Mataram (globalfmlombok.com) – Perkembangan iklim global yang selalu berubah setiap tahun harus mendapat atensi dari pemangku kebijakan. Pada tahun 2100 mendatang, kemungkinan terjadi kenaikan air laut tidak bisa dihindari. Hasil proyeksi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) kenaikan permukaan air laut setinggi satu meter dapat berdampak pada lebih dari 1,7 juta keluarga di Indonesia.
Wakil Gubernur NTB Hj. Indah Dhamayanti Putri menyampaikan hal itu saat peluncuran Analisis Dampak Kenaikan Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR) sebagai dasar perencanaan pembangunan berketahanan iklim di Ruang Rapat Geopark Bappeda NTB oleh Selasa (21/10/2025). Kegiatan ini merupakan kolaborasi Bappeda NTB, UN Global Pulse, dan Program Kemitraan Indonesia–Australia SKALA.
Wagub Indah Dhamayanti Putri, menegaskan pentingnya langkah ini sebagai respons terhadap ancaman nyata di lapangan. Menurutnya, dampak kenaikan muka air laut ini menjadi permasalahan yang memberi dampak sosial yang cukup besar kepada masyarakat. Khususnya dari hasil kajian yang dilakukan, yaitu Kota Mataram dan Kota Bima.
Tidak hanya itu, kenaikan muka air laut juga memperparah banjir akibat terhambatnya serapan air. Dari hasil analisis, 46 desa dari total 106 desa dengan kemiskinan ekstrem di NTB terdampak langsung oleh fenomena kenaikan muka air laut.
Perlu Langkah Strategis
Untuk itu, data hasil kajian SLR ini akan menjadi acuan penting bagi langkah-langkah strategis. Baik dalam penyusunan regulasi maupun aksi konkret di lapangan. Desa-desa yang berpotensi terdampak kenaikan air laut 1 meter ini, tegasnya, harus dijadikan prioritas utama dalam program penanganan kemiskinan ekstrem di NTB.
“46 desa dari 106 desa dengan kemiskinan ekstrem yang akan kita tangani dalam lima tahun ke depan terdampak dengan kenaikan muka air laut. Nah tentunya ini cukup mengkhawatirkan, karena hampir 50 persen dari jumlah desa yang akan kita tangani bersama. Saya berharap ada pemetaan yang lebih mendalam dari 46 desa ini. Cara itu untuk melihat sejauh mana urgensi penanganannya di sejumlah desa. Apakah masuk dalam tahun pertama pelaksanaan atau masih masuk dalam tahun-tahun selanjutnya,’’ ujar mantan Bupati Bima dua periode ini.
Pihaknya berharap kepada Bappeda agar 46 desa ini bisa menjadi skala prioritas penanganan awal dalam penanganan kemiskinan ekstrem di desa tersebut. Apalagi data awal ini menjadi kunci utama untuk pengukuran capaian indikator kinerja aparatur di lapangan.
Ia mengakui, isu perubahan iklim menjadi bagian penting dari RPJMD NTB tahun 2025-2029. RPJMD tersebut merupakan tahap pertama dari RPJPD NTB 2025–2045. Melalui visi NTB Kepulauan yang Makmur dan Mendunia, pemerintah daerah berkomitmen memperkuat ketahanan pangan, mengembangkan pariwisata berkelanjutan dan menurunkan kemiskinan dengan pendekatan berbasis data dan kolaborasi lintas sektor.
Peluncuran analisis ini juga sejalan dengan arah pembangunan daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2025–2029 tentang RPJMD Provinsi NTB. Sebagai fase penguatan fondasi transformasi menuju visi Bangkit Bersama menuju NTB Provinsi Kepulauan yang Makmur Mendunia.
Harus Ada Langkah Antisipasi
Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas Maliki mengakui, jika kenaikan air laut ini akan terjadi dan ini pasti akan terjadi. Meski kemungkinan kenaikan air laut itu akan terjadi, cepat atau lebih lambat harus diantisipasi. Denan begitu, generasi berikutnya tidak terlalu terkena dampaknya.
‘’Jadi memang pada saat ini sudah diprediksi dan sudah disimulasikan bahwa kita akan mengalami perubahan permukaan air laut 1 sampai 5 meter sampai 2100. Jadi memang masih jauh ke depan. Kita juga mungkin dalam sisa umur kita masih belum pernah merasakan bahwa air laut itu tiba-tiba berubah. Tetapi setidaknya bahwa ada dua generasi atau tiga generasi yang akan mengalami itu,’’ ungkapnya.
Untuk itu, upaya mengantisipasi dan juga pemerintah bisa mereviu kembali kebijakan-kebijakan yang ada. Sehingga bisa lebih mengantisipasi masa depan dalam mengurangi dari dampak kenaikan muka air laut.
Hal senada disampaikan Simon Flores perwakilan Pemerintah Australia yang hadir. Menurutnya, kolaborasi antara Pemerintah Australia melalui program SKALA dan UNDP Indonesia merupakan bentuk dukungan konkret, mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif di Indonesia.
Indonesia, ujarnya, adalah mitra strategis Australia. Tidak ada hubungan yang lebih penting bagi Australia daripada kemitraan dengan Indonesia. Dijelaskannya, tantangan perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut merupakan isu yang dihadapi bersama kedua negara. Karena itu, studi ini diharapkan menghadirkan solusi inovatif yang memadukan data spasial, pendekatan digital serta analisis sosial ekonomi masyarakat pesisir. (ham)