi ini menyebabkan bengkaknya beban belanja pegawai hingga terancam mendapat sanksi dari Pemerintah Pusat.
Dalam waktu kurang dari dua tahun, Pemprov NTB harus bisa mengendalikan beban belanja pegawai. Jika tidak, siap-siap pemerintah pusat akan mengenakan sanksi ke daerah.
Porsi belanja aparatur di APBD Pemprov NTB tercatat mencapai 33,82 persen, atau sekitar Rp200 miliar lebih tinggi dari ambang batas maksimal dari pemerintah pusat, yakni 30 persen. Dari data yang ada, total pegawai di lingkup Pemprov NTB mencakup PNS, PPPK, dan tenaga non ASN mencapai sekitar 30 ribu orang.
Sementara di kabupaten/kota, jumlahnya jauh lebih besar, yakni 82 ribu pegawai, sehingga total se-NTB mencapai 112 ribu aparatur. Angka ini menyedot belanja daerah hingga miliaran rupiah setiap bulannya.
“Makanya informasinya, kalau tahun 2027 nanti belanja aparatur masih di atas 30 persen, kita bisa kena sanksi. Saya belum tahu bentuk sanksinya, tapi biasanya berkaitan dengan finansial,” ungkap Kepala BKD NTB tersebut.
Guna menekan beban keuangan, Pemprov NTB kini sedang melakukan efisiensi dan rasionalisasi perangkat daerah berupa pemangkasan jabatan, penataan ulang struktur organisasi, hingga peninjauan fasilitas-fasilitas pejabat.
Pemprov, lanjut Tri telah berhasil menekan sekitar Rp100 miliar. Sisa R100 miliar agar sesuai dengan regulasi pusat. (era)