Mataram (globalfmlombok.com)
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Wilayah Nusa Tenggara (Nusra) mulai mengincar potensi penerimaan pajak dari sektor pertanian, khususnya petani skala besar yang memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Langkah ini diambil untuk memperluas basis pajak di tengah belum optimalnya realisasi penerimaan pajak selama semester I tahun 2025.
Kepala Kanwil DJP Nusa Tenggara, Samon Jaya, menyebutkan bahwa selama ini sektor pertanian belum tergarap maksimal dalam kontribusi pajak. Pemetaan dilakukan terhadap usaha pertanian bernilai tinggi, seperti budidaya tembakau di lahan luas, guna mengidentifikasi potensi wajib pajak.
“Kalau petani punya lahan satu hektar tembakau, kami mulai hitung berapa hasilnya dan berapa keuntungannya. Jika di atas PTKP, tentu mereka masuk kategori wajib pajak,” ujar Samon pada Selasa, 5 Agustus 2025, usai acara Launching Piagam Wajib Pajak.
Ditegaskan, DJP tidak menargetkan petani kecil. Fokus utama adalah petani besar dengan penghasilan tahunan di atas Rp54 juta, atau setara ambang batas PTKP. “Kami tidak serta-merta mengenakan pajak ke semua petani. Kalau satu tahun penghasilannya Rp200 juta, dan setelah dikurangi biaya masih tersisa Rp50 juta, maka di situ berlaku tarif pajak mulai dari 5 persen,” jelasnya.
Selama dua bulan terakhir, DJP telah memetakan potensi penerimaan dari berbagai sektor di NTB dan NTT. Salah satu temuan mengejutkan adalah pelaku usaha dengan omzet harian mencapai Rp10 juta. “Kalau omzet Rp10 juta per hari dikalikan 300 hari kerja, itu sudah Rp3 miliar per tahun. Pelaku seperti ini jelas bukan UMKM biasa, dan semestinya sudah menjadi wajib pajak,” ungkap Samon.
Selain pertanian, DJP juga menyoroti sektor perdagangan dan jasa yang dinilai memiliki kontribusi pajak signifikan namun belum terdata optimal.
Penerimaan pajak hingga pertengahan 2025 di wilayah NTB dan NTT masih belum sesuai harapan. Salah satu faktor utama adalah rendahnya belanja pemerintah daerah akibat kebijakan efisiensi anggaran. “Selama ini, kontribusi terbesar berasal dari kegiatan pemerintah. Tapi karena banyak program yang tertunda, kami harus gali potensi dari sektor lain, termasuk pertanian,” jelasnya.
Untuk mendukung kebijakan pajak yang adil dan tepat sasaran, DJP mendorong akurasi data calon petani dan calon lahan (CPCL). Data tersebut diharapkan memuat NIK dan koordinat lahan yang bisa diverifikasi secara digital. “Kalau datanya akurat, kita bisa tahu mana petani sungguhan dan mana yang hanya pinjam nama. Teknologi sekarang memudahkan verifikasi seperti ini,” tegasnya.
Samon menepis anggapan bahwa DJP merupakan lembaga yang menakutkan. Ia menegaskan bahwa tugas DJP adalah mengamankan sumber pendanaan negara yang akan digunakan untuk BLT, subsidi, dan pembangunan infrastruktur. “Sering disalahpahami, seolah kami ingin menghukum. Padahal, dari pajaklah semua bantuan dan layanan publik dibiayai,” ucapnya.
Saat ini, DJP Nusra lebih mengedepankan pendekatan edukatif untuk meningkatkan kepatuhan sukarela masyarakat terhadap pajak. Melalui data dan informasi yang transparan, masyarakat diharapkan menyadari pentingnya kontribusi melalui pajak. “Kami ingin masyarakat, petani, dan pelaku usaha memahami bahwa pajak bukan beban, tapi bagian dari kontribusi untuk pembangunan bersama,” tutup Samon. (bul)