Mataram (globalfmlombok.com) – Ditreskrimsus Polda NTB mengagendakan meminta keterangan ahli pidana dan dari Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri) dalam pengusutan kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dan indikasi gratifikasi yang diduga dilakukan pejabat Pemprov NTB. Dugaan penyalahgunaan wewenang ini, terkait pemotongan Pokir 39 anggota DPRD NTB yang tak terpilih pada Pileg 2024.
Ditreskrimsus Polda NTB, Kombes Pol FX. Endriadi, Minggu (26/10/2025) mengatakan, pihaknya akan melibatkan ahli pidana dalam proses penyelidikan kasus ini. “Rencana ke depan tim akan meminta keterangan atau pendapat dari beberapa ahli (ahli pidana) dan Kemendagri,’’ jelasnya.
Permintaan keterangan Kemendagri, kata dia, mengacu pada dugaan penyalahgunaan wewenang yang terindikasi dilakukan pejabat Pemprov NTB dalam penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 2 dan 6 tahun 2025. “Karena ini produk pemerintah provinsi, rencananya Tim Penyelidik akan meminta pendapat dari Kemendagri perihal itu,” jelasnya.
Telah Meminta Keterangan Tambahan
Sebelumnya, pihak kepolisian juga telah meminta keterangan tambahan dari mantan Anggota DPRD NTB, TGH.Najamuddin Mustofa sebagai pelapor dalam perkara ini. “Kemarin tambahan klarifikasi pelapor atau pengadu,” ujar Direskrimsus.
Polisi saat ini juga telah berkoordinasi dengan dua kantor dan instansi Pemprov NTB. Juga telah meneliti 12 dokumen yang berkaitan dengan kasus yang dilaporkan mantan anggota DPRD NTB itu. Ditreskrimsus Polda NTB juga telah memeriksa sejumlah anggota Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pemprov NTB.
Sebelumnya, Najamuddin selaku pelapor mengaku telah menyerahkan sejumlah bukti kepada Polda NTB terkait perkara ini. Ia menduga sejumlah pejabat Pemprov NTB berperan dalam pengambilan uang Pokir milik 39 anggota dewan tersebut.
Ia turut menyoroti terbitnya Pergub Nomor 2 dan 6 Tahun 2025 yang dijadikan dasar hukum Pemprov NTB untuk mengeksekusi (memotong) dana Pokir hingga mencapai puluhan miliar rupiah. Padahal, menurutnya, pengelolaan keuangan daerah seharusnya berpedoman pada PP Nomor 12 Tahun 2019 dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang pedoman teknis pengelolaan keuangan daerah.
Oleh karena itu, Najamuddin menilai bahwa dugaan pemotongan dana Pokir tahun 2025 telah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum (PMH). Sebab, kedua Pergub tersebut dinilainya tidak memiliki payung hukum yang jelas.
Dalih pemotongan Pokir merupakan penerapan kebijakan efisiensi anggaran sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Namun, Najamuddin menilai ada kejanggalan. Menurutnya, kebijakan efisiensi anggaran seharusnya tidak menyasar program Pokir. Melainkan hanya berlaku untuk pos-pos seperti perjalanan dinas, biaya sewa, serta kegiatan seremonial.
Menurut dia, jika pemotongan tersebut benar-benar berdasar pada kebijakan efisiensi, semestinya seluruh 65 anggota DPRD NTB mengalami pemangkasan. Namun faktanya, hanya sebagian yang terdampak, yakni para anggota dewan yang tidak kembali terpilih pada Pileg 2024. (mit)


