Oleh: Markum
Guru Besar Universitas Mataram
Jabatan: Ketua Program Studi Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDAL),
Pascasarjana Unram dan Ketua Forum DAS dan Lingkungan Hidup NTB.
Di tengah gelombang krisis iklim global yang semakin tak terelakkan, hutan mangrove Indonesia berdiri sebagai benteng terakhir perlindungan pesisir, pengendali emisi karbon, dan penyelamat keanekaragaman hayati. Namun ironisnya, justru ekosistem vital ini terus mengalami tekanan akibat konversi lahan, pencemaran, hingga kebijakan pembangunan yang abai terhadap keberlanjutan. Sebagai negara dengan kawasan mangrove terluas di dunia, Indonesia sesungguhnya memegang peran strategis dalam menahan laju krisis iklim. Tapi pertanyaannya kini: apakah kita sedang bergerak menuju pemulihan yang berarti, atau justru perlahan menuju kerusakan ekologis yang tak terpulihkan? Hari Mangrove Sedunia menjadi momen penting untuk meninjau kembali komitmen, aksi nyata, dan arah kebijakan kita terhadap warisan alam yang tak ternilai ini.
Mangrove: Ekosistem Strategis yang Terabaikan
Indonesia adalah negara dengan hutan mangrove terluas di dunia, yaitu sekitar 3,36 juta hektar. Luasan ini setara dengan lebih dari 20 persen total mangrove dunia. Namun ironisnya, lebih dari 637 ribu hektar di antaranya dalam kondisi rusak. Di tengah semakin nyata dan ancaman krisis iklim—dengan meningkatnya abrasi, rob, dan kenaikan muka laut—mangrove seharusnya menjadi benteng alami yang dilindungi dengan segala daya. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: mangrove terus ditebang dan dialihfungsikan menjadi yang lain.
Kerusakan mangrove bukan sekadar kehilangan pepohonan pesisir. Ia berdampak sistemik dan menyentuh lapisan sosial, ekonomi, hingga ketahanan iklim. Kajian oleh Blue Forests & Wetlands International (2020) mencatat bahwa hutan mangrove mampu menyerap hingga 1.000 ton karbon per hektar, lima kali lebih besar dibandingkan hutan daratan. Tak hanya sebagai penyerap karbon (carbon sink), mangrove juga menyimpan karbon dalam lapisan sedimen hingga ratusan tahun.
Di sisi ekonomi, kawasan mangrove yang sehat menyumbang rata-rata pendapatan tambahan Rp 6–12 juta per tahun per rumah tangga nelayan dari hasil kepiting, madu, dan ekowisata. Sayangnya, banyak kawasan mangrove ditebang untuk perluasan tambak intensif, reklamasi, dan infrastruktur wisata eksklusif. Data KLHK 2022 menunjukkan bahwa 60 persen konversi mangrove menjadi tambak dilakukan tanpa izin resmi. Mangrove bukan hanya penting untuk mitigasi iklim, tetapi juga untuk adaptasi.
Pemulihan: Antara Rencana dan Realitas
Sadar akan pentingnya mangrove, pemerintah menargetkan rehabilitasi 600.000 hektar mangrove hingga tahun 2024, sebagaimana tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Mangrove. Namun, dari target tersebut, capaian baru menyentuh sekitar 140.000 hektar. Banyak program penanaman tidak berumur panjang karena tidak memperhatikan aspek teknis seperti salinitas, substrat tanah, dan arus air. Bahkan, lebih dari 30% bibit mangrove hasil rehabilitasi tidak bertahan hidup.
Kunci dari keberhasilan restorasi mangrove bukan hanya pada teknis tanam, tetapi bagaimana masyarakat lokal merasa memiliki dan terlibat dalam proses pemulihan. Pada beberapa contoh, pendekatan berbasis komunitas terbukti lebih efektif berhasil memulihkan ekosistem mangrove sambil meningkatkan ekonomi lokal.
Studi kasus di Pulau Lombok memperlihatkan bahwa perbedaan pendekatan dalam pengelolaan mangrove menghasilkan dampak yang nyata, baik terhadap kualitas ekosistem maupun aspek ekonomi masyarakat. Model pengelolaan berbasis ekowisata, seperti yang dikembangkan di kawasan Ekowisata Mangrove Tanjung Batu Sekotong (Lombok Barat) dan Bale Mangrove di Jerowaru (Lombok Timur), terbukti tidak hanya menjaga keberlanjutan habitat, tetapi juga mendorong tumbuhnya efek pengganda ekonomi melalui sektor jasa wisata, usaha mikro, kuliner pesisir, hingga edukasi lingkungan bagi generasi muda.
Kebutuhan untuk  Bertindak Â
Pemerintah perlu segera memperkuat perlindungan kawasan pesisir dalam tata ruang daerah dan nasional. Selain itu, pengakuan dan dukungan terhadap inisiatif lokal harus menjadi prioritas. Insentif fiskal, bantuan teknis, dan perlindungan hukum bagi penjaga mangrove perlu diinstitusionalisasi. Sudah saatnya negara lebih tegas dalam menertibkan ekspansi tambak, pariwisata, atau infrastruktur pesisir yang merusak mangrove.
Pembiaran terhadap alih fungsi ilegal bukan hanya bentuk kelalaian, tetapi pengabaian terhadap masa depan ekologi dan masyarakat pesisir. Tak cukup lagi sekadar imbauan, dibutuhkan penegakan hukum yang konsisten dan sanksi nyata bagi para pelanggar.
Indonesia bisa memilih: memulihkan secara menyeluruh dan berkelanjutan, dengan keberpihakan nyata kepada ekosistem dan masyarakat pesisir, atau terus membiarkan kerusakan datang perlahan. Â Â Di tengah krisis iklim yang kian mendesak, pilihan untuk bertindak bukan lagi soal komitemn, tapi soal tindakan nyata.
Hari Mangrove Sedunia mestinya tak hanya menjadi momen refleksi, tetapi juga pijakan arah pembangunan pesisir ke depan. Kita cukup memiliki sumber daya, selanjutnya yang kita butuhkan adalah keberanian memilih jalur yang berkeadilan ekologis, ditengah krisis iklim yang sedang kita hadapi.