BerandaEkonomiPengusaha Hiburan Senggigi Protes Penarikan Royalti Musik yang Dinilai Tak Transparan

Pengusaha Hiburan Senggigi Protes Penarikan Royalti Musik yang Dinilai Tak Transparan

Mataram (globalfmlombok.com) – Sejumlah pengusaha hiburan di kawasan wisata Senggigi, Lombok Barat, menyuarakan protes terhadap sistem penarikan royalti musik yang dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Mereka menilai mekanisme saat ini tidak transparan, tidak adil, dan berpotensi membebani keberlangsungan usaha di sektor pariwisata dan hiburan.

Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan (APH) Senggigi, Hermanto, menyatakan bahwa para pelaku usaha pada dasarnya mendukung perlindungan hak cipta musisi. Namun, sistem penarikan royalti yang sporadis dan tidak proporsional justru menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha.

“Kita sebenarnya mendukung perlindungan hak cipta. Tapi kalau penarikannya sporadis dan tidak jelas, malah membuat gaduh,” tegas Hermanto.

Hermanto menjelaskan bahwa LMKN kerap menghitung besaran royalti berdasarkan luas area (m²) atau jumlah tempat duduk tanpa mempertimbangkan kondisi keuangan usaha, terutama di masa pemulihan pasca pandemi. “Usaha ini untung atau rugi, bisa bertahan atau tidak, itu tidak dipertimbangkan. Mereka hanya fokus pada ukuran tempat dan kapasitas,” ujarnya.

Hermanto juga membandingkan kafe karaoke dengan restoran, di mana musik hanya pelengkap, bukan layanan utama. Bahkan, sebagian pengusaha telah berlangganan layanan legal seperti YouTube Premium atau platform musik berbayar lainnya. “Kami sudah bayar aplikasi resmi, tapi tetap dipungut lagi. Sementara tempat lain bebas mutar musik tanpa bayar,” keluhnya.

APH Senggigi menilai kebijakan ini bisa membuat banyak usaha tutup karena tidak sanggup menanggung beban tambahan. Hermanto juga mempertanyakan posisi pemerintah daerah jika izin usaha yang telah diterbitkan harus dicabut karena kegagalan membayar royalti. “Kalau gak mampu bayar dan harus ditutup, lalu bagaimana dengan izin usaha yang dikeluarkan Pemda,” tanyanya.

Isu lain yang disorot adalah distribusi royalti lagu, terutama untuk lagu-lagu internasional yang sering diputar di kafe demi memenuhi selera wisatawan. Pengusaha ingin kejelasan apakah royalti benar-benar diteruskan kepada pencipta lagu. “Kami ingin tahu apakah uang yang kami bayar betul-betul sampai ke pemilik lagu. Itu hak kami sebagai pelaku usaha,” ujarnya.

Sebagai solusi, Hermanto mendorong LMKN dan Wahana Musik Indonesia (WAMI) untuk membuat aplikasi digital yang bisa digunakan untuk pembelian lisensi dan pembayaran royalti. Dengan sistem digital, pengawasan dan pendataan akan lebih mudah serta adil bagi semua pelaku usaha. “Buat saja aplikasi, biar jelas semua. Kalau digital, lebih mudah dicek dan tidak ada perlakuan berbeda,” sarannya.

Hermanto menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya kesetaraan perlakuan bagi semua tempat hiburan, baik yang resmi maupun tidak. “Yang resmi malah kena beban, sementara warung-warung bisa bebas mutar musik tanpa bayar. Ini harus ditata ulang,” pungkasnya. (bul)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -

16,985FansSuka
1,170PengikutMengikuti
2,018PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
3,005PelangganBerlangganan
BERDASARKAN TAG
BERDASARKAN KATEGORI