PEMPROV NTB mengusulkan 79 blok tambang menjadi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Ke 79 blok itu tersebar di seluruh wilayah NTB, di Lombok Barat, Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, dan Kabupaten Bima.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) NTB, Samsudin mengatakan, usulan 79 blok itu sesuai dengan yang diajukan kabupaten/kota. Selanjutnya Pemprov NTB melakukan rekonsiliasi untuk diusulkan ke pemerintah pusat.
“Kemarin di-update ulang dan kami lakukan rekonsiliasi. Memang ada rencana untuk menjadi WPR. Cuma itu kan tergantung kesepakatan antara Kementrian SDM dengan DPR RI,’’ ujarnya, Rabu, 29 Oktober 2025.
Menurutnya, pengelolaan tambang harus berorientasi pada keberlanjutan lingkungan. Ia menilai, kegiatan tambang yang baik bukan hanya memberi manfaat ekonomi, tetapi juga menjaga kelestarian alam untuk generasi mendatang.
“Tambang ini bukan hanya untuk hari ini, tapi titipan anak cucu kita. Maka percepatan dilakukan tetap dengan prinsip menjaga lingkungan,” ujarnya.
Menyinggung soal adanya desakan dari sejumlah pihak untuk melakukan moratorium izin tambang. Mantan Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) menilai perlu adanya dialog dan koordinasi sebelum mengambil kebijakan.
“Kami terbuka untuk berkomunikasi dengan semua pihak, termasuk Walhi. Prinsipnya, kami ingin tambang yang legal, teratur, dan ramah lingkungan,” pungkasnya.
NTB Miliki 16 Blok Wilayah Pertambangan Rakyat
Saat ini, pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM telah mengeluarkan izin WPR kepada 16 blok tambang di NTB. Tambang itu tersebar di beberapa daerah, seperti di Lombok Barat lima blok, Sumbawa Barat tiga blok, Sumbawa empat blok, Dompu empat blok, dan Kota Bima satu blok.
Dari 16 blok tambang aktif itu, baru satu blok yang mendapatkan izin resmi pengelolaan tambang untuk koperasi, yaitu Koperasi Solonong Bukit Lestari di Lantung, Sumbawa. Sementara sisanya masih dalam proses sinkronisasi lintas instansi. Termasuk dengan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK) untuk memastikan tidak ada tumpang tindih dengan kawasan hutan.
“Kami tidak bisa asal keluarkan izin. Semua harus match dengan data Kehutanan, rencana reklamasi, dan sistem OSS. Prinsipnya, percepatan tetap dilakukan tapi tanpa melanggar aturan,” tegasnya. (era)


