Mataram (globalfmlombok.com) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram telah menerima hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus dugaan penjualan tanah milik Pemerintah Kabupaten Lombok Barat. Dari hasil audit tersebut, nilai kerugian negara mencapai lebih dari Rp900 juta.
Kepala Kejari Mataram, Gde Made Pasek Swhardayana, Minggu (2/11/2025) mengaku telah mengantongi nilai kerugian negara. Namun, belum menerima hasil perhitungan resmi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selaku auditor.
“Nilainya memang sudah ada, sekitar sembilan ratusan juta dan saat ini tanah tersebut masih disita Kejaksaan,” kata dia.
Mantan Kepala Kejari Nabire itu mengaku kini pihaknya akan segera mulai melakukan pemberkasan dan menyusun rencana surat dakwaan ke Pengadilan Negeri Mataram.
Dimulainya pemberkasan menyusul PN Mataram menolak pengajuan praperadilan dari salah satu tersangka, BMF. BMF dalam perkara ini merupakan Mantan Kasi Pengendalian dan Penanganan Sengketa pada Kantor BPN Lombok Barat.
Tersangka BMF sebelumnya mempersoalkan penetapan dirinya sebagai tersangka oleh penyidik Kejari Mataram. Tersangka menilai dirinya tidak ikut berperan dalam raibnya tanah pecatu seluas 3.757 meter persegi di Desa Bagik Polak.
Putusan pengadilan Nomor: 13/Pid.Pra/2025/PN. Mtr tanggal 29 Oktober 2029, menolak seluruh dalil-dalil permohonan yang diajukan tersangka.
Selain BMF, satu tersangka lain dari kasus ini adalah Kepala Desa Bagik Polak berinisial AAP. kedua tersangka diduga melanggar pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Saat ini kedua tersangka masih menjalani penahanan. AAP ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Kuripan, Lombok Barat. Sedangkan BMF ditahan di Lapas Perempuan Kelas III Mataram.
Kronologi Kasus
Kasi Intelijen Kejari Mataram Muhammad Harun Al Rasyid sebelumnya menjelaskan, perkara ini berawal pada 2018. Saat itu AAP mengajukan permohonan sertifikat atas sebidang tanah pertanian seluas 3.757 meter persegi di Subak Karang Bucu, Desa Bagik Polak, Lombok Barat. Tanah tersebut sebelumnya merupakan tanah pecatu dari Dusun Karang Sembung.
“Pengajuan itu melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL),” tambahnya.
Dari permohonan itu terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 02669 atas nama pribadi AAP. Belakangan, ada demo keberatan dari warga sehingga sertifikat atas nama AAP tersebut dibatalkan pada 29 September 2019.
Namun, melalui rekayasa gugatan perdata di Pengadilan Negeri Mataram, muncul pihak penggugat IWB yang mengaku sebagai ahli waris pemilik tanah. Mereka menggugat AAP dan BPN Lombok Barat atas objek yang telah dibatalkan.
Dalam proses persidangan, BMF selaku penerima kuasa khusus dari Kepala BPN Lombok Barat kerap mangkir dan tidak menugaskan staf lain untuk hadir.
Ketidakhadiran itu mengakibatkan tidak adanya penjelasan yang memadai mengenai kemungkinan kesalahan subjek dan objek perkara (error in personam dan error in objecto).
Situasi ini dimanfaatkan AAP untuk melakukan perdamaian dengan IWB serta menyerahkan tanah bersertifikat SHM Nomor 02669 kepada IWB. Dengan dasar itu, IWB kemudian menjual tanah tersebut ke seorang berinisial MA.
Akibat perbuatan tersebut, negara diperkirakan mengalami kerugian berupa hilangnya aset tanah negara seluas 3.757 meter persegi di Desa Bagik Polak. (mit)


